2/5
Adventure
Based on Book
Drama
Family
Franchise
Indonesia
Pop-Corn Movie
religious
Romance
sequel
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Bulan Terbelah di Langit Amerika 2
Akhir tahun 2015 lalu, Bulan Terbelah di Langit Amerika (BTdLA) produksi Maxima Pictures
yang berhasil menggaet 900 ribu penonton lebih. Film yang diadaptasi dari novel
karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra ini merupakan follow up dari
film yang juga diangkat dari novel karya mereka sebelumnya, 99 Cahaya di Langit Eropa. Tahun 2016
ini, Maxima (dengan bendera yang baru: Max Pictures) menghadirkan sekuel dari
BTdLA dengan komposisi cast dan crew utama yang kurang lebih sama. Alim Sudio
dan Baskoro Adi pun bergabung bersama Hanum dan Rangga untuk menyusun naskahnya,
sementara Rizal Mantovani masih dipercaya sebagai sutradara. Bulan Terbelah di Langit Amerika 2 (BTdLA2)
menjadi semakin bikin penasaran dengan isu yang provokatif (sekaligus
delusional), ‘apakah benar muslim penemu benua Amerika?’ sebagai materi
promonya.
Melanjutkan kisah dari installment
sebelumnya, Hanum kali ini ditugaskan oleh kantor berita pusat untuk melakukan
penyelidikan terhadap isu bahwa pelaut muslim Cina bernama Cheng Ho sudah lebih
dulu mendarat di Benua Amerika jauh sebelum Christopher Columbus. Meski Rangga,
sang suami, meragukan kondisinya, Hanum pun mengambil tawaran ini. Perjalanan
mereka berdua ke San Francisco berbarengan dengan niat Azima Hussein dan
putrinya. Sarah, yang berniat bersilaturahmi kepada sang ibu yang sempat
memutuskan tali kekeluargaan setelah Azima memutuskan menjadi mualaf dan
menikahi mendiang suaminya. Sementara itu Stefan, sahabat Rangga, stress dan
melarikan diri pada alkohol setelah kekasihnya, Jasmine yang sedang hamil,
meninggalkannya karena ia bukan tipe married-man. Siapa sangka misi jurnalistik
Hanum kali ini membuatnya terlibat dengan mafia Cina di San Francisco.
Meski trailer pertama yang dirilis membuat
BTdLA terkesan membosankan dan mengangkat tema reliji yang itu-itu saja,
trailer kedua menjanjikan tema petualangan yang lebih menarik, bak National Treasure. Adegan-adegan
petualangan itu memang ada di dalam film, tapi ternyata bukanlah porsi yang
utama. Bahkan Anda tak akan menemukan jawaban maupun kesimpulan yang memuaskan
dari pertanyaan provokatif dari tagline tersebut. BTdLA2 malah terasa seperti ekstensi
yang tak perlu dari installment pertamanya. Ada banyak plot yang coba
dihadirkan, termasuk pembahasan ‘apakah benar muslim penemu Amerika?’.
Sayangnya kesemua plot ini dihadirkan dengan porsi yang tak seimbang dan saling
tumpang tindih. Malahan secara keseluruhan, plot Azima dan Sarah yang berupaya
melekatkan kembali tali silaturahmi dengan sang ibu, Hyacinth, serta upaya
Stefan mengembalikan Jasmine ke pelukannya terasa mendapatkan porsi terbesar
sementara plot petualangan investigasinya justru terkesan dikesampingkan dan
asal ada. Sub-plot tentang pasang-surut hubungan Hanum-Rangga terutama tentang
upaya mempunyai anak sebenarnya bisa jadi menarik dan punya korelasi yang baik
jika meletakkan petualangan investigasi sebagai plot utamanya. Faktanya,
sub-plot ini pun terkesan asal ada, tanpa perkembangan yang berarti, dan bahkan dengan konklusi yang
hanya berupa title card. Well, secara keseluruhan, plot yang disusun BTdLA2
terasa sangat kacau, semuanya dijejalkan paksa dalam satu paket.
Dari jajaran cast utama, hampir kesemuanya
tampil hanya karena popularitas masing-masing. Bukan salah mereka, tapi karena
porsi karakter yang tak memberikan kesempatan lebih untuk jadi menarik. Baik
Acha Septriasa, Abimana Aryasatya, Rianti Cartwright, maupun Nino Fernandez.
Ira Wibowo sebagai Hyacinth, ibu Azima, masih tampil tipikal seperti peran yang
biasa dilakoninya. Boy William ‘mengganggu’ lewat aksen Cina Singapura
(bukannya karakter yang ia mainkan seharusnya asli Cina Hui?) yang terlalu
dibuat-buat. Yeslin Wang (istri Delon) sebenarnya tampil cukup menarik. Sayang
konsistensi penggunaan bahasa menjadi distraksi. Satu-satunya cast yang menarik
perhatian saya adalah Hannah Al-Rasyid yang somehow kharisma aktingnya paling
bersinar di sini.
Untuk proyek se-high profile ini, teknis
BTdLA2 masih tergolong generik. Misalnya saja sinematografi dari Patrick
Tashadian yang biasa saja, termasuk untuk adegan-adegan petualangan. Shot-shot
outdoor dengan setting San Francisco masih sedikit lebih tajam ketimbang
kebanyakan film Indonesia dengan setting luar negeri yang memang terlihat ‘colongan’.
Editing Ryan Purwoko pun tak bisa membantu banyak dalam menyeimbangkan porsi
plot-plot yang bertebaran tak beraturan maupun menjaga pace cerita supaya tetap
nyaman diikuti. Tak ada yang istimewa untuk tata artistic Frans Dede V dan
kostum Aldie Harra. Banyak adegan dengan latar outdoor yang terlihat tempelan
greenscreen. Tata suara pun tak terdengar istimewa. Scoring music Joseph S.
Djafar masih mengiringi kesan-kesan dramatis di beberapa adegan. Setidaknya
sekedar memberi warna lebih kendati tak sampai maksimal memancing emosi
penonton ataupun menjadi nada-nada yang signatural. Begitu pula theme song Bulan Terbelah yang dibawakan oleh Acha
Septriasa dan Omar yang tergolong mediocre, jauh dari kesan memorable.
Sama seperti kebanyakan drama religi
Indonesia, BTdLA2 tak menawarkan apa-apa selain preach yang disampaikan secara
lisan (dan blak-blakan), tak sampai merasuk ke dalam tubuh cerita, dengan
kemasan drama romansa dan keluarga biasa yang juga tak digali lebih. Terasa
seperti extensi drama dari seri pertamanya yang tak begitu perlu ada dan
dirangkai dengan kacau sehingga secara keseluruhan gagal memberikan impresi
emosi apa-apa.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.