Arthouse
Europe
Festival
German Cinema
Germany
The Jose Flash Review
The Jose State of Mind
The Jose State of Mind
The Jose State of Mind
From German Cinema 2015 (Part 1/3)
Sejak empat tahun lalu, gelaran
festival film Jerman, German Cinema, meramaikan bursa festival film bergengsi
di Indonesia. Dari tahun ke tahun, jumlah film yang ditayangkan terus
meningkat, mulai yang pertama hanya 10 film, sampai tahun 2015 ini meningkat
sampai 17 film dari berbagai genre. Seperti kita ketahui, industri film Jerman
adalah salah satu yang terbesar di Eropa, setara atau malah melebihi Perancis.
Jika di tahun 1927 saja Jerman sudah bisa membuat film sevisioner Metropolis yang sampai sekarang terus
menginspirasi film-film besar, bahkan di Hollywood, tentu film-film Jerman
pantas untuk mendapatkan perhatian lebih.
![]() |
Merchandise German Cinema dari tahun 2012-2015. |
Tidak seperti tahun-tahun
sebelumnya, peminat German Cinema tahun ini nampaknya mengalami peningkatan
yang cukup signifikan. Tentu sekilas ini menjadi sebuah kabar baik. Namun
tunggu dulu. Kok peminatnya jadi anak-anak SMA dan anak kuliahan yang, sorry to
say, secara attitude, norak. Padahal jelas-jelas di semua materi promosinya
tertulis 18+. Ini wajar, karena film-film Jerman, sebagaimana film-film Eropa
lainnya, lebih bebas dalam menampilkan adegan-adegan eksplisit, seperti
ketelanjangan, seks, dan kekerasan. Apalagi film-film yang ditayangkan memang
tidak melewati Lembaga Sensor Film. Jadi setiap kali ada adegan telanjang,
seks, atau bahkan sekedar ciuman dan bercumbu, suasana studio jadi riuh oleh
seruan para ABG-ABG yang mungkin belum terbiasa dengan adegan-adegan seperti
itu. Suasana yang sangat berbeda jika Anda juga pernah datang ke festival
serupa, seperti Festival Sinema Perancis atau Europe on Screen yang penontonnya
jauh lebih ‘terpelajar’ dan ber-attitude.
Usut punya usut, ternyata banyak
dari penonton yang berasal dari sekolah dan kampus yang diwajibkan dan
ditugaskan oleh guru/dosennya. Nantinya mereka harus membuat laporan. Dahi siapapun
pasti bakal langsung berkerut. Bagaimana bisa hal seperti ini bisa terjadi?
Logikanya saja, satu angkatan satu kampus sudah melebihi kuota 1 studio yang
digunakan, yaitu hanya berkapasitas 125 kursi (yang konon katanya hanya separuh
dari kapasitas studio festival yang sama tahun lalu). Dengan demikian, habis
sudah kesempatan untuk penonton umum lain, yang mungkin jauh lebih tepat
sasaran daripada murid-mahasiswa ini. Sayang sekali masih ada saja guru/dosen
yang dengan tidak bijak, asal menugaskan murid-mahasiswanya tanpa mencermati
dulu seperti apa film-film yang akan ditayangkan. Pihak panitia menyangkal
punya bentuk kerjasama dengan kampus seperti itu, namun kenyataannya di
lapangan yang terjadi demikian, bagaimana dong? Ini masih belum ditambah penonton
yang asal gratisan, tapi ketika tengah-tengah film malah ribut sendiri atau
walk out. Maklum, masyarakat Indonesia pada umumnya masih belum bisa menghargai
gratisan dan juga tidak begitu peduli apa yang akan ditontonnya. Lah mau nonton
bioskop yang berbayar aja, masih nanya mbak penjaga loketnya, apa yang bagus.
Apalagi gratisan.
Saya pernah mengusulkan menghapus
sistem gratisan untuk German Cinema sebagai bentuk seleksi penonton secara
otomatis, sehingga penonton yang datang pun yang benar-benar selektif dan
memang niat untuk nonton. Dengan kata lain, orang-orang yang memang target
audience-nya, yang concern dengan cultural event seperti ini, yang siap dengan
segala sesuatu yang mungkin ditampilkan pada film. Jawaban dari mereka adalah,
“kami tidak bisa memungut biaya karena sudah ketentuan dari yayasan”. Oke, beberapa festival serupa juga
gratisan, tapi tetap bisa menseleksi penontonnya secara tidak langsung. Ketika
dikritik tentang seleksi penonton, pihak panitia seolah juga tidak tahu
bagaimana mengontrol penonton, dengan memberikan jawaban seperti, “itu di luar
kontrol kami”, “kami tidak bisa melarang penonton untuk nonton”. Memang benar
kita tidak bisa secara langsung membatasi penonton di lapangan, tapi seleksi
penonton dan tindakan preventif tetap bisa dilakukan secara tidak langsung.
Yang paling mudah dan bisa dengan efektif menseleksi penonton adalah penerapan
batasan usia yang ketat. Ini penting. Absennya subtitle bahasa Indonesia juga
bisa menjadi filter yang efektif. Come on, penonton yang bisa menikmati dan
terbiasa menonton film-film festival sudah terbiasa pula dengan subtitle Bahasa
Inggris. Memang terkesan diskriminatif atau stereotip, tapi percayalah, memang
demikian kenyataannya. Boleh silakan lakukan riset sendiri. Seleksi tak langsung
ini memang tidak otomatis bisa 100% ‘menghalangi’ penonton norak untuk datang,
tapi jelas akan menekan jumlahnya. Percayalah, penonton dengan bad attitude itu
hanya berani bersikap norak jika ada teman-temannya alias beramai-ramai. Ketika
sendirian mereka tetap akan malu untuk bersikap norak.
Festival film internasional
seharusnya menjadi event berkelas, sehingga harus selalu dijaga reputasinya.
Meski dibuka untuk umum, namun secara intern tetap harus punya target audience
yang jelas. Come on, lihatlah tipe film-film yang ditayangkan. Yang benar-benar
bisa dinikmati oleh penonton umum (dan awam) tidak sampai 10% dari keseluruhan
film. Misalnya dari pergelaran German Cinema di Surabaya kemarin. Kalau mau
jujur, hanya ada dua judul yang benar-benar bisa dinikmati penonton umum, yaitu
Fack Ju Göhte dan Who Am I (pihak panitia boleh deh
mengadakan survey kecil-kecilan, menanyakan kesan-kesan penontonnya pasca
pemutaran tiap film, atau paling mudah, hitung ada berapa penonton yang walk
out atau tertidur saat menonton). Jadi jelas sekali bahwa pilihan film-film
yang diputar sudah secara otomatis menentukan target audience-nya dengan sangat
jelas. Jika penontonnya dibebaskan sebebas-bebasnya seperti yang terjadi pada
German Cinema tahun ini, yang lebih terasa seperti pensi alay, dan panitia
enggan untuk melakukan evaluasi serta perbaikan dari pihak penyelenggara, bukan
tidak mungkin reputasi festival menjadi jatuh serendah-rendahnya. Jika event
ini sudah menjadi domain alay yang dihadiri orang-orang ber-attitude kampungan,
maka target audience yang sesungguhnya; yang benar-benar tertarik dan terbuka
dengan kultur Jerman, dan termasuk juga para ekspatriat, menjadi malas untuk
hadir. Antri berjam-jam sudah bukan hal yang sepadan untuk dilakukan, apalagi
suasana nonton yang jauh dari nyaman. Sebaliknya, malah image sebagai negara
yang ‘rusak’ dan ‘amoral’ didapatkan dari penonton yang tidak sesuai target
audience. Saya masih ingat komentar salah satu siswa SMA setelah nonton Ich fühl mich Disco di German Cinema
tahun lalu: “Film apa ini? Jelek banget. Pantesan dikasih gratisan, soalnya
nggak laku, Nggak ada yang mau nonton.” Apakah image seperti itu yang
diharapkan penyelenggara?
Ternyata kekacauan yang serupa
tapi tak sama juga terjadi di kota-kota lain, seperti Medan, Denpasar, Yogyakarta,
dan bahkan Jakarta. Ini saya temukan dari teman-teman sesama pecinta film yang
berada di masing-masing kota. Kami sudah menyampaikan kritik lewat twitter,
namun lagi-lagi dengan jawaban-jawaban diplomatis tanpa solusi. Ini berarti manajemen
penyelenggaraan dari pusat memang sudah tidak beres. Sukses secara kuantitas
itu mudah, tapi secara kualitas (dalam arti mencapai tujuan event yang
sesungguhnya: mengenalkan kultur Jerman pada masyarakat yang memang benar-benar
terbuka dan tertarik) itu susah. Semoga ini menjadi perenungan bagi pihak
penyelenggara ke depannya. Mubazir rasanya jika kurasi film-film bermutu yang
dilakukan dengan sangat hati-hati, tapi tidak bisa dinikmati dan diapresiasi
oleh target audience yang tepat.
Anyway, saya termasuk beruntung
berhasil menonton 8 dari 9 film yang ditayangkan di kota Surabaya, 18-20
September lalu. Karena faktor kekacauan penyelenggaraan, saya terpaksa harus
melewatkan film dokumenter yang menjadi salah satu nominasi Oscar tahun lalu, Das Salz der Erde alias The Salt of the Earth. But it’s okay,
berikut review singkat dari 8 film yang berhasil saya tonton.
Fack Ju Göhte /
Suck Me Shakespeer (2013)
Sekeluarnya dari penjara, Zeki
Müller, berniat langsung mengambil hasil rampokannya yang disembunyikan oleh
temannya. Naasnya, temannya ternyata mengubur ‘harta karun’ itu di sebuah
proyek pembangunan. Sekarang
proyek itu sudah selesai dan berdiri sebuah gedung SMA. Zeki memutuskan untuk
melamar pekerjaan sebagai janitor di SMA itu. Sebuah kesalahpahaman membuat
Zeki justru menjadi guru pengganti. Dengan keadaan sekolah yang kacau, Zeki
ditempatkan di kelas dengan murid-murid paling ‘brutal’, yang sudah bikin
banyak guru lebih memilih bunuh diri daripada mengajar mereka. Bisa ditebak,
perlahan Zeki berhasil mencuri hati dan mengontrol mereka. Lebih dari itu, Zeki
benar-benar menikmati pekerjaannya sebagai guru. Padahal dia sendiri tidak
lulus SMA. Nasib pula yang mempertemukan Zeki dengan Lisi, guru muda yang
tinggal bersama 2 saudarinya di rumah.
Membaca sinopsis di atas, tentu bukan
premise yang benar-benar baru. Tema guru ‘sangar’ dan slengean sudah cukup
sering diangkat, terutama yang paling populer adalah manga Jepang GTO (Great
Teacher Onizuka) atau yang pernah digarap Hollywood, Bad Teacher. Namun yang membedakan, Fack Ju Göhte (FJG- atau judul Bahasa Inggrisnya, Suck Me, Shakespeer) adalah naskah yang
benar-benar ditulis dengan sangat baik. Mulai dari background cerita,
setup-setup yang masuk akal dan dikembangkan dengan sangat baik, hingga
guyonan-guyonan yang meski tak semuanya bikin saya tertawa, tapi saya tetap
harus mengakui, cerdas dan kreatif. Best of all, FJG punya hati yang sangat
besar, yang membuatnya tetap pada koridor ‘mendidik’, terutama dari segi
turnover karakter Zeki. Bandingkan dengan karakter Elizabeth Halsey (Cameron
Diaz) di Bad Teacher yang sampai
ending pun politically inappropriate and so wrong. Penulisan karakter yang
serba pas membuat para aktornya menjadi begitu ‘bersinar’, terutama Elyas
M’Barek dan Karoline Herfurth.
Kemasannya yang begitu fresh dan
pop membuat FJG tetap menjadi sajian yang menghibur dan bisa dinikmati range
penonton yang sangat luas. Pilihan lagu-lagu populer sebagai soundtrack juga
mendukung FJG sebagai tontonan yang menyenangkan. Mulai Olly Murs, Kodaline,
Nonono, Martin Solveig and The Cataracs, John Newman, sampai scoring ceria dari
Djorkaeff.
Tak heran jika FJG mencetak rekor
box office, yaitu ditonton sebanyak 3 juta penonton dalam kurun waktu 17 hari
saja. September 2015 ini, FJG dibuatkan sekuel yang lagi-lagi menjadi box office
dengan menjual sebanyak 4.1 juta tiket dalam kurun waktu 11 hari saja.
Lihat data film ini di IMDb.
Jack (2014)
Jack, bocah berusia 10 tahun,
hanya tinggal dengan ibu kandungnya yang masih berusia 26 tahun, Sanna, dan
adik laki-lakinya yang berusia 6 tahun, Manuel. Ketika menerima putusan akhir
perceraian dengan suaminya, Sanna harus rela Jack tinggal di shelter, sementara
Manuel dititipkan untuk tinggal bersama temannya. Suatu ketika saat Jack
mendapatkan day-off, Sanna batal menjemput. Karena kecewa, Jack memutuskan
kabur dari shelter untuk pulang. Mendapati sang ibu tidak ada di apartemen,
Jack yang juga menjemput Manuel, terlunta-lunta ‘bertualang’ di jalanan selama berhari-hari. Namun
saat kesempatan bertemu dengan ibunya tiba, Jack mengambil keputusan yang
berani untuk anak seusianya.
Jack berhasil masuk bursa berbagai penghargaan bergengsi di Eropa,
termasuk memenangkan VGF Award di Bavarian Film Awards, dan bahkan didaftarkan
untuk kategori Best Foreign Language Film di 88th Academy Awards,
meski akhirnya harus mengalah dengan Im
Labyrinth des Schweigens. Secara tampilan, Jack memiliki style penceritaan ala arthouse realis. Dengan
adegan-adegan panjang yang menampilkan detail peristiwa, minim score pendukung,
serta nuansa yang depresif, membuat tak banyak penonton yang bisa menikmatinya,
alias segmented. Selain akting natural Ivo Pietzcker sebagai Jack, yang konon
tidak punya pengalaman akting sebelumnya, tak ada lagi yang begitu istimewa
dari Jack.