3.5/5
Based on Book
Drama
Family
Indonesia
Pop-Corn Movie
religious
Romance
Socio-cultural
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Cinta Laki-Laki Biasa
Setelah Pesantren Impian
di awal tahun dan Jilbab Traveler:
Love Sparks in Korea di musim libur Lebaran dirilis, tahun ini ada satu
lagi novel Asma Nadia yang mendapatkan giliran diadaptasi ke layar lebar, yaitu
Cinta Laki-Laki Biasa (CLLB). Kembali
bekerja sama dengan ‘the dream team’; penyusun naskah, Alim Sudio (Assalamualaikum
Beijing, Surga yang Tak Dirindukan,
dan Pesantren Impian, dan Jilbab Traveler) dan sutradara Guntur
Soeharjanto (Assalamualaikum Beijing
dan Jilbab Traveler), kali ini
giliran Starvision yang mendapatkan giliran mencoba peruntungan. Deva Mahenra,
Velove Vexia, dan Nino Fernandez diletakkan di lini terdepan untuk menarik
perhatian penonton, sementara Ira Wibowo, Cok Simbara, Dewi Yull, Dewi Rezer,
Fanny Fabriana, Donita, Muhadkly Acho, Agus Kuncoro, Dhini Aminarti, dan Adi
Nugroho digandeng untuk ‘meramaikan’.
Dibandingkan orang tua dan ketiga kakak perempuannya yang
terbiasa hidup glamour, Nania termasuk yang punya pilihan dan gaya hidup
‘unik’. Sebagai tempat magang, ia malah memilih ditempatkan di proyek lapangan
pembangunan rumah sederhana yang panas dan bersama pekerja berat. Tapi justru
kerja praktek lapangan ini yang mempertemukannya dengan Rafli, laki-laki
pekerja keras yang saleh. Di tengah-tengah proyek pun ia menyempatkan sholat
dan lebih memilih cara ta’aruf ketimbang pacaran. Menurutnya, laki-laki yang
bertanggung jawab itu akan berani dan yakin mengajak gadis pilihannya untuk
ber-ta’aruf. Setelah mengalami pasang-surut hubungan, Nania dan Rafli
memutuskan untuk segera menikah. Tentu hubungan ini ditentang terutama oleh ibu
Nania yang sudah menjodohkannya dengan Tyo, seorang dokter lulusan Jerman.
Ujian cinta Rafli tak hanya berhenti di perlakuan keluarga Nania, tapi juga
ketika Nania mengalami kecelakaan dan terkena retrogade amnesia. Nania berubah
menjadi tidak mengenal Rafli dan kedua anaknya, bahkan tak percaya bahwa
dirinya bersuamikan Rafli yang hanya laki-laki biasa.
Dengan sinopsis yang demikian, jelas bahwa Asma Nadia masih
‘memanjakan’ para fansnya dengan fantasi akan sosok pria sempurna, terutama
karena faktor ke-relijiusan-nya. Mungkin sudah beranjak dari fantasi akan pria
oriental seperti yang dilakukannya di Assalamualaikum
Beijing dan Jilbab Traveler,
serta memilih pria pribumi yang secara status sosial dan ekonomi biasa-biasa
saja. Namun beberapa elemen-elemen ‘khas’ Asma masih dipertahankan, seperti
sosok pria yang terlalu sempurna hingga terkesan kurang manusiawi (tapi bisa
membuat para penonton wanita histeris), motivasi-motivasi yang hanya dari sisi
reliji saja dan masih jauh dari kata logis ataupun realistis, sampai
penggambaran karakter-karakter non-relijius yang terlalu judgemental. Pada
akhirnya, bangunan-bangunan cerita drama seperti ini berpotensi jatuh menjadi
klise a la sinetron.
Untungnya, CLLB agaknya ‘belajar’ dari film-film Asma
sebelumnya dan terlihat upayanya agar elemen-elemen yang mungkin hanya bisa
diterima oleh segmen tertentu diminimalisir atau setidaknya mendapatkan porsi
yang kecil sehingga tak terlalu terasa menonjol. Misalnya tema ta’aruf yang
setidaknya di sini ditampilkan lewat penggambaran karakter Rafli dan Nania yang
terlihat benar-benar saling jatuh cinta dan ‘baik-baik’ sehingga tak terkesan
sekedar asal taat ajaran agama. Begitu juga penggambaran karakter Rafli yang
menjadi lovable bukan karena sekedar relijius, tapi punya kualitas-kualitas
(ditambah pembawaan Deva sendiri) di luar reliji, yang tentu membuat penonton
non-muslim (dan juga muslim yang lebih mengedepankan logika ketimbang sekedar taat pada aturan agama) tak terasing untuk mengikuti kisahnya. Penempatan porsi karakter Tyo
pun masih tergolong pas, tak terlalu berlebihan hingga memperkeruh plot drama
utama.
Tak ada masalah juga ketika porsi proses hubungan asmara
antara Rafli dan Nania dibuat lebih dari durasi satu jam, sebelum akhirnya
masuk ke fase titik balik. Padahal film dengan tema sejenis lebih memilih untuk
meletakkan titik balik ini pada paruh pertama dengan perkembangan kisah
setelahnya. Ia justru sengaja untuk menanamkan perkembangan cinta yang cukup dalam atas
hubungan karakter Rafli-Nania sebelum ujian yang terberat dimunculkan. Ada
keuntungan tersendiri sebenarnya, terutama paruh titik balik yang tak sampai
menjadi part membosankan, berjalan terlalu lambat, maupun nuansa depresif
yang berlebihan. Plot cliché CLBB masih bisa berjalan dengan lancar dengan
nuansa ‘penuh cinta’ yang lembut dan manis di balik arah cerita yang sebenarnya
cukup depresif. Logika tentang ciri-ciri penderita retrogade amnesia yang agak
janggal drama-drama cliché pun menjadi tertutupi oleh nuansa manis penuh cinta
yang dipertahankannya hingga akhir film.
Meski sebenarnya tak terlalu istimewa, setidaknya chemistry
antara Deva Mahenra dan Velove Vexia masih mampu menjadi faktor keberhasilan
terbesar CLLB, selain secara individu juga terasa mengalami sedikit peningkatan
kualitas akting dan kharisma. Hangat, lembut, dan convincing sebagai pasangan
yang memang saling mencintai. Begitu juga penampilan cast pendukung yang masih
bermain-main di zona aman tipikalnya tapi tetap noticeable. Mulai Nino
Fernandez, Ira Wibowo, Cok Simbara, Dewi Yull, Muhadkly Acho, Dewi Razer, Fanny
Fabriana, Donita, Agus Kuncoro, dan Adi Nugroho.
Teknis CLLB suprisingly digarap dengan serius sehingga menjadi
salah satu faktor mengapa ia begitu enak untuk diikuti. Mulai sinematografi Rendra
Yusworo dengan pergerakan kamera smooth sesuai kebutuhan cerita dan pemanfaatan
elemen-elemen visual yang sebenarnya generik tapi tetap mampu berfungsi secara
maksimal, artistik Allan Sebastian dan kostum Aldie Harra (terutama untuk
kostum Velove) yang terlihat didesain dengan konsep yang matang, hingga tata
musik Andhika Triyadi yang mampu menghindarkan CLLB dari rasa sinetron. Bahkan
mungkin salah satu gubahan musik scoring terbaik dari Andhika. Tak
ketinggalan theme song Cinta Sejatiku
yang dibawakan oleh Deva sendiri dengan baik dan menyatu dalam cerita dan
nuansanya.
CLLB mungkin masih menawarkan roman-roman religi fantasi khas
Asma Nadia yang sudah punya fanbase cukup besar. Namun bagaimana ia diadaptasi
ke layar lebar dengan treatment yang jauh lebih acceptable untuk penonton
non-muslim (dan juga penonton muslim yang lebih mengedepankan logika ketimbang sekedar taat aturan agama), dengan dukungan teknis yang juga jauh lebih tertata sehingga
terkesan lebih sinematis, merupakan sebuah pencapaian tersendiri, baik bagi
Asma, Alim, Guntur, bahkan juga Deva dan Velove pada derajat tertentu. Adaptasi
Asma Nadia terbaik to date? In many ways, bisa jadi. PR berikutnya untuk film
dengan unsur reliji: menghilangkan judgemental yang terlalu negatif untuk
karakter-karakter non reliji-nya.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.