3.5/5
black comedy
Blockbuster
Box Office
Comedy
Fantasy
Indonesia
Investigation
murder
Mystery
Parody
Pop-Corn Movie
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Hangout
Baru Lebaran lalu Raditya Dika mencetak sukses Koala Kumal yang berhasil menggaet 1.8
juta penonton lebih, di akhir tahun ini ia mencoba peruntungan di genre serta
konsep yang jauh berbeda dari biasanya. Jika image-nya selama ini sudah
tertanam kuat komedi olok-olok diri karena status jomblo, kali ini ia
‘bermain-main’ menggabungkan komedi absurd khas-nya dengan thriller misteri a
la Agatha Christie (terutama Ten Little
Niggers atau kemudian juga dikenal sebagai And Then There Were None – 1939 – yang sudah beberapa kali
diadaptasi ke berbagai medium, termasuk layar lebar). Tak hanya itu, nama-nama
populer tanah air, mulai Soleh Solihun, Bayu Skak, Titi Kamal, Surya Saputra,
Prilly Latuconsina, Gading Marten, Dinda Kanya Dewi, sampai Mathias muchus,
digandeng untuk meramaikan sekaligus mengundang penonton sebanyak-banyaknya.
Sejak trailer pertama dirilis, film bertajuk Hangout ini sudah mengundang rasa penasaran akan seperti apa
racikan komedi-thriller a la Raditya Dika. Menariknya lagi, Hangout dirilis hanya enam hari sebelum
film yang digarap oleh komika terkemuka tanah air lainnya, Ernest Prakasa, Cek Toko Sebelah dirilis. Maka akhir
tahun ini bisa menjadi ajang battle yang seru dari dua komika populer tanah air
yang sudah tak perlu diragukan lagi kekuatan masing-masing fanbase-nya.
Raditya Dika yang selama ini berprofesi sebagai aktor tapi
seringkali aktingnya dinilai datar dan begitu-begitu saja, sedang berada di
ujung tanduk. Tak hanya karir yang semakin tidak jelas, sewa rumah pun
menunggak beberapa bulan. Di saat yang hampir bersamaan, ia menerima undangan
ke sebuah pulau pribadi terpencil dari seseorang misterius. Menurut sang
manajer, si pengirim undangan sudah membayar down-payment yang lumayan. Karena
rasa penasaran dan merasa butuh uangnya, Dika pun memenuhi undangan tersebut.
Ternyata ia tak sendirian. Ada Soleh Solihun, seorang komika yang pernah punya
masalah pribadi soal karir dengan Dika, juga ada Titi Kamal, Gading Marten,
Dinda Kanya Dewi, Bayu Skak, Surya Saputra, Prilly Latuconsina, sampai aktor
senior, Mathias Muchus. Sama seperti Dika, mereka semua juga tak ada yang tahu
siapa sosok si tuan rumah pengirim undangan maupun untuk apa mereka semua
dikumpulkan di satu villa di tengah pulau terpencil. Keanehan mulai terjadi
ketika jamuan makan malam pertama dimana Mathias Muchus mendadak keracunan dan
tewas. Seiring dengan satu per satu dari mereka yang juga berakhir dengan ajal,
kecurigaan satu sama lain akan sosok sang pelaku pembunuhan di antara mereka
sendiri pun semakin memperkeruh keadaan.
Dengan trailer dan materi promosi yang mengarahkan image film
sebagai sebuah thriller misteri pembunuhan berkonsep ‘whodunit’ yang merujuk
secara jelas pada kisah misteri karya Agatha Christie, Ten Little Niggers, dengan bumbu komedi absurd khas Raditya Dika
sendiri, jelas ekspektaasi penonton manapun, termasuk yang punya referensi
cukup banyak di genre thriller misteri ini, berfokus pada jawaban ‘siapa
pembunuhnya’ dan ‘apa motifnya’. Apalagi plot utama ini digerakkan dengan
konsisten sebagai porsi utama. Sayangnya, arah fokus seperti ini membuat banyak
penonton yang kecewa, mostly dengan alasan ‘pembunuhnya sudah tertebak sejak
awal’ atau ‘motif pembunuh yang menggelikan’. Yes, jika Anda melihat Hangout hanya dari permukaan terluarnya
saja, hanya sejauh itu pula lah yang akan Anda dapatkan.
But let’s just look deeper. No, not that deep with extra
thought effort. Jika Anda mengikuti perkembangan dunia selebriti tanah air maupun
isu-isu umum populer beberapa tahun terakhir, tentu dengan mudah menemukan
bahwa plot ‘misteri pembunuhan’ dengan arah ‘whodunit’ hanyalah sebuah plot
device untuk menyampaikan konsep besar yang ingin dibangun Dika. Perhatikan
sindiran dan olok-olok (baca: satire) yang bertebaran di sana-sini. Tak sekedar
gimmick penghias semata, elemen-elemen satire ini nyatanya menjadi nyawa terbesar
dari konsep besar yang diusung Dika lewat Hangout.
Ada alasan yang sebenarnya terlihat dengan jelas sepanjang film berjalan,
mengapa para selebriti ini memerankan diri mereka sendiri (setidaknya dari nama
dan fakta sesungguhnya, bukan dari segi kepribadian asli yang saya rasa
mustahil seperti yang tergambar dalam film). Bak This is the End, Hangout adalah sebuah komedi chaotic yang tak hanya menyuguhkan
satire atas isu-isu dunia selebriti, mulai soal persaingan antara para komika
dengan artis-artis yang lebih senior, perbedaan image artis di depan layar
dengan aslinya, bahkan sampai kecenderungan kepribadian generasi sekarang, tapi
juga meta dari berbagai elemen-elemen populer, baik dari formula asing
yang sudah dikenal luas sebelumnya, misalnya aroma mo-lei-tau a la film-film
Mandarin Stephen Chou (karakter Dinda Kanya Dewi merujuk pada aktris
legendaris, Sandra Ng, bukan?), adegan-adegan hide-and-seek a la Scream dan I Still Know What You Did Last Summer, gesture parodi dari Scary Movie, sampai fakta-fakta seputar
karakter di dunia nyata yang digunakan sebagai bagian penting serta kuat dari
grand design-nya. Kesemuanya ini ia racik dengan cerdas menjadi satu adonan
yang saling berkaitan secara cukup solid dan konsisten.
Tidak. Dika tak pula sedang berusaha mencari pengakuan dari
kaum kritikus film lewat sajian yang meracik berbagai referensi dan formula ke
dalam satu paket hiburan. Seperti biasa, ia masih melakukan kesemuanya dengan
fun, baik bersama para cast maupun fans setianya yang jumlahnya luar biasa
besar. Hangout masih membidik penonton
muda yang memang sudah cocok dengan gaya humornya selama ini, yang tak butuh
tontonan berbobot maupun jalan cerita yang rumit. Itulah mengapa ada
sosok-sosok public figure yang begitu ‘dekat’ dengan target audience utamanya:
agar tetap relatable dengan suguhan yang ia sodorkan, termasuk untuk motif
pelaku yang memang sudah secara konsisten dikonsep sejak awal. Tak ketinggalan
‘pesan moral’ sisipan sebagai konklusi yang relevan, relatable, dan urgent
untuk disampaikan kepada ‘generasi’-nya.
Tak hanya sampai di situ saja kepiawaian Dika dalam menyusun
konsep ke dalam naskah, tapi masih ada skill directing yang terlihat semakin
berkembang. Meski beberapa penonton mengaku sudah bisa menebak siapa pelaku
pembunuhan, beberapa kali ia cukup berhasil membelokkan maupun membuat penonton
ragu atas kecurigaan yang sudah mereka tebak. Kemudian penanganan thriller dan
suspense moment yang surprisingly, juga berhasil dibangun lewat gerak kamera,
fokus visual, maupun timing yang serba tepat.
Namun ada kalanya pula Dika masih terbawa treatment dari
film-film rom-com sebelumnya yang lebih laid-back, terutama pada dialog-dialog
a la performance komika yang punya struktur tersendiri (misalnya setup dan
punchline) dan terkadang ‘kurang sinematis’. Sehingga masih ada part in-between
yang terkesan terlalu santai (bukan berarti terlalu lambat ya!) jika
disandingkan dengan pace-nya sebagai thriller. Treatment wrap-up juga
seharusnya bisa jauh lebih bold dan tetap ‘pecah’, but it’s still (just) okay.
Meski kesemua aktor di sini berperan sebagai diri sendiri,
tapi tetap saja ada ‘kepribadian-kepribadian’ fiktif yang disesuaikan dengan
image mereka di film-film populer, misalnya Titi Kamal dengan karakter Maura di
Ada Apa dengan Cinta, Surya Saputra
di Arisan!, atau Prilly Latuconsina
di serial Ganteng-Ganteng Serigala.
For that purpose, kesemuanya mampu membawakan keseimbangan antara bermain
santai, dibawa fun, dan keseriusan untuk menghidupkan karakter sesuai konsep,
dengan sangat baik. Raditya Dika kali ini ‘mengalah’. Meski di berbagai materi
promosi seolah-olah dialah sang karakter utama, nyatanya karakter Dika justru
porsinya yang paling sedikit, termasuk untuk soal perkembangan karakter. Kalau
mau jujur, karakter Dika justru diletakkan sebagai ‘pengamat’ laju plot semata,
and that’s definitely on purpose. Dinda Kanya Dewi yang kebagian peran ‘korban’
toilet jokes dan mo-lei-tau, terasa yang paling mencuri perhatian dan paling
berhasil mengundang tawa. Soleh Solihun semakin terlihat siap untuk porsi peran
lebih dengan gesture suspense yang lebih dari cukup untuk mempermainkan
persepsi penonton, tanpa harus menanggalkan humor factors dari dirinya selama
ini. Bayu Skak pun diberi sedikit ‘suntikan’ kepintaran di tengah-tengah
karakterisasi yang menyebalkan yang mampu ia bawakan dengan cukup simpatik
pula.
Secara teknis, Hangout
pun terasa ditata dengan konsep yang tak asal-asalan. Mulai tata kamera Enggar
Budiono yang dengan camera work yang smooth sesuai dengan berbagai kebutuhan
adegan. Pun juga kualitas gambar (terutama ketajaman gambar) yang konsisten
terjaga, termasuk untuk drone-shot. Editing Ryan Purwoko membuat energi
pengarahan Dika yang tepat menjadi semakin terasa pas, terutama untuk
momen-momen suspense dan thriller. Keterbatasan visual effect pun berhasil ditutupi
oleh editing dengan rapih. Musik Andhika Triyadi yang sering bermain-main
dengan ornamen-ornamen bergaya Baroque bak gubahan Danny Elfman untuk film-film
Tim Burton, memberikan warna tersendiri untuk ranah film Indonesia. Pun juga
cukup mewakili tone film yang misterius sekaligus fun.
So in the end, tergantung bagaimana ekspektasi Anda atas Hangout. Jika Anda tergolong cocok
dengan humor Raditya Dika selama ini dan tak punya banyak referensi atas plot
misteri pembunuhan ‘whodunit’, Hangout
adalah sajian yang segar, baik dari Dika maupun di ranah perfilman Indonesia.
Bagi Anda yang mengharapkannya menjadi film misteri pembunuhan serius dengan
revealing yang mind-blowing atau malah twist-ending, sudah hampir pasti Anda
akan kecewa. In other hands, jika Anda sama seperti saya, tak begitu menyukai
isu-isu kekinian dan dunia selebriti Indonesia dewasa ini, tapi tetap mengikuti
sehingga familiar, Hangout adalah
sajian yang sangat menghibur, dengan konsep yang menarik, serta diracik secara
cerdas pula. Toh, bakat dan skill menulis naskah maupun directing Raditya Dika
semakin terlihat di sini. Good job!
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.