4/5
Adventure
Drama
Hollywood
Humanity
Oscar 2017
Personality
Pop-Corn Movie
Psychological
Romance
SciFi
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Passengers
Memadukan sci-fi dengan filosofi sejatinya sudah sejak lama
dilakukan. Keduanya memang menjadi pasangan yang klop untuk dikawinkan karena
sejatinya sci-fi dengan berbagai kisah di dalamnya tak lepas dari
filosofi-filosofi kehidupan manusia, apapun aspeknya. Passengers yang naskahnya sudah ditulis oleh Jon Spaihts (The Darkest Hour, Prometheus, Doctor Strange,
dan upcoming, reboot The Mummy) sejak
2007 lalu dan sempat masuk dalam daftar Blacklist (daftar naskah yang paling
disukai tapi belum direalisasikan ke dalam bentuk film). Namun penggarapannya
tak begitu mulus, mulai pergantian studio dari Weinstein Company dengan budget
tak lebih dari US$ 35 juta ke Sony Pictures yang akhirnya memberikan lampu
hijau dengan budget US$ 110 juta, pergantian sutradara dari Brian Kirk (serial Game of Thrones dan The Tudors) ke sutradara asal Norwegia, Morten Tyldum (Headhunters, The Imitation Game), sampai pemilihan cast yang awalnya dipilih
Keanu Reeves dan Rachel McAdams, Reese Witherspoon, sampai Emily Blunt, sebelum
akhirnya dipilih Chris Pratt dan Jennifer Lawrence sebagai keputusan akhir.
Disusul Michael Sheen, Laurence Fishburne, dan Andy Garcia. Kabar honor
Lawrence yang mencapai US$ 20 juta ditambah 30% dari profit final, sementara
Pratt ‘hanya’ dibayar US$ 12 juta, mewarnai menjelang perilisan filmnya.
Jim Preston tiba-tiba terbangun dari pod-nya di sebuah pesawat
luar angkasa Avalon yang mengangkut lima ribu penumpang dari bumi ke planet
koloni bernama Homestead II. Betapa kagetnya Jim ketika mendapati dirinya terbangun
saat waktu tiba di Homestead II masih 90 tahun lagi dari total masa tempuh 120
tahun. Panik, ia berusaha mencari tahu penyebabnya dan berupaya agar bisa
kembali berhibernasi sehingga ketika tiba di Homestead II, ia bisa memulai
hidup baru dengan usia seperti saat ini. Sayang semua upaya gagal. Temannya
hanyalah seorang bartender android bernama Arthur. Suatu ketika Jim melihat
sesosok wanita muda yang menarik perhatiannya. Dari data penumpang, wanita itu
bernama Aurora Lane, seorang penulis asal New York. Perlu pergulatan batin yang
cukup lama baginya untuk memutuskan untuk membangunkan Aurora sebagai teman
menghabiskan sisa hidupnya di Avalon atau tidak. Dengan demikian, ia merusak
masa depan orang lain atas nama keegoisannya. Kebutuhan dasar manusia lah yang
akhirnya membuat Jim memberanikan diri membangunkan Aurora dan membuatnya
seolah-olah pod Aurora mengalami kerusakan seperti yang terjadi pada dirinya.
Masa-masa bahagia antara mereka berdua pun terjalin. Namun tak berlangsung
lama. Setelah Kepala Deck, Chief Gus Mancuso tiba-tiba juga terbangun dari
pod-nya. Ada kerusakan lebih besar dari Avalon yang bisa membahayakan nyawa
lima ribu penumpang dan awak lainnya. Dilema moral antara Jim dan Aurora
kembali muncul. Rencana masa depan masing-masing di koloni Homestead II,
hubungan antara keduanya, atau keselamatan seluruh penumpang Avalon.
Dari setup cerita tentang pesawat luar angkasa Avalon, latar
belakang, dan tujuannya, sudah jelas bahwa ada unsur filosofis yang ingin
diusung oleh Passengers. Setelah
karakter-karakter sentralnya diperkenalkan, semakin kuat lah aroma
filosofis-nya. Pilihan dalam memaknai hidup, berambisi mewujudkan rencana
sebesar-besarnya sampai lupa menikmati tiap momen yang dijalani atau tetap
berencana tapi tetap menikmati tiap jengkal momen yang dijalani, no matter
where it will lead, even though not as planned. Ada proses perkembangan cerita
yang cukup jelas dan efektif tersampaikan, mulai Jim menjalani kesendiriannya
hanya dengan bartender android bernama Arthur, dilematis keputusan,
perkembangan hubungan dengan Aurora, titik balik yang menguji keputusan mereka
selanjutnya setelah apa yang dilalui bersama. Kesemuanya ditata dengan sangat
rapih, dengan pace yang sangat pas sehingga tak terkesan terlalu lambat, tapi
juga tak terlalu cepat sehingga mengganggu impresi emosi penonton terhadap
karakter-karakternya, lewat tone yang dominan fun. Turnover menjadi menegangkan
maupun menyentuh pun ditata sedemikian rupa sehingga tak lantas mengubah tone
film menjadi kelewat dark ataupun depresif. Pun juga nyatanya kisah cinta
antara Jim dan Aurora bisa tampil begitu manis, romantis, morally dilemmatic,
bahkan bikin goosebumps (merinding) beberapa kali.
Jika Anda sempat membaca review-review luar dan beberapa
lokal, banyak yang menyayangkan babak ketiga Passengers yang seolah-olah terlalu menggampangkan penyelesaian
dan/atau tak se-dalam maupun se-berat yang dikira. Sorry to say, saya hanya
bisa mentertawai anggapan-anggapan ini. Well, menurut saya semua tergantung
bagaimana ekspektasi Anda. Passengers
sejak awal jelas tak bermain-main sebagai sci-fi filosofis berat atau istilah
yang sedang sering digunakan, cerebral sci-fi yang memang menjadi trend film
sci-fi beberapa tahun terakhir. Ia tak berusaha terlihat terlalu cerdas,
pintar, ataupun mendalam. Maka sangat ngaco jika lantas membandingkannya dengan
Interstellar, Gravity, Moon, ataupun Arrival. Sci-fi di sini digunakan
sebagai latar, elemen untuk membuat konsep kemanusiaannya jadi lebih relevan
(and yes it is), bukan plot utama. Ya, memang ada unsur filosofis, bak Adam
& Hawa, dengan sentuhan Sleeping
Beauty, dan Robinson Crusoe in
space, terutama tentang hakekat manusia, termasuk kaitannya dengan pandangan
dan pilihan hidup. Namun in the end, ia menjadikannya sebagai sebuah life
lesson sederhana yang universal bagi umat manusia manapun, tanpa batasan kelas
ataupun tingkat intelektual tertentu. In my words, life and happiness is
actually that simple, why making it more complicated?
Konklusi Passengers
juga dinilai tak layak didapatkan oleh kedua karakter, Jim dan Aurora setelah
apa yang terjadi. Why not? Ada alasan-alasan hakekat dan kebutuhan manusia yang
bisa dimaklumi karena memang manusiawi. Soal konsekuensinya, kembali kepada
keputusan pihak lain yang juga punya hakekat serta kebutuhan manusiawi yang
sama. Toh, pilihan yang menjadi konklusi Passengers
sangat mampu menggaris-bawahi filosofi besar yang ingin diusung sejak awal. So
yes, I love the ending and its conclusion. Mungkin karena saya memang sangat
setuju dan sesuai dengan filosofi yang ingin diusungnya. Jika ‘selera’ dan/atau
pandangan Anda pribadi adalah sebaliknya, maka itu hak Anda. Namun tak lantas
membuat Passengers sebagai film yang
buruk, karena ia sudah berjalan dengan sangat konsisten sejak awal.
Kekuatan terbesar Passengers
terletak pada performa dan chemistry luar biasa dari Chris Pratt dan Jennifer
Lawrence, kendati keduanya mungkin masih bermain di ‘zona aman’ tipikal
masing-masing. Pratt masih menjadi pria menyenangkan, di kondisi desperate
sekalipun. Begitu pula Lawrence yang menjadi sosok wanita cerdas dan
menyenangkan. Tak ada yang salah dengan itu, apalagi jika memang cocok.
Chemistry asmara yang luar biasa pun berhasil menjadikan tone Passengers jadi menyenangkan, luar biasa
manis dan romantis, serta bikin terdiam sekaligus menyentuh di momen-momen
kritikalnya. Michael Sheen sebagai bartender android, Arthur, pun mendukung
dengan performa yang tak kalah menyenangkan, malahan stealing di banyak
kesempatan. Laurence Fishburne sebagai Gus Mancuso cukup noticeable di balik
porsinya yang tak tergolong sedikit.
Teknis Passengers tergarap
dengan sangat baik pula. Mulai sinematografi Rodrigo Prieto yang mampu
mengeksplorasi desain produksi cantik, simple, dan futuristi dari Guy Hendrix
Dyas. Momen kesendirian, romantis, menegangkan, breath-taking walking in space,
sampai konklusi yang bikin tersenyum bahagia, semua berhasil terekam dengan
kapasitas emosi maksimal dan sinematis. Editing Maryann Brandon berperan tak
kalah penting dalam membuat tiap proses berjalan dinamis, efektif, tanpa
melupakan kesan ‘panjangnya proses’. Tentu saja pemilihan soundtrack yang pas
sekaligus scoring dari Thomas Newman turut mendukung emosi tiap adegan yang
ditampilkan dengan maksimal pula. Desain kostum Jany Temime terlihat jelas pada
gaun-gaun anggun yang dikenakan Lawrence. Terakhir, sound design memberikan
dimensi yang jelas di keseluruhan adegan dengan pemanfaatan fasilitas surround
yang terdengar maksimal pula.
Passengers di mata
saya adalah sajian hiburan yang sangat memuaskan. Sebagai sebuah drama
romantis, saya berani memberikannya predikat pengalaman sinematik paling
romantis yang saya dapatkan dalam beberapa tahun terakhir. Dengan grand design
filosofis yang tak muluk-muluk, tak berusaha terlihat terlalu pintar maupun
berbobot, sederhana tapi penting, disampaikan dengan treatment yang
menyenangkan tapi tetap terasa bold serta konsisten. I really recommend you to
experience Passengers on movie
screen. Apalagi bersama pasangan tercinta, kalau sudah punya.
Lihat data film ini di IMDb.
The 89th Academy Awards Nominees for:
- Production Design - Guy Hendrix Dyas (Production Design) and Gene Serdena (Set Decorator)
- Music (Original Score) - Thomas Newman