4/5
Comedy
Drama
Family
Father-and-Son
Feel-good
Indonesia
Pop-Corn Movie
Psychological
Rivalry
sibling
Socio-cultural
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Cek Toko Sebelah
Sebagai bangsa yang kaya akan etnis dan budaya, Indonesia
seharusnya kaya pula akan ide cerita untuk diangkat ke medium film. Sayang,
sampai saat ini tak banyak yang berani mengangkatnya. Lebih tepat lagi, belum
menemukan formula kemasan yang pas sehingga tetap menarik untuk dibahas, tidak
hanya sekedar display kebudayaan dengan plot cliche, kedalaman ala sinetron, atau cenderung depresif. Salah satu yang berani dan
punya style tersendiri untuk menyampaikannya adalah Ernest Prakasa.
Identitasnya sebagai etnis Cina (Yes. Sorry SBY, menurut saya penggunaan
istilah ‘Tionghoa/Tiongkok’ untuk menggantikan ‘Cina’ sebagai solusi
diskriminasi adalah menggelikan. Seluruh dunia menggunakan kata ‘Cina’ dan tak
ada yang terkesan ofensif) dan profesinya sebagai komika membuatnya mampu
‘mengawinkan’ kedua elemen ini jadi kemasan yang menghibur sekaligus berbobot.
Sementara ada komika yang ‘terjebak’ dengan image materinya hingga
terus-terusan mendaur ulang tema yang itu-itu saja, Ernest memang masih
menggunakan tema yang serupa (yaitu tentang “life as an Indonesian-Chinese”),
tapi membidik topik yang berbeda dan tak kalah menarik sekaligus krusial
untuk dibahas karena bisa jadi relevan secara universal. Jika tahun lalu Ngenest adalah sebuah self-discovery,
maka Cek Toko Sebelah (CTS) yang
diusungnya tahun ini adalah sebuah potret kondisi sosial, terutama tipikal
keluarga etnis Cina di Indonesia. Ernest masih dibantu oleh Jenny Jusuf (Filosofi Kopi) dan sang istri, Meira
Anastasia, untuk menyusun naskahnya, serta memboyong lusinan komika dan
aktor-aktris populer tanah air untuk meramaikan karya terbarunya ini.
Seperti kebanyakan etnis Cina Indonesia, Erwin dan koko
(kakak)-nya, Yohan, lahir dari seorang ayah, Koh Afuk, pemilik sebuah toko
kelontong. Bahkan setelah melewati kematian sang istri yang turut membangun
toko tersebut, Cik Lili, dan Tragedi 98, toko kelontong bernama Toko Jaya Baru tetap berdiri dengan beberapa karyawan setia.
Kondisi kesehatan Koh Afuk yang kian menurun membuatnya berpikir untuk pensiun
dan mempercayakan toko kelontong ke anak-anaknya. Bukannya memberi kepercayaan
kepada Yohan sebagai putra sulung yang berprofesi sebagai fotografer, Koh Afuk
justru meminta Erwin untuk melanjutkan bisnis toko kelontong ini. Erwin yang
karirnya sedang menanjak karena dipromosikan sebagai brand director of
Southeast Asia, harus dihadapkan pada pilihan sulit; mengejar mimpi karirnya
atau membahagiakan sang ayah dengan menuruti permintaannya. Koh Afuk bahkan
sampai memberi opsi Erwin untuk mencoba mengurus toko selama sebulan saja. Jika
ia tidak menikmati, maka ia boleh melanjutkan pilihan karirnya sendiri. Kekasih
Erwin, Natalie, yang lebih bergaya hidup modern tentu berharap Erwin lebih
memilih mengejar mimpi karirnya.
Yohan yang berharap menjadi kepercayaan Koh Afuk, iri dan jadi
lebih sensitif terhadap adiknya. Untung ada Ayu, sang istri yang yang selalu berhasil
menenangkan dengan pemikiran-pemikiran bijaknya. Ternyata mengurus toko
kelontong tak semudah yang dibayangkan Erwin. Selain harus menghadapi
persaingan dengan toko sebelah, ia juga harus mengambil keputusan bijak ketika
ada developer properti yang berniat membeli tokonya.
Mengulik potret kondisi sosial etnis tertentu jelas lebih
rumit ketimbang membahas self-discovery yang lebih bersifat pribadi. Oleh sebab
itu, di CTS Ernest sebenarnya ditantang untuk menyampaikan kompleksitas yang
mau tak mau saling berkaitan secara sebab-akibat lewat sebuah kesatuan sajian,
tanpa terasa tumpang tindih. Selain dilemma pribadi tentang pilihan mengejar
ambisi karir pribadi atau berkorban demi balas budi kepada keluarga (terutama
orang tua), tapi juga problematika-problematika ‘turunan’-nya, seperti
melepaskan nostalgia masa lalu, rekonsiliasi hubungan kekeluargaan, persaingan, dan above
all, komunikasi di antara anggota keluarga. Ernest terbukti mampu memasukkan
kesemua elemen-elemen cerita ini ke satu racikan yang terasa saling berkorelasi,
mengalir lembut, tanpa kesan terlalu dijejalkan ataupun tumpang tindih.
Pada akhirnya memang ada yang harus ‘dikorbankan’. Sayangnya
yang harus berkorban justru elemen yang seharusnya mendapatkan porsi terbesar,
yaitu perkembangan karakter Erwin sebagai karakter utama dengan dilemma yang
menjadi fokus utama plot. Jika dibandingkan perkembangan karakter Koh Afuk dan Yohan, karakter Erwin terasa yang paling under-developed. Ada, tapi konfliknya
sekedar ditunjukkan di permukaan saja, tanpa ada dimensi lebih. Dengan
demikian, saya lebih melihat CTS sebagai film dengan fokus treatment ke
konflik, bukan karakter. Konflik-lah yang menjadi lakon utama cerita. Tak hanya
konflik utama saja, tapi juga turunan-turunan yang saling berkaitan, yang sudah
saya sebutkan di paragraf sebelumnya. Kebetulan, karakter Yohan dan Koh Afuk
menjadi kunci dari konflik yang dihadapi Erwin. Kendati in the end, keputusan
dari Erwin sendirilah yang menjadi highlight terbesar konklusi film. Penyelesaian konflik memang terkesan terlalu komikal untuk perpaduan yang lebih cenderung ke arah realis, serta agak terkesan 'dipaksakan', tapi masih sah saja dilakukan dalam konteks komikal.
Untungnya, naskah CTS masih terasa disusun dengan begitu
rapih, baik secara struktur, detail karakter yang konsisten, penyampaian informasi-informasi sekunder secara
implisit (tapi tak kalah penting untuk mendapatkan cerita yang utuh, seperti
misalnya etnis Ayu yang pribumi membuatnya kurang mendapatkan restu dari orang
tua Yohan) lewat adegan-adegan yang
dibumbui dengan berbagai gaya treatment, mulai joke khas komika (dengan
struktur patennya; setup dan punchline) yang mostly worked, hingga homage ke
beberapa style film populer (especially Quentin Tarantino’s – ingat adegan genk
capsa dengan konversasi tentang sayur dan buah which reminded me of Reservoir Dog’s conversation about
Madonna, Wes Anderson’s –lewat karakter-karakter scoring-nya-, dan Edgar
Wright’s –lewat adegan-adegan komikal-nya-). Above all, yang tak kalah
pentingnya adalah bagaimana ia menjaga keseimbangan antara sensitivitas drama dengan
komedi khas Ernest. Bukan perkara mudah untuk bisa membuat penonton tersentuh
sekaligus tertawa terbahak-bahak dalam rentang waktu yang tak terlalu lama. CTS
melakukannya dengan keseimbangan yang luar biasa, transisi yang mulus, dan saling berkorelasi dengan
plot utama. Ernest terbukti punya directing sense drama dan komedi yang sama
besarnya, yang ia suntikkan secara maksimal ke dalam CTS. Ditambah konklusi
yang ternyata sangat wise, jauh dari kekhawatiran yang sempat muncul dalam benak saya di pertengahan film
bahwa akan jatuh menjadi pilihan cliché yang diambil kebanyakan individu etnis
Cina Indonesia, dan yang paling penting, menyenangkan semua pihak, tanpa harus
ada yang merasa ‘berkorban’. Kelebihan-kelebihan inilah yang akhirnya berhasil
membuat saya mentolerir kekurangan di porsi karakter utama. It worked really
well. Leave everybody in a very good mood afterward. Senyum, puas, bahagia,
lega, dan semoga saja, punya dampak yang kuat ke anggota keluarga masing-masing
penonton.
Dengan porsi yang paling terbatas, Ernest sendiri sebagai
Erwin memang terasa tak terlalu menunjukkan kapasitas akting. He’s still
himself as we see daily. Sementara kekuatan akting terbesar dipamerkan oleh
Dion Wiyoko sebagai Yohan yang sangat terasa sebagagai puncak pencapaian
aktingnya, dan Chew Kin Wah yang semakin menunjukkan kualitas prima aktingnya
setelah di My Stupid Boss lewat
karakter Koh Afuk. Adinia Wirasti sebagai Ayu mungkin hanya karakter pendukung,
tapi sekaligus menjadi penyeimbang di banyak momen. Mungkin masih tak jauh
beranjak dari peran tipikal Adinia, tapi terbukti berhasil menjadi komponen
dari plot utama yang penting. Gisella Anastasia sebagai Natalie memang hanya
ditampilkan one-dimensional dan dibawakan dengan kharisma yang biasa saja, tapi
not bad as a beginner.
Kemunculan puluhan pendukung dan cameo sebenarnya
masing-masing tak hanya noticeable tapi juga cukup memorable berkat ‘panggung’
yang layak, tapi ada beberapa yang memang tampil paling menonjol ketimbang yang
lain. Asri Welas sebagai Bu Sonya jelas menjadi everybody’s favorite scene
stealer, disusul Dodit Mulyanto sebagai Kuncoro, Yusril Fahriza sebagai Naryo
yang kemayu, Yeyen Lidya sebagai Anita, Gita Bhebhita sebagai Bu Hilda,
Anyuncadel, Awwe sebagai Ojak (yang saya setuju, mirip Panji!), Tora Sudiro
sebagai Robert, Budi Dalton sebagai Pak Nandar, geng capsa; Aming (Edward
Suhadi), Aloy (Sylvester Aldes), dan Abdur Arsyad (Vincent), sampai anak
Presiden Jokowi, Kaesan Pangarep sebagai sopir taksi.
Ernest pun tampak tak ingin main-main dengan aspek-aspek
teknisnya. Kendati ada beberapa part yang pergerakan kameranya kurang mulus,
tapi jelas sinematografi Dicky R Maland menunjukkan keinginan Ernest untuk
mencoba memadukan berbagai style, yang hasilnya jadi menarik. Editing Cesa
David Luckmansyah di sini masih khas style-nya dan tipikal Starvision. Secara
keseluruhan tak ada masalah berarti, terutama dalam menggerakkan plot,
memadukan drama dan komedi dengan timing serta porsi yang proper, maupun
menggabungkan elemen-elemen cerita yang cukup banyak dalam proporsi yang kurang
lebih seimbang, dan style yang variatif pula (terutama yang paling noticeable,
match cut dan J-cut). Namun ada beberapa bagian, terutama di prolog, yang masih
terasa kurang mulus dan agak jumping. Mungkin faktor kurang stock gambar atau
sense mensinkronkan komposisi gambar dengan perpindahan shot yang perlu
dipertajam lagi. Pemilihan lagu memberikan emosi lebih ke adegan, terutama Let You Go (which reminded me a lot of
John Mayer’s) dan I Still Love You dari
The Overtunes untuk momen-momen dramatis, juga Senyuman & Harapan dari kolaborasi GAC dan The Overtunes yang
jadi theme song, serta Parampampam
dari GAC untuk momen-momen bahagia. Sayang ada beberapa pemotongan lagu di
tengah-tengah adegan paling emosional yang agak menurunkan emosi yang sudah
terbangun sangat kuat. Scoring Andhika Triyadi tak kalah variatif dengan style visual Ernest sehingga memberikan warna yang beragam pada film. Ada 'aroma' bereferensi pada scoring film-film Wes Anderson (terutama Alexandre Desplat di The Grand Budapest Hotel) dan sedikit scoring Danny Elfman di film-film Tim Burton meski tak sekental di Hangout. Poin tersendiri juga untuk artistik Windu Arifin, terutama setting
toko yang dipenuhi plesetan-plesetan brand (minuman buah Lae-Lae, terigu
Segitiga Pengaman bergambar kancut, dan masih banyak lagi yang bikin ngakak)
hasil kolaborasi dengan buah pikiran gokil dari Bene Dion Rajagukguk.
CTS memang masih punya beberapa kekurangan, tapi hasil akhir
yang mampu menggabungkan drama dan komedi dengan sensitivitas serta
keseimbangan luar biasa, leaving everybody happy, maka semua kekurangan itu
masih bisa ditolerir. Apalagi ini baru karya Ernest kedua sebagai penulis
naskah, sutradara, sekaligus aktor. CTS jelas menunjukkan peningkatan yang luar
biasa sejak Ngenest tahun lalu,
apalagi dengan kompleksitas plot yang jauh lebih besar. Saya sangat
merekomendasikan CTS untuk ditonton bersama seluruh anggota keluarga. Will
worked even better if you’re from Indonesian-Chinese family, dengan pola pikir
dan kondisi yang kurang lebih sama. Bisa jadi ada perubahan ke arah yang lebih
baik di antara anggota keluarga. Jarang ada film Indonesia yang punya dampak
sebaik dan sekuat ini bagi penontonnya. Maka dari itu layak untuk dirayakan.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.