2.5/5
Action
Adventure
Armenia
Based on a True Event
Disaster
Drama
Europe
Humanity
Pop-Corn Movie
Russia
tearjerker
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Earthquake
[Zemletryasenie / երկրաշարժ]
Kita di Indonesia termasuk beruntung memiliki
distributor-distributor film yang mengimpor beragam film dari berbagai negara.
Salah satu yang patut diapresiasi adalah Moxienotion yang beberapa tahun
terakhir mengimpor film-film asing yang berkompetisi untuk kategori Best
Foreign Language Film di Academy Awards. Setelah tahun lalu membawa The Wave (Bølgen) dari Norwegia dan Under the Shadow (UK) beberapa bulan
lalu, film internasional ketiga yang diimpor adalah Zemletryasenie (atau judul internasionalnya, Earthquake). Film ko-produksi Armenia-Rusia yang dipilih mewakili
Armenia di kategori prestisius tersebut untuk kelima kalinya setelah terakhir
2012 silam. Sayang Earthquake
didiskualifikasi karena komposisi cast and crew yang dianggap lebih banyak
berasal dari Rusia ketimbang Armenia sendiri. Nevertheless, ini adalah
kesempatan yang langka untuk bisa menyaksikan sinema Armenia di tanah air.
Apalagi film ini bukanlah proyek main-main. Berdasarkan bencana gempa bumi
besar yang menimpa Armenia tahun 1988, Earthquake
ditangani sutradara muda Armenia yang sukses secara komersial di Rusia seperti
lewat The Pregnant (2011), Moms (2012), dan That was the Men’s World (2013), Sarik Andreasyan. Naskahnya
disusun oleh tim Sergey Yudakov (The
Ghost dan upcoming, Furious), Aleksey
Gravitskiy, Arsen Danielyan, dan Grant Barsegyan. Sekedar informasi, The Earthquake yang ditayangkan di
Indonesia sudah di-dub ke dalam bahasa Rusia dari bahasa aslinya, Armenia. Bagi
saya yang awam terhadap kedua bahasa tersebut, tak menjadi masalah sama sekali.
Film dibuka dengan sebuah kecelakaan yang menewaskan sepasang
suami-istri. Konstantin Berezhnoy yang punya istri dan dua anak masih sangat
kecil, diputuskan bersalah dan dipenjara. Beberapa tahun kemudian, bertepatan
dengan hari pembebasan dari penjara dan Konstantin berniat pulang ke
keluarganya, sebuah gempa bumi besar meluluh-lantakkan Armenia Utara. Tak hanya
harus mencari keluarganya yang terjebak di tengah reruntuhan kota Leninakan,
Konstantin juga tengah dinantikan oleh Robert Melkonyan, putra korban
kecelakaan yang disebabkan olehnya beberapa tahun lalu. Robert sendiri dilanda
dilemma yang tak kalah gentingnya, membalas dendam atau bekerja sama dengan
Konstantin untuk membantu para korban gempa.
Seperti kebanyakan film bergenre bencana alam (disaster), Earthquake pun dikembangkan dengan
pendekatan kemanusiaan dan sosial. Event utamanya, yaitu gempa bumi yang
katanya ‘dahsyat’, diletakkan di 15 menit pertama, sisanya adalah
kejadian-kejadian aftermath yang sayangnya didominasi oleh potret perjuangan
manusia menolong sesamanya yang sedang terjebak kejadian-kejadian naas. Sangat
banyak momen yang berpotensi memancing haru. Sayangnya, kesemua ini ditampilkan
sebagai potongan-potongan potret semata (kebanyakan over-the-top pula), tanpa setup perkembangan emosi yang
cukup sebagai investasi simpati penonton terhadap karakter-karakternya.
Alhasil, penonton hanya bisa ‘merasakan’ berdasarkan kemanusiaan umum semata,
bukan kedekatan emosi dengan para karakternya. Dan untuk porsi yang sedemikian
banyak (bayangkan, durasi total 101 menit dikurangi 15 menit!), sangat
melelahkan.
Kendati tanpa kedalaman karakter yang cukup, sebenarnya
performa aktor-aktor yang melakoni termasuk sangat baik. Terutama Konstantin
Lavronenko sebagai Konstantin Berezhnoy dan Viktor Stepanyan sebagai Robert
Melkonyan yang mampu menunjukkan dimensi emosi tertentu hanya lewat ekspresi
wajah. Mariya Mironova sebagai Anna, Tatev Ovakimyan sebagai Lilit, Michael
Poghosian sebagai Erem, Sabina Akhmedova sebagai Gayane, dan Arsen Grigoryan
sebagai Ryzhiy, memberikan dukungan peran yang sepadan sesuai dengan porsi
masing-masing.
Sebagai film bencana alam, teknis Earthquake tergolong mumpuni. Sinematografi Yuriy Korobeynikov
mampu memberikan energi yang cukup lewat pergerakan kamera, baik untuk adegan
menegangkan maupun dramatisnya. Bersinergi dengan editing yang memanfaatkan
style match-cut, terutama di opening credit. Visual effect digarap dengan
rapih, jauh lebih baik dari, let’s say, Bølgen. Musical score menguatkan tone
depressive dan sangat hummable. Terakhir, sound design pun tak kalah kuatnya
dalam memberikan dimensi yang cukup untuk menghidupkan adegan-adegannya,
termasuk pemanfaatan fasilitas surround yang cukup baik.
Dengan presentasi akhirnya, sekalipun tak didiskualifikasi
oleh panitia Academy, saya pun tak yakin Earthquake
bisa dengan mudah lolos ke babak-babak akhir. Kendati pun tak benar-benar
buruk, tapi pemanfaatan tema kemanusiaan yang dikedepankan masih jauh dari
engaging. Padahal ia punya plot pendukung yang cukup menarik jika dikembangkan
lebih dan dengan takaran dramatisasi yang lebih sesuai. Alhasil, Earthquake mungkin masih mampu menyentuh
hati Anda, simply karena alasan kemanusiaan umum semata. Tak lebih. Namun jika
Anda penasaran untuk mengenal sinema Armenia (maupun Rusia) yang masih sangat langka
di layar lebar Indonesia, Earthquake
adalah kesempatan yang tak boleh disia-siakan.
Lihat data film ini di IMDb.