2/5
Action
Adventure
Based on a Game
Fantasy
Franchise
Hollywood
Pop-Corn Movie
SciFi
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Assassin's Creed
Kendati film adaptasi dari video game sudah sejak lama
mendapatkan stigma negatif dan seringkali flop di pasaran, upaya untuk
mengambilnya sebagai materi layar lebar selalu dilakukan dengan harapan bisa
lebih baik atau setidaknya masih mampu meng-grab pemain game-nya yang jumlahnya
tak bisa dianggap remeh. Syukur-syukur bisa sekaligus mengubah stigma tersebut.
Namun tentu ini bukan upaya yang mudah untuk dilakukan. Upaya terbaru dilakukan
Ubisoft dengan franchise terbesar mereka, Assassin’s
Creed (AC), yang pertama kali dirilis tahun 2007 dan sudah ada sembilan
judul game utama serta beberapa judul pendukung. Tak tanggung-tanggung, Ubisoft
sampai membuka divisi sendiri atas nama Ubisoft Motion Pictures dengan
menjadikan adaptasi AC sebagai proyek pertama mereka. Awalnya sempat
menggandeng Sony Pictures di tahun 2011, tapi negosiasi yang panjang dan
keinginan kontrol kreativitas yang lebih besar membuat mereka akhirnya
memutuskan untuk memproduksi sendiri. New Regency, RatPac Entertainment, dan
Alpha Pictures kemudian turut bergabung, dengan 20th Century Fox
sebagai distributor internasional.
Michael Fassbender yang sudah ditunjuk untuk mengisi peran
utama sejak 2012 dan bahkan sempat menjadi salah satu produser, mengkonfirmasi
keterlibatannya. Naskah final-nya disusun ulang oleh Michael Lesslie (Macbeth), setelah sebelumnya dikerjakan
oleh Adam Cooper dan Bill Collage (Exodus:
Gods and Kings, The Transporter
Refueled, dan Allegiant),
sementara bangku sutradara dipercayakan kepada sineas Australia yang populer lewat
adaptasi terbaru Macbeth (2015),
Justin Kurzel. Ini akan menjadi ‘reuni’ Kurzel bekerja sama dengan Fassbender
dan Marion Cottilard setelah Macbeth,
sekaligus proyek termahal Kurzel, yaitu sebesar US$ 130 juta (bandingkan dengan
Macbeth yang hanya berbudget US$ 15
juta!). AC versi layar lebar menghadirkan karakter-karakter yang berbeda,
termasuk karakter utama. Hanya karakter antagonis, Alan Rikkin dan beberapa
elemen khas yang masih dipertahankan. Harapannya selain memanjakan pemain game-nya,
sekaligus tetap memberikan element of surprise, baik bagi pemain game maupun
awam.
Tepat setelah dieksekusi mati, Callum Lynch, seorang kriminal
terbangun di sebuah fasilitas medis modern. Menurut Dr. Sophia Rikkin yang
merawatnya, Cal dibawa ke fasilitas milik Abstergo Industries karena dirinya
dipercaya sebagai keturunan terakhir yang tersisa dari kaum Assassin. Konon
kaum Assassin sejak abad ke-15 sudah menjadi pelindung Apple of Eden dari
tangan kaum Ordo Templar. Abstergo memanfaatkan Callum untuk menjadi objek
proyek Animus, dimana ia akan terhubung dengan leluhurnya yang anggota kaum
assassin, Aguilar de Nerha, melalui sebuah alat, agar menemukan di mana letak
Apple of Eden yang dipercaya merupakan rahasia dari kehendak bebas manusia pada
jaman Nabi Adam dan Hawa. Menurut Dr. Sophia Rikkin, Apple of Eden inilah kunci
penyembuhan untuk menghapus sifat dasar kekerasan dalam diri manusia.
Di abad ke-15, Cal sebagai Aguilar bersama dengan assassin
lainnya, Maria, sedang mencegat iring-iringan kereta yang membawa Pangeran
Ahmed de Granada, putra Sultan Muhammad XII, yang diculik oleh kaum Templar
dengan permintaan tebusan Apple of Eden. Tugas Cal ternyata tak semudah itu.
Belum lagi ternyata Abstergo Industries punya agenda lain dari penemuan Apple
of Eden ini.
Secara garis besar, plotline yang ditawarkan AC versi film ini
masih sejalan dengan game pertamanya. Hanya saja karakter sentral di game,
Desmond, diubah menjadi Callum. Ada intrik tentang kebutuhan umat manusia saat
ini yang tak lagi mengenai kehendak bebas, tapi jaminan keamanan. Meski sudah
sering dibahas di film (terutama pasca 9/11), tetap saja menarik untuk
dijadikan salah satu pondasi cerita. Sayangnya, intrik ini nyatanya hanya
menjadi pertanyaan retorika semata, tanpa dikembangkan apalagi diberikan konklusi
jelas. Sisanya, plot AC masih digerakkan secara generik, bak perpaduan antara The Matrix dan Prince of Persia. Tak ada yang salah sebenarnya dengan formula
generik seperti ini, selama plotnya dikembangkan jadi menarik, misalnya yang
paling sederhana pengembangan hubungan antar karakter atau sekedar hubungan
sebab-akibat antar adegan yang runtut. Namun AC tak menyuguhkan
‘requirement-requirement minimal’ tersebut. Bahkan struktur cerita AC termasuk
berantakan dan anti-klimaks.
Ada banyak adegan dimana Kurzel terasa kesusahan menerjemahkan
elemen-elemen cerita yang ingin disampaikan ke dalam bentuk visual. Ditambah
dengan style penyutradaraan Kurzel yang masih ala-ala Macbeth; lambat, sunyi, dan minim ekspresi emosi. Adegan-adegan
pertarungan dan petualangan (yang jumlanya saja sudah sangat sedikit) juga tak
banyak membantu karena di-direct dengan skill action yang masih jauh dari kata
‘jelas’, apalagi mengasyikkan. Alhasil, tak heran jika cukup banyak penonton
yang mengeluhkan AC sebagai sajian yang membosankan (atau malah ketiduran?),
dengan arah plot yang tidak begitu jelas gara-gara storytelling Kurzel yang
lemah di genre ini. Alih-alih memberikan klimaks yang ‘pecah’, super seru,
ataupun epik, ia justru berjalan datar-datar saja dengan konklusi yang terlampau
generik, jika tak mau disebut mengambang.
Akting para performance pun tak memberikan kontribusi berarti
untuk mengangkat mood film. Fassbender sebenarnya masih memberikan performa
sekaligus kharisma yang cukup sebagai lead. Sayangnya, potensinya tak diberi
ruang lebih untuk benar-benar terasa kuat sepanjang film. Marion Cotillard
sebagai Dr. Sophia Rikkin tampak berusaha keras ‘menahan diri’ dan suppressed.
Dengarkan saja tone suaranya di hampir semua part-nya. Sangat berbeda jauh dari
performa di film-film high profile Cotillard lainnya. Begitu pula Jeremy Irons
sebagai Alan Rikkin, Brendan Gleeson sebagai Joseph Lynch (ayah Callum),
Charlotte Rampling sebagai Ellen Kaye, dan Michael K. Williams sebagai Moussa
dan Baptiste yang kapasitas aktingnya terasa mubazir di sini. Noticeable karena
reputasi para aktornya, tapi gagal untuk menjadi performance yang memorable,
atau sekedar menarik perhatian.
Teknis AC sebenarnya juga berusaha keras untuk mumpuni.
Alih-alih memberikan improvement pada penceritaan yang lemah, sinematografi
Adam Arkapaw lebih sering justru memperlemah adegan, terutama adegan-adegan
laga yang meski terlihat seru tapi terasa datar dan hambar. Begitu pula editing
Christopher Tellefsen yang memperparah ritme dan tone di hampir keseluruhan
film. Gimmick 3D tak terlalu terasa, baik dari segi depth-of-field, apalagi
gimmick pop-out. Musik dari adik Justin, Jed Kurzel terdengar monoton sehingga
semakin menghanyutkan penonton (dalam lelap). Sound design masih tergolong
aman, meski tak memberikan kedalaman dimensi lebih lewat fasilitas tata suara surround
yang ada.
Upaya perdana Ubisoft untuk mematahkan stigma film adaptasi
dari game selalu buruk masih jauh dari berhasil. Malah mungkin AC adalah salah
satu film adaptasi game terburuk yang penah dibuat. Bisa jadi karena faktor
directing style Justin Kurzel yang tidak cocok dengan treatment genre sejenis
seharusnya. Kalaupun (jadi) dibuat sekuelnya (di ending jelas sangat terbuka
akan kemungkinan tersebut), perlu perombakan konsep treatment yang lebih menghibur
ketimbang apa yang ditawarkan Kurzel di sini. As for now, jika Anda sejak awal sudah
tertarik untuk menontonnya, baik karena Anda termasuk fan video game-nya atau
sekedar Fassbender-factor, go for it without any expectations. Namun
sebaliknya, tak perlu ragu untuk skip.
Lihat data film ini di IMDb.