The Jose Flash Review
Collateral Beauty

Keringnya film-film Natal beberapa tahun terakhir agaknya akan sedikit berbeda tahun ini. Setidaknya Village Roadshow Pictures, Overbrook Entertainment, dan Anonymous Content melalui Warner Bros. mencoba menghadirkan film bertemakan Natal dengan jajaran cast yang tak bisa diabaikan begitu saja. Ada Will Smith, Edward Norton, Kate Winslet, Michael Peña, Helen Mirren, Naomie Harris, dan Keira Knightley. Either pemenang di berbagai ajang penghargaan bergengsi atau pencetak box office hit, bukan? Meski punya elemen magical fantasy, film bertajuk Collateral Beauty (CB) ini mengulik sisi melankoli manusia, terutama dalam menghadapi berbagai permasalahan hidup yang tak terelakkan. Penulis naskah Allan Loeb (21, Wall Street: Money Never Sleeps, Just Go with It, Rock of Ages) pernah ber-statement bahwa naskah aslinya ini merupakan hasil meditasi dari perasaan seseorang dengan perasaan kehilangan mendalam yang terus-terusan mengganggu pikirannya. Pilihan David Frankel (The Devil Wears Prada, Marley & Me, The Big Year, Hope Springs) yang lebih dikenal lewat film-film dengan bumbu humor, justru menjadi daya tarik lebih, selain premise-nya sendiri.

Howard mungkin pernah menjadi seorang eksekutif advertising sukses. Namun kondisinya berubah drastis sejak kematian putrinya. Ia berubah menjadi sosok yang menarik diri dari lingkungan sosial dan lebih sering mengurung diri. Perusahaan advertisingnya pun berada di ujung tanduk. Demi menyelamatkan perusahaan, ketiga co-worker, Whit, Simon, dan Claire sepakat untuk menyewa detektif swasta untuk mengumpulkan bukti-bukti bahwa Howard sudah tak lagi mampu memimpin perusahaan dan sahamnya bisa dijual. Ternyata Howard mengirimkan tiga pucuk surat retorika yang isinya menggugat Waktu, Kematian, dan Cinta. Whit, Simon, dan Claire kemudian menemukan ide untuk menyewa aktor panggung untuk memerankan sosok Waktu, Kematian, dan Cinta, mendatangi Howard, either untuk menyembuhkan ‘luka’-nya atau untuk membuktikan bahwa Howard memang tak layak lagi memimpin perusahaan. Ditunjuklah Brigitte, Aimee Moore, dan Raffi untuk memerankannya. Seiring dengan perkembangan usaha mereka, Whit, Simon, dan Claire justru menemukan bahwa sebenarnya mereka juga harus menghadapi permasalahan-permasalahan hidup sendiri.
Secara premise, CB sebenarnya sangat menarik dan terlihat jelas punya statement value yang tak kalah pentingnya. Tak ada yang salah dengan pace cerita yang dibawa santai sejak awal. Toh meski sekilas terkesan punya nuansa yang melankoli, nyatanya tak sampai terjerumus dalam jurang depresif. Justru bumbu-bumbu humor ringan disebar di sana-sini guna menetralisir nuansa utama yang dark dan sunyi. Mostly berasal dari pola pikir dan tingkah laku karakter-karakternya, either dari kubu Whit-Simon-Claire maupun Brigitte-Aimee-Raffi.
Namun yang cukup ‘mengganggu’ saya adalah paduan treatment yang digunakan untuk menyampaikan gagasan plotnya. Sementara sejak awal ia jelas-jelas punya treatment yang realistis (cukup witty pula!), di paruh berikutnya tersingkap elemen-elemen magical fantasy yang sayangnya kurang bisa menyatu mulus dengan rangkaian drama realistis-nya. Bisa jadi karena bangunan cerita untuk membawa kisah realistisnya menuju fantasi yang kurang solid. Alhasil, terutama ketika pada turnover moment-nya, saya dibuat mengernyitkan dahi. Tentu ini berujung pada klimaks gagasan yang akhirnya gagal terasa mendalam pada diri saya. Proses turnover yang terlampau drastis, terutama untuk karakter Howard semakin menambah keterpurukan CB dalam menyampaikan gagasan-gagasan menariknya.
Will Smith sebagai Howard Inlet menunjukkan luka dan kesedihan mendalam yang begitu nyata sekaligus natural meski tanpa perlu banyak ekspresi. Turnover dengan proses yang kurang convincing setidaknya masih bisa di-handle olehnya dengan cukup baik. Edward Norton sebagi Whit, Kate Winslet sebagai Claire Wilson, dan Michael Peña sebagai Simon Scott, secara seimbang mampu menjaga keseimbangan antara fungsi comedic character dan sisi-sisi seriusnya. Helen Mirren sebagai Brigitte menjadi pencuri perhatian terbesar berkat daya tarik karakter misterius sekaligus hangat yang berhasil dimainkannya dengan maksimal pula. Sementara Keira Knightley sebagai Aimee Moore dan Jacob Latimore sebagai Raffi tak terlalu punya kontribusi penting dalam meraih perhatian maupun hati penonton. Terakhir, Naomie Harris sebagai Madeleine menjadi penyeimbang Will Smith yang cukup sepadan.
Sinematografi Maryse Alberti dan editing Andrew Marcus lebih dari cukup dalam membangun nuansa film dengan keseimbangan antara melankoli dan witty comedic-nya. Tak terlalu lambat untuk menggerakkan plotnya, tapi juga bisa dinikmati dengan nyaman. Scoring music Theodore Shapiro mungkin tak terlalu remarkable, tapi mengiringi nuansa magical Christmas dengan keseimbangan yang cukup pas pula. Tak ketinggalan theme song Let’s Hurt Tonight dari One Direction yang makin membuat penonton tenggelam dalam nuansa film yang diusung.
Seperti judulnya yang berarti keindahan di sekitar, CB memang menunjukkan sekaligus membuat penonton merasakan adanya keindahan-keindahan di sepanjang film. Kendati diliputi dilema-dilema dan sorrow, CB masih mampu membuat penontonnya feel good in the end. Sayang, treatment penceritaan masih belum mampu mem-blend elemen-elemen magical fantasy ke dalam konsep realistisnya dengan bangunan yang solid. Setidaknya lewat konsep cerita, quote-quote yang bertebaran, serta value-value menarik dan penting yang dengan mudah terbaca di balik konsep ceritanya, CB masih layak dijadikan sebagai sajian film Natal yang berhati besar, hangat, dan bikin feel good.                                                                    
Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.