3/5
Christmas
Comedy
Depressive
Drama
Family
Fantasy
Father-and-Daughter
Hollywood
Pop-Corn Movie
Psychological
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Collateral Beauty
Keringnya film-film Natal beberapa tahun terakhir agaknya akan
sedikit berbeda tahun ini. Setidaknya Village Roadshow Pictures, Overbrook
Entertainment, dan Anonymous Content melalui Warner Bros. mencoba menghadirkan
film bertemakan Natal dengan jajaran cast yang tak bisa diabaikan begitu saja.
Ada Will Smith, Edward Norton, Kate Winslet, Michael Peña, Helen Mirren, Naomie
Harris, dan Keira Knightley. Either pemenang di berbagai ajang penghargaan
bergengsi atau pencetak box office hit, bukan? Meski punya elemen magical
fantasy, film bertajuk Collateral Beauty
(CB) ini mengulik sisi melankoli manusia, terutama dalam menghadapi berbagai
permasalahan hidup yang tak terelakkan. Penulis naskah Allan Loeb (21, Wall
Street: Money Never Sleeps, Just Go
with It, Rock of Ages) pernah
ber-statement bahwa naskah aslinya ini merupakan hasil meditasi dari perasaan
seseorang dengan perasaan kehilangan mendalam yang terus-terusan mengganggu
pikirannya. Pilihan David Frankel (The
Devil Wears Prada, Marley & Me,
The Big Year, Hope Springs) yang
lebih dikenal lewat film-film dengan bumbu humor, justru menjadi daya tarik
lebih, selain premise-nya sendiri.
Howard mungkin pernah menjadi seorang eksekutif advertising
sukses. Namun kondisinya berubah drastis sejak kematian putrinya. Ia berubah
menjadi sosok yang menarik diri dari lingkungan sosial dan lebih sering
mengurung diri. Perusahaan advertisingnya pun berada di ujung tanduk. Demi
menyelamatkan perusahaan, ketiga co-worker, Whit, Simon, dan Claire sepakat
untuk menyewa detektif swasta untuk mengumpulkan bukti-bukti bahwa Howard sudah
tak lagi mampu memimpin perusahaan dan sahamnya bisa dijual. Ternyata Howard
mengirimkan tiga pucuk surat retorika yang isinya menggugat Waktu, Kematian,
dan Cinta. Whit, Simon, dan Claire kemudian menemukan ide untuk menyewa aktor
panggung untuk memerankan sosok Waktu, Kematian, dan Cinta, mendatangi Howard,
either untuk menyembuhkan ‘luka’-nya atau untuk membuktikan bahwa Howard memang
tak layak lagi memimpin perusahaan. Ditunjuklah Brigitte, Aimee Moore, dan
Raffi untuk memerankannya. Seiring dengan perkembangan usaha mereka, Whit,
Simon, dan Claire justru menemukan bahwa sebenarnya mereka juga harus
menghadapi permasalahan-permasalahan hidup sendiri.
Secara premise, CB sebenarnya sangat menarik dan terlihat
jelas punya statement value yang tak kalah pentingnya. Tak ada yang salah
dengan pace cerita yang dibawa santai sejak awal. Toh meski sekilas terkesan
punya nuansa yang melankoli, nyatanya tak sampai terjerumus dalam jurang
depresif. Justru bumbu-bumbu humor ringan disebar di sana-sini guna
menetralisir nuansa utama yang dark dan sunyi. Mostly berasal dari pola pikir
dan tingkah laku karakter-karakternya, either dari kubu Whit-Simon-Claire
maupun Brigitte-Aimee-Raffi.
Namun yang cukup ‘mengganggu’ saya adalah paduan treatment
yang digunakan untuk menyampaikan gagasan plotnya. Sementara sejak awal ia
jelas-jelas punya treatment yang realistis (cukup witty pula!), di paruh
berikutnya tersingkap elemen-elemen magical fantasy yang sayangnya kurang bisa
menyatu mulus dengan rangkaian drama realistis-nya. Bisa jadi karena bangunan
cerita untuk membawa kisah realistisnya menuju fantasi yang kurang solid.
Alhasil, terutama ketika pada turnover moment-nya, saya dibuat mengernyitkan
dahi. Tentu ini berujung pada klimaks gagasan yang akhirnya gagal terasa
mendalam pada diri saya. Proses turnover yang terlampau drastis, terutama untuk
karakter Howard semakin menambah keterpurukan CB dalam menyampaikan
gagasan-gagasan menariknya.
Will Smith sebagai Howard Inlet menunjukkan luka dan kesedihan
mendalam yang begitu nyata sekaligus natural meski tanpa perlu banyak ekspresi.
Turnover dengan proses yang kurang convincing setidaknya masih bisa di-handle
olehnya dengan cukup baik. Edward Norton sebagi Whit, Kate Winslet sebagai
Claire Wilson, dan Michael Peña sebagai Simon Scott, secara seimbang mampu
menjaga keseimbangan antara fungsi comedic character dan sisi-sisi seriusnya.
Helen Mirren sebagai Brigitte menjadi pencuri perhatian terbesar berkat daya
tarik karakter misterius sekaligus hangat yang berhasil dimainkannya dengan
maksimal pula. Sementara Keira Knightley sebagai Aimee Moore dan Jacob Latimore
sebagai Raffi tak terlalu punya kontribusi penting dalam meraih perhatian
maupun hati penonton. Terakhir, Naomie Harris sebagai Madeleine menjadi
penyeimbang Will Smith yang cukup sepadan.
Sinematografi Maryse Alberti dan editing Andrew Marcus lebih
dari cukup dalam membangun nuansa film dengan keseimbangan antara melankoli dan
witty comedic-nya. Tak terlalu lambat untuk menggerakkan plotnya, tapi juga
bisa dinikmati dengan nyaman. Scoring music Theodore Shapiro mungkin tak
terlalu remarkable, tapi mengiringi nuansa magical Christmas dengan
keseimbangan yang cukup pas pula. Tak ketinggalan theme song Let’s Hurt Tonight dari One Direction
yang makin membuat penonton tenggelam dalam nuansa film yang diusung.
Seperti judulnya yang berarti keindahan di sekitar, CB memang
menunjukkan sekaligus membuat penonton merasakan adanya keindahan-keindahan di
sepanjang film. Kendati diliputi dilema-dilema dan sorrow, CB masih mampu
membuat penontonnya feel good in the end. Sayang, treatment penceritaan masih
belum mampu mem-blend elemen-elemen magical fantasy ke dalam konsep
realistisnya dengan bangunan yang solid. Setidaknya lewat konsep cerita,
quote-quote yang bertebaran, serta value-value menarik dan penting yang dengan
mudah terbaca di balik konsep ceritanya, CB masih layak dijadikan sebagai
sajian film Natal yang berhati besar, hangat, dan bikin feel good.
Lihat data film ini di IMDb.