3.5/5
3D
Action
Adventure
Blockbuster
Box Office
Dolby Atmos
Drama
Franchise
Hollywood
IMAX
Martial Art
Oscar 2017
Pop-Corn Movie
SciFi
Spin-off
The Jose Flash Review
War
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Rogue One:
A Star Wars Story
Sejak kemunculan pertama kalinya di tahun
1977, franchise Star Wars yang
kemudian menjadi franchise terbesar Hollywood, sudah menampakkan kekayaan
universe yang berlimpah selain plot utama tentang ‘dinasti’ Skywalker. Tak
heran kemudian muncul berbagai spin-off dalam bentuk animasi, novel, graphic
novel, game, maupun fanfic yang tak terhitung jumlahnya. Setelah LucasFilm Ltd.
dibeli oleh Disney tahun 2012 senilah US$ 4.05 milyar, kesempatan ekspansi
serta eksplorasi kisah-kisah Star Wars menjadi
lebih besar lagi. Disney tentu tak mau menyia-nyiakan nilai empat milyar dollar
Amerika tersebut dengan hanya bertumpu pada ekspansi plot utama yang dimulai
dari The Force Awakens (TFA) tahun
2015 lalu.
Spin-off pun dimulai dari Rogue One: A Star Wars Story (RO) yang
dirilis tahun 2016 ini dan akan terus hadir bergantian dengan installment plot
utama tiap tahunnya. Setelah 2017 Episode
VIII, masih ada antologi kisah-kisah spin-off lainnya, seperti yang sudah
direncanakan tahun 2018, film stand-alone Han Solo. Proyek RO dipercayakan
kepada sutradara Gareth Edwards (Monsters,
2010; dan Godzilla, 2014) sementara naskahnya disusun oleh
Chris Weitz (Antz, Nutty Professor II: The Klumps, About a Boy, The Golden Compass, dan Cinderella).
Konon setelah melihat hasil akhirnya, Disney memutuskan untuk melakukan
beberapa perombakan dengan melibatkan Tony Gilroy (Michael Clayton dan franchise Jason Bourne sampai The Bourne Legacy). Kabar reshoot
menjadi tanda tanya sekaligus keraguan fans Star
Wars akan kualitas RO. Nevertheless, fans sejati tentu tak bisa tak
antusias menyambut kisah karakter-karakter baru yang secara timeline terletak
beberapa bulan sampai persis sebelum pembuka installment pertama, Star Wars (yang kemudian diberi titel
tambahan Episode IV: A New Hope).
Ketika Imperial Galactic Empire masih baru
menguasai galaksi, pengaruhnya sudah luar biasa. Seorang gadis muda bernama Jyn
Erso yang baru tertangkap pasukan Empire diselamatkan oleh pihak tak dikenal.
Ternyata mereka berasal dari kaum pemberontak mencari ayah Jyn, Galen Erso,
seorang pemberontak yang dipaksa oleh Empire untuk membangun senjata mematikan
yang bisa membumi hanguskan semua planet di seluruh galaksi. Mereka mengira Jyn
bisa menjadi akses untuk menemukan Galen dan menggagalkan pembangunan senjata
mematikan tersebut. Petualangan pencarian Jyn akan sang ayah membuatnya turut
membantu kaum pemberontak, terutama bersama seorang pilot bernama Cassian
Andor, sebuah droid bekas Empire yang diprogram ulang, K-2SO, mantan pilot
Tie-fighter, Bodhi Rook, seorang pendekar buta yang terobsesi dengan kekuatan
Force, Chirrut Imwe, dan partnernya, Baze Malbus. Menemukan Galen Erso rupanya
hanyalah awal dari misi lebih besar yang akan menentukan masa depan seluruh
planet di galaksi setelah Galen ternyata punya agenda tersendiri.
RO memang ‘hanyalah’ sebuah spin-off, tapi
tentu fans Star Wars yang jumlahnya
luar biasa banyak di seluruh dunia harus di-serve setidaknya dengan spirit dan
soul yang masih senada dengan plot utamanya. Chris Weitz (dan tim penyusun
cerita) memang terasa menawarkan kisah yang tergolong sederhana (hanya tiga
paragraf di prolog A New Hope) namun
dikembangkan menjadi jalinan plot yang masih menarik. Karakter-karakter dan
planet-planet baru yang baru diperkenalkan di sini sebenarnya tak jadi masalah.
Sayangnya, introduksi yang dilakukan terasa terlalu rumit dengan
kelokan-kelokan cerita yang tak begitu penting. Alhasil jalinan plot di satu
jam pertama RO bagi beberapa penonton bisa jadi membosankan, apalagi penonton
yang tak mengikuti kisah saga Star Wars
(mungkin faktor absen-nya crawl prologue di awal film yang selama ini sudah
menjadi ciri khas franchise Star Wars?).
Jika TFA dirancang untuk bisa menjadi entrée yang accessible bagi penonton awam
sekalipun, maka RO akan lebih susah untuk dipahami penonton awam (at some point
bakal tidak lagi peduli dengan perkembangan ceritanya). Pasalnya, RO memang
memberikan cukup banyak hint koneksi dengan installment-installment induknya,
terutama A New Hope, tapi tak
memberikan penjelasan yang cukup untuk dipahami penonton baru. Misalnya kemunculan
Star Destroyer, tapi tak disebutkan sama sekali perannya dalam cerita, bahkan
penyebutan nama pun tidak ada.
Kemudian yang tak kalah noticeable-nya adalah
porsi penggambaran sepak terjang tiap karakter, termasuk karakter-karakter
utama, seperti Jyn Erso, Cassian Andor, Chirrut Imwe, Baze Malbus, Bodhi Rook,
yang masih jauh dibandingkan aspek serupa di installment-installment Star Wars lainnya. Ambil contoh karakter
lead female heroine, Jyn Erso, yang terkesan hanya sebagai biduk penggerak
cerita tanpa layer berarti yang bisa membuat karakternya mampu lebih mengundang
simpati penonton atau sekedar lebih menarik, setara karakter Rey di TFA,
misalnya. Kondisi yang serupa juga terjadi pada karakter-karakter lainnya.
Bahkan potensi romance chemistry antara Jyn-Cassian pun dilewatkan begitu saja.
Ini bisa jadi faktor gaya penceritaan Gareth Edwards yang memang terlihat
sering ‘menahan-nahan’ emosi kendati memunculkan spark-spark yang kentara. Ini
pula lah yang membuat berbagai emosi penting di banyak kesempatan terkesan
lewat begitu saja tanpa kesan yang mampu menggerakkan emosi penonton, seperti
momen kehilangan orang penting dan momen-momen patriotis. In short, RO terasa
seperti sebuah rangkaian cerita sampingan yang berjalan linear dan
berkesinambungan dengan plot utama, tapi mengabaikan emosi-emosi maupun aspek
personal yang seharusnya bisa menjadikannya lebih dari sekedar kisah spin-off.
Jauh berbeda dengan soul dan spirit Star
Wars selama ini.
Untungnya, RO punya paruh kedua yang menarik,
enjoyable, dan seru untuk disimak. Bukan faktor perkembangan plot yang
sebenarnya bisa dengan mudah diduga oleh fans Star Wars maupun penonton yang sekedar mengikuti kisahnya, tapi
rangkaian adegan battle yang ditata dengan sangat intense. Mengingatkan (atau
malah melebihi) akan adegan serupa di A
New Hope, lengkap dengan melibatkan pesawat-pesawat serta berbagai elemen
desain produksinya. Serta yang susah dipungkiri adalah kemampuannya untuk tetap
membuat fans Star Wars bersorak dan
bertepuk tangan lewat adegan terakhir yang menyambung langsung dengan A New Hope, sama seperti ketika TFA
menutup episodenya.
Sejak trailer pertama dirilis, Felicity Jones
sebagai Jyn Erso tampak seperti pilihan yang sangat tepat. Image Felicity
kemudian begitu melekat kuat dengan karakter Jyn Erso. Sayangnya ternyata di
film utama, karakter lead female heroine yang dibawakan Felicity masih
tergolong lemah, apalagi jika dibandingkan porsi serupa yang dimiliki Princess
Leia atau Rey. Saya melihat bukan sepenuhnya salah Felicity. Bisa jadi memang
style directing Edwards yang membuat karakter-karakternya terkesan serba
tanggung untuk ditanam ke benak penonton. Hal yang serupa terjadi pada Diego
Luna sebagai Cassian, Ben Mendelsohn sebagai Orson Krennic, Riz Ahmed sebagai Bodhi
Rook, Genevieve O’Reilly sebagai Mon Mothma, dan Forest Whitaker sebagai Saw
Gerrera. Donnie Yen sebagai Chirrut îmwe beruntung bisa menarik perhatian lebih
berkat aksi beladiri-nya yang memberikan warna tersendiri pada franchise.
Selevel di bawahnya ada Wen Jiang sebagai Baze Malbus yang punya ‘jatah’ bela
diri lebih sedikit. Mads Mikkelsen sebagai Galen Erso mungkin porsinya sangat
sedikit tapi kekuatan kharismanya lebih dari cukup untuk menjadi noticeable
bagi penonton. Terakhir, Alan Tudyk berhasil membuat karakter droid K-2SO yang
bak C3PO versi lebih cerdas, nyinyir, dan kick-ass, jadi karakter yang lebih
menarik ketimbang karakter-karakter manusianya.
Di divisi teknis, Greig Fraser menyumbangkan shot-shot
yang megah, sinematis, mendukung storytellng dengan cukup maksimal. Editing
John Gilroy, Colin Goudie, dan Jabez Olssen secara garis besar mampu membuat
laju film cukup lancar. Setidaknya mereka sudah mencoba untuk membuat
perkembangan plot berkelok-kelok dengan detail adegan yang kurang informatif
menjadi lebih watchable. Desain produksi Doug Chiang dan Neil Lamont memberikan
feel dan nuansa yang kurang lebih sama dengan trilogi klasik Star Wars, terutama A New Hope, tanpa terkesan kuno. Musik score Michael Giacchino
terdengar berusaha membuat variasi-variasi dari score asli John Williams.
Sayangnya, seringkali terasa trying too hard to be different but still in the
similar feel. Alhasil banyak momen yang (lagi-lagi) terasa ‘ditahan-tahan’ dan
not-not yang terkesan ‘diplesetkan’. Bahkan final score di credit title saya
mengendus ada ‘campuran’ score The
Magnificent Seven. Gimmick 3D tak menawarkan banyak keistimewaan, baik
secara depth-of-field apalagi pop-out effect. Namun mengalaminya di teater IMAX
tentu jauh lebih maksimal daripada di layar biasa, dengan dukungan Dolby Atmos
sekalipun.
Bagi fans Star
Wars, RO jelas film yang pantang untuk dilewatkan. Hasilnya bisa jadi
either you love it or you hate it. Setidaknya hint-hint yang tersebar masih
menarik untuk dijadikan bahan analisis. Namun penonton awam (ya, Anda juga termasuk jika mengira
RO adalah sekuel dari TFA) bisa jadi lost sejak menit awal hingga (setidaknya)
paruh kedua. Itu pun jika Anda cukup sabar dan tidak putus asa untuk mencari
tahu kaitan plot RO dengan plot utama Star
Wars Saga. Jika Anda mulai tertarik, coba tonton kembali setidaknya A New Hope dan Revenge of the Sith (Episode III) sebagai modal. Bagi saya pribadi,
RO tak punya daya lebih selain sekedar sebuah spin-off. Ia masih belum bisa menciptakan
feel yang sama seperti ketika saya menyaksikan film-film dari plot utama
franchise berulang-ulang.
Lihat data film ini di IMDb.
The 89th Academy Awards Nominees for:
- Visual Effects - John Knoll, Mohen Leo, Hal Hickel, and Neil Corbould
- Sound Mixing - David Parker, Christopher Scarabosio and Stuart Wilson