The Jose Flash Review
Passengers

Memadukan sci-fi dengan filosofi sejatinya sudah sejak lama dilakukan. Keduanya memang menjadi pasangan yang klop untuk dikawinkan karena sejatinya sci-fi dengan berbagai kisah di dalamnya tak lepas dari filosofi-filosofi kehidupan manusia, apapun aspeknya. Passengers yang naskahnya sudah ditulis oleh Jon Spaihts (The Darkest Hour, Prometheus, Doctor Strange, dan upcoming, reboot The Mummy) sejak 2007 lalu dan sempat masuk dalam daftar Blacklist (daftar naskah yang paling disukai tapi belum direalisasikan ke dalam bentuk film). Namun penggarapannya tak begitu mulus, mulai pergantian studio dari Weinstein Company dengan budget tak lebih dari US$ 35 juta ke Sony Pictures yang akhirnya memberikan lampu hijau dengan budget US$ 110 juta, pergantian sutradara dari Brian Kirk (serial Game of Thrones dan The Tudors) ke sutradara asal Norwegia, Morten Tyldum (Headhunters, The Imitation Game), sampai pemilihan cast yang awalnya dipilih Keanu Reeves dan Rachel McAdams, Reese Witherspoon, sampai Emily Blunt, sebelum akhirnya dipilih Chris Pratt dan Jennifer Lawrence sebagai keputusan akhir. Disusul Michael Sheen, Laurence Fishburne, dan Andy Garcia. Kabar honor Lawrence yang mencapai US$ 20 juta ditambah 30% dari profit final, sementara Pratt ‘hanya’ dibayar US$ 12 juta, mewarnai menjelang perilisan filmnya.
Jim Preston tiba-tiba terbangun dari pod-nya di sebuah pesawat luar angkasa Avalon yang mengangkut lima ribu penumpang dari bumi ke planet koloni bernama Homestead II. Betapa kagetnya Jim ketika mendapati dirinya terbangun saat waktu tiba di Homestead II masih 90 tahun lagi dari total masa tempuh 120 tahun. Panik, ia berusaha mencari tahu penyebabnya dan berupaya agar bisa kembali berhibernasi sehingga ketika tiba di Homestead II, ia bisa memulai hidup baru dengan usia seperti saat ini. Sayang semua upaya gagal. Temannya hanyalah seorang bartender android bernama Arthur. Suatu ketika Jim melihat sesosok wanita muda yang menarik perhatiannya. Dari data penumpang, wanita itu bernama Aurora Lane, seorang penulis asal New York. Perlu pergulatan batin yang cukup lama baginya untuk memutuskan untuk membangunkan Aurora sebagai teman menghabiskan sisa hidupnya di Avalon atau tidak. Dengan demikian, ia merusak masa depan orang lain atas nama keegoisannya. Kebutuhan dasar manusia lah yang akhirnya membuat Jim memberanikan diri membangunkan Aurora dan membuatnya seolah-olah pod Aurora mengalami kerusakan seperti yang terjadi pada dirinya. Masa-masa bahagia antara mereka berdua pun terjalin. Namun tak berlangsung lama. Setelah Kepala Deck, Chief Gus Mancuso tiba-tiba juga terbangun dari pod-nya. Ada kerusakan lebih besar dari Avalon yang bisa membahayakan nyawa lima ribu penumpang dan awak lainnya. Dilema moral antara Jim dan Aurora kembali muncul. Rencana masa depan masing-masing di koloni Homestead II, hubungan antara keduanya, atau keselamatan seluruh penumpang Avalon.

Dari setup cerita tentang pesawat luar angkasa Avalon, latar belakang, dan tujuannya, sudah jelas bahwa ada unsur filosofis yang ingin diusung oleh Passengers. Setelah karakter-karakter sentralnya diperkenalkan, semakin kuat lah aroma filosofis-nya. Pilihan dalam memaknai hidup, berambisi mewujudkan rencana sebesar-besarnya sampai lupa menikmati tiap momen yang dijalani atau tetap berencana tapi tetap menikmati tiap jengkal momen yang dijalani, no matter where it will lead, even though not as planned. Ada proses perkembangan cerita yang cukup jelas dan efektif tersampaikan, mulai Jim menjalani kesendiriannya hanya dengan bartender android bernama Arthur, dilematis keputusan, perkembangan hubungan dengan Aurora, titik balik yang menguji keputusan mereka selanjutnya setelah apa yang dilalui bersama. Kesemuanya ditata dengan sangat rapih, dengan pace yang sangat pas sehingga tak terkesan terlalu lambat, tapi juga tak terlalu cepat sehingga mengganggu impresi emosi penonton terhadap karakter-karakternya, lewat tone yang dominan fun. Turnover menjadi menegangkan maupun menyentuh pun ditata sedemikian rupa sehingga tak lantas mengubah tone film menjadi kelewat dark ataupun depresif. Pun juga nyatanya kisah cinta antara Jim dan Aurora bisa tampil begitu manis, romantis, morally dilemmatic, bahkan bikin goosebumps (merinding) beberapa kali.
Jika Anda sempat membaca review-review luar dan beberapa lokal, banyak yang menyayangkan babak ketiga Passengers yang seolah-olah terlalu menggampangkan penyelesaian dan/atau tak se-dalam maupun se-berat yang dikira. Sorry to say, saya hanya bisa mentertawai anggapan-anggapan ini. Well, menurut saya semua tergantung bagaimana ekspektasi Anda. Passengers sejak awal jelas tak bermain-main sebagai sci-fi filosofis berat atau istilah yang sedang sering digunakan, cerebral sci-fi yang memang menjadi trend film sci-fi beberapa tahun terakhir. Ia tak berusaha terlihat terlalu cerdas, pintar, ataupun mendalam. Maka sangat ngaco jika lantas membandingkannya dengan Interstellar, Gravity, Moon, ataupun Arrival. Sci-fi di sini digunakan sebagai latar, elemen untuk membuat konsep kemanusiaannya jadi lebih relevan (and yes it is), bukan plot utama. Ya, memang ada unsur filosofis, bak Adam & Hawa, dengan sentuhan Sleeping Beauty, dan Robinson Crusoe in space, terutama tentang hakekat manusia, termasuk kaitannya dengan pandangan dan pilihan hidup. Namun in the end, ia menjadikannya sebagai sebuah life lesson sederhana yang universal bagi umat manusia manapun, tanpa batasan kelas ataupun tingkat intelektual tertentu. In my words, life and happiness is actually that simple, why making it more complicated?
Konklusi Passengers juga dinilai tak layak didapatkan oleh kedua karakter, Jim dan Aurora setelah apa yang terjadi. Why not? Ada alasan-alasan hakekat dan kebutuhan manusia yang bisa dimaklumi karena memang manusiawi. Soal konsekuensinya, kembali kepada keputusan pihak lain yang juga punya hakekat serta kebutuhan manusiawi yang sama. Toh, pilihan yang menjadi konklusi Passengers sangat mampu menggaris-bawahi filosofi besar yang ingin diusung sejak awal. So yes, I love the ending and its conclusion. Mungkin karena saya memang sangat setuju dan sesuai dengan filosofi yang ingin diusungnya. Jika ‘selera’ dan/atau pandangan Anda pribadi adalah sebaliknya, maka itu hak Anda. Namun tak lantas membuat Passengers sebagai film yang buruk, karena ia sudah berjalan dengan sangat konsisten sejak awal.
Kekuatan terbesar Passengers terletak pada performa dan chemistry luar biasa dari Chris Pratt dan Jennifer Lawrence, kendati keduanya mungkin masih bermain di ‘zona aman’ tipikal masing-masing. Pratt masih menjadi pria menyenangkan, di kondisi desperate sekalipun. Begitu pula Lawrence yang menjadi sosok wanita cerdas dan menyenangkan. Tak ada yang salah dengan itu, apalagi jika memang cocok. Chemistry asmara yang luar biasa pun berhasil menjadikan tone Passengers jadi menyenangkan, luar biasa manis dan romantis, serta bikin terdiam sekaligus menyentuh di momen-momen kritikalnya. Michael Sheen sebagai bartender android, Arthur, pun mendukung dengan performa yang tak kalah menyenangkan, malahan stealing di banyak kesempatan. Laurence Fishburne sebagai Gus Mancuso cukup noticeable di balik porsinya yang tak tergolong sedikit.
Teknis Passengers tergarap dengan sangat baik pula. Mulai sinematografi Rodrigo Prieto yang mampu mengeksplorasi desain produksi cantik, simple, dan futuristi dari Guy Hendrix Dyas. Momen kesendirian, romantis, menegangkan, breath-taking walking in space, sampai konklusi yang bikin tersenyum bahagia, semua berhasil terekam dengan kapasitas emosi maksimal dan sinematis. Editing Maryann Brandon berperan tak kalah penting dalam membuat tiap proses berjalan dinamis, efektif, tanpa melupakan kesan ‘panjangnya proses’. Tentu saja pemilihan soundtrack yang pas sekaligus scoring dari Thomas Newman turut mendukung emosi tiap adegan yang ditampilkan dengan maksimal pula. Desain kostum Jany Temime terlihat jelas pada gaun-gaun anggun yang dikenakan Lawrence. Terakhir, sound design memberikan dimensi yang jelas di keseluruhan adegan dengan pemanfaatan fasilitas surround yang terdengar maksimal pula.
Passengers di mata saya adalah sajian hiburan yang sangat memuaskan. Sebagai sebuah drama romantis, saya berani memberikannya predikat pengalaman sinematik paling romantis yang saya dapatkan dalam beberapa tahun terakhir. Dengan grand design filosofis yang tak muluk-muluk, tak berusaha terlihat terlalu pintar maupun berbobot, sederhana tapi penting, disampaikan dengan treatment yang menyenangkan tapi tetap terasa bold serta konsisten. I really recommend you to experience Passengers on movie screen. Apalagi bersama pasangan tercinta, kalau sudah punya.
Lihat data film ini di IMDb.

The 89th Academy Awards Nominees for:

  • Production Design - Guy Hendrix Dyas (Production Design) and Gene Serdena (Set Decorator)
  • Music (Original Score) - Thomas Newman
Diberdayakan oleh Blogger.