2.5/5
Based on a True Event
Drama
Friendship
Hollywood
Humanity
leadership
Pop-Corn Movie
Survival
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Finest Hours
Baru Desember 2015 lalu kita
disuguhi kisah survival kapal pemburu paus Essex yang tenggelam dan mengilhami
kisah Moby Dick. Di awal tahun ini kita disuguhi pula sajian serupa, tapi kali
ini berasal dari studio yang punya reputasi film keluarga, Walt Disney
Pictures. Diangkat dari kisah nyata yang juga sudah dibukukan oleh Michael J.
Tougias dan Casey Sherman tahun 2009 lalu, The
Finest Hours (TFH) sebenarnya punya cerita mukjizat yang cukup menarik
untuk diangkat. Naskahnya dikerjakan oleh Scott Silver yang punya reputasi
bagus (The Fighter dan 8 Mile), dibantu Paul Temasy dan Eric
Johnson, sementara bangku penyutradaraan dipercayakan kepada Craig Gillespie (Lars and the Real Girl, Fright Night, dan film Disney 2014 lalu,
Million Dollar Arm). Jajaran cast pun
tergolong menjanjikan, mulai Chris Pine, Ben Foster, Casey Affleck, hingga Eric
Bana. Namun tak bisa dipungkiri, skala proyek TFH tak se-epic In the Heart of the Sea ataupun The Perfect Storm.
Di saat hendak meminta ijin untuk
menikahi kekasihnya, Miriam, Bernie Webber justru ditugaskan oleh Daniel Cluff
untuk menyelamatkan penumpang dua kapal tanker minyak, SS Fort Mercer dan SS
Pendleton, yang karam saat badai terburuk di pesisir Timur New England. Dengan
sebuah motorboat dan ditemani Richard Livesley, Andy Fitzgerald, serta Ervin
Maske, Bernie harus menembus badai dan ombak raksasa. Belum lagi ternyata ada
30 orang penyintas dari kapal SS Fort Mercer yang harus dibawa pulang. Hanya
mukjizat yang doa dari warga.
Di film bertemakan disaster dan
survival, ada dua hal yang bisa ‘dijual’ untuk menarik perhatian penonton:
adegan disaster yang dahsyat dan/atau kisah kemanusiaan yang mampu menyentuh
emosi penonton. TFH memulai dan memfokuskan kisahnya sepanjang film pada
karakter Bernie. Sejak hubungannya dengan Miriam menjadi pembuka film, jelas
bahwa TFH bertumpu pada karakter-karakternya untuk menarik simpati
penonton. Seiring dengan
berjalannya alur, muncul pula karakter-karakter lain yang tak kalah mengundang
simpati, terutama Ray Sybert, salah satu engineer di SS Fort Mercer dan Richard
Livesley. Namun begitu ‘tantangan’ menghantam (baca: adegan-adegan bencana
bermunculan), ‘pendekatan’ karakter-karakter tersebut kepada penonton belum
cukup kuat untuk membuat saya bersimpati. Sekedar khawatir dengan nasib mereka,
misalnya. Target audience yang memang untuk keluarga membuat tampilan bencana
jadi terkesan ‘mild’. It just happened. Nothing to make me feel the thrill or
just worrying at all. In the end, TFH menjadi tontonan yang hambar dan
membosankan.
Konsep visual TFH yang seperti
ini agaknya memang mengarah pada gaya vintage yang ingin diusung sesuai setting
ceritanya. Mulai set-set yang terkesan dilakukan di dalam studio hingga gaya
penceritaan yang to-the-point, tanpa kedalaman karakter yang bisa membuat
penonton peduli. Tak heran jika konsep ini sudah tidak relevan lagi dengan
selera penonton jaman sekarang yang sudah terbiasa diberi suguhan spektakuler,
tak terkecuali saya.
Chris Pine sebagai Bernie,
karakter lead, sebenarnya memberikan performa yang mampu mengundang simpati
penonton terbesar, dibandingkan karakter-karakter lainnya. Jika biasanya
memerankan karakter heroic yang gahar, kali ini Pine harus memerankan karakter
heroic yang cenderung minder dan sangat kalem. He’s still living it up nicely.
Ben Foster menjadi ‘sidekick’ yang paling berkesan, Richard Livesey. Casey
Affleck masih belum cukup kharisma untuk membuat karakter Ray Sybert jadi
standout. Yang paling naas, Eric Bana terkesan hanya pendukung yang bisa
diperankan oleh siapa saja. Terakhir, Holliday Grainger, tampil memukau berkat
parasnya yang klasik, sesuai dengan setting cerita, selain tentu saja karena
menjadi satu-satunya wanita di jajaran cast lini depan.
Dengan konsep vintage, tentu
desain produksi berperan sangat penting untuk menghidupkan nuansa ’50-an. TFH
patut diberi kredit lebih untuk aspek ini. Selain itu, meski terkesan lebih
mild ketimbang film-film bergenre sejenis, TFH sebenarnya masih punya
visualisasi bencana yang patut diapresiasi. Setidaknya membuat saya sempat
berceletuk kaget sekejap di beberapa adegan. Misalnya kapal SS For Mercer yang
terbelah atau ombak-ombak raksasa yang bergulung. Apalagi jika disaksikan di
layar IMAX yang menambah feel maski tak begitu signifikan. Format 3D tidak
terlalu memberikan sensasi seperti depth maupun gimmick pop-out. Sementara tata
suara masih memompakan efek-efek suara yang dahsyat terutama untuk adegan badai
dan ombak. Termasuk juga efek surround yang cukup maksimal dimanfaatkan.
Dengan referensi film
survival/disaster yang cukup banyak dan punya kekuatan masing-masing, TFH tentu
terasa jadi yang paling kurang berkesan dibandingkan yang lain. Baik dari segi
emosional kemanusiaan maupun kedahsyatan visualisasi bencana, sama-sama terasa
kurang kuat. Ada, tapi tidak begitu memberikan impact bagi saya. At least bagi
saya, TFH memperluas pengetahuan saya tentang kejadian evakuasi miraculous yang
terjadi di New England era ’50-an. Tak lebih.
Lihat data film ini di IMDb.