3.5/5
Action
Adventure
Comedy
Drama
Gore
Indonesia
Pop-Corn Movie
Psychological
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Headshot
The Raid dan The Raid: Berandal tak hanya menjadi
salah satu pembangkit genre action di film Indonesia, tapi juga salah satu
tonggak sejarah terpenting sepanjang sejarah film Indonesia. Sejak itu,
beberapa film bergenre action mencoba untuk menorehkan prestasi serupa, tapi
belum ada yang benar-benar layak menyamai pencapaian tersebut. Maka Mo
Brothers; Timo Tjanjanto dan Kimo Stamboel yang kita kenal lewat Rumah Dara (2010) dan Killers (2014), mencoba untuk membuat
prestasi yang setara, setidaknya dikenal di peredaran internasional. Bertajuk Headshot, Mo Brothers menggandeng Iko
Uwais yang sudah populer bahkan di kancah internasional lewat franchise The Raid, didukung Julie Estelle dan
Very Tri Yulisman yang juga sempat muncul di The Raid: Berandal, Chelsea Islan, Zack Lee, dan aktor Singapura
yang juga stuntman sekaligus koreografer bela diri, Sunny Pang. Mendapat
sambutan hangat di Toronto International Film Festival dan L’estrange Fetival
Paris serta sudah dibeli untuk peredaran di berbagai negara, Headshot akhirnya siap menyapa penonton
di rumah sendiri.
Film dibuka dengan lumpuhnya pengamanan di sebuah penjara dan
seorang gembong mafia yang dikenal sebagai Lee kabur. Dua bulan kemudian,
sesosok pria tak sadarkan diri dengan luka tembakan di kepala dirawat di sebuah
rumah sakit oleh mahasiswi kedokteran yang sedang praktek, Ailin. Ketika
terbangun, ia tak ingat identitas maupun masa lalunya. Ailin memberinya nama
Ishmael. Perlahan benih cinta tumbuh di antara Ailin dan Ishmael. Namun kisah
mereka tak berlangsung lama karena kabar sadarnya Ishmael memicu Lee dan anak
buahnya memburu mereka berdua. Ishmael harus meladeni mereka semua hingga masa
lalu Ishmael dan siapa sosok Lee yang sebenarnya terkuak.
Secara plot, Headshot memang
tergolong sangat sederhana. A la Jason Bourne, atua malah kelewat generik di
genrenya. Namun bukan itu yang ingin dikedepankan oleh Mo Brothers. Seperti
yang diharapkan, Headshot menawarkan
adegan-adegan aksi yang brutal dan sadis nyaris tanpa henti. Namun agaknya ia ingin ‘merangkul’ range
penonton yang lebih luas lagi dengan memasukkan gimmick-gimmick comedic di
sana-sini. Mulai pemilihan kata-kata dialog, cara pengucapan dialog,
celetukan-celetukan cheesy, bahkan gesture-gesture gerakan karakter. Bagi
penonton yang kelewat serius, bisa jadi elemen ini menggelikan dan mengganggu
kenikmatan. Tapi in my opinion, kesengajaan memasukkan unsur-unsur ini justru
merupakan upaya Mo Brothers untuk ‘merangkul’ pula penonton yang tidak tahan
dengan adegan-adegan sadis. Dengan demikian, humor-humor ini seolah menawarkan
kengerian yang diakibatkan oleh adegan-adegan brutal menjadi satu paket yang
fun dan menghibur. Sedikit mengingatkan saya akan film-film aksi Hong Kong yang
dibintangi Jackie Chan, hanya saja pada derajat kebrutalan yang jauh di
atasnya.
Permasalahan yang kemudian mungkin muncul adalah karena saking
minimnya perkembangan cerita, ‘drama’ di sela-sela babak pertarungannya
terkesan sedikit melemahkan pace dan tensi yang sebenarnya sudah tergarap dengan enerji
dinamis. Untung saja tidak dibuat kelewat bertele-tele maupun mendayu-dayu
sehingga tak begitu menjadi masalah berarti pada first viewing. Detail medis
pun banyak yang asal. Tak begitu menjadi masalah bagi penonton awam, tapi ngaco
bagi penonton yang punya latar belakang tenaga medis.
Dengan perkembangan plot yang minim, Headshot pun menawarkan konsep cerita yang juga tak muluk-muluk.
Sederhana, tapi cukup berbobot. Tema pengaruh parenting saat kecil terhadap
psikologis seseorang disampaikan dengan sangat halus, konsisten, dan sederhana,
sehingga mudah dipahami oleh penonton terawam sekalipun.
Selain aksi bela diri, Iko Uwais mencoba melakoni peran yang
lebih banyak melibatkan emosi di sini. Mungkin masih banyak kekakuan, terutama
dalam membangun chemistry dengan Chelsea Islan dan melakoni adegan-adegan (yang
seharusnya romantis). Chelsea Islan tampil pas sesuai porsi perannya sebagai
Ailin. Julie Estelle sebaagai Rika porsinya masih tak beda jauh dari perannya
di The Raid: Berandal. Kendati secara
keseluruhan aksinya di Headshot masih
di bawah The Raid: Berandal, tapi
kharisma action-hero (atau action-villain?)-nya semakin terpancar menarik.
Sunny Pang sebagai Lee menjadi daya tarik tersendiri di balik suara dan gesture
pengucapan dialog yang tenang tapi ‘mengancam’. Zack Lee, Ganindra Bimo, David
Hendrawan, Very Tri Yulisman tampil seimbang sesuai porsi masing-masing.
Sementara Epi Kusnandar, Teuku Rifnu Wikana, dan Ario Bayu yang masing-masing
tampil sekilas, tapi cukup memberikan kesan.
Seperti biasa, Mo Brothers memberikan effort yang maksimal di
semua lini teknisnya. Mulai sinematografi Yunus Pasolang yang bergerak dinamis bersinergi dengan koreografi dan tata action Iko, meski agak shaky tapi tak sampai bikin pusing. Perputaran
kamera 360 derajat di beberapa kesempatan menunjukkan effort yang patut
diapresiasi itu. Editing Arifin Cuunk pun mempertajam pace yang ingin dibangun,
termasuk upaya untuk membuat elemen drama romantis tak sampai mengganggu energi
action-nya. Tata suara dari Richard Hocks terdengar crisp, mantap, tapi jernih
di sepanjang film. Fasilitas surround pun dimanfaatkan dengan cukup maksimal.
Scoring music dari Fajar Yuskemal dan Aria Prayogi terdengar unik lewat
suara-suara industrial-techno a la Steve Jabonsky dalam mengiringi
adegan-adegan aksi, bahkan juga romantisnya dengan sangat baik. Tak ketinggalan theme song Impostor Heart dari Andre Harihandoyo & Sonic People yang akhirnya memberikan 'rasa' lebih pada kisah roman Ishmael-Ailin pada klimaksnya, juga Dalam Buaian Rembulan dari Artidewi yang memberikan ironi lebih pada satu adegan action-nya.
Bagi Anda yang merindukan genre action dengan produksi yang
tergarap rapi (bahkan di berbagai kesempatan, luar biasa) di sinema Indonesia, Headshot adalah tontonan wajib. Jika
Anda tergolong tidak tahan dengan adegan-adegan sadis, tak perlu khawatir. Ia
masih menyelipkan elemen-elemen menghibur tambahan untuk menawarkan kengerian
tersebut. You will grin and cheer back to back or even in the same time,
throughout the movie. And yes, thanks to
LSF yang meloloskan semua detail-detail brutal nan sadis di Headshot sehingga kenikmatan
menyaksikannya terasa utuh.
Lihat data film ini di IMDb dan filmindonesia.or.id.