3.5/5
Action
Adventure
Artistic
Based on TV show
Blockbuster
Box Office
Comedy
Espionage
Europe
Franchise
Hollywood
Investigation
Pop-Corn Movie
Rivalry
Summer Movie
The Jose Flash Review
Vintage
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Man from U.N.C.L.E.
Tahun 2015 bisa dibilang tahunnya
secret agent. Bagaimana tidak, tahun ini kita disuguhi aksi dari Kingsman: The Secret Service, Melissa
McCarthy di Spy, Ethan Hunt dan
timnya di Mission: Impossible – Rogue
Nation, dan nantinya masih ada sang legenda, James Bond, di Spectre. Satu lagi agen rahasia dari
serial TV yang mencoba peruntungannya di layar lebar, Napoleon Solo dan Illya
Kuryakin. Keduanya pernah populer di TV era 60-an. Tak tanggung-tanggung,
sutradara bervisi yang pernah sukses mengadaptasi Sherlock Holmes, Guy Ritchie, didapuk sebagai sutradara sekaligus
penulis naskah dengan dibantu Lionel Wigram yang pernah bekerja sama dengannya
di Sherlock Holmes. Bisa ditebak, Guy
Ritchie bakal memasukkan semua signatural khasnya ke dalam The Man from U.N.C.L.E. (TMFU) versi terbaru ini.
TMFU membidik kolaborasi antara
dua agen rahasia yang pernah berseteru sehingga tetap membawa persaingan ketika
harus bekerja sama, Napoleon Solo, agen rahasia Amerika Serikat yang mantan
narapidana, dan Illya Kuryakin, agen KGB Jerman yang punya masa kecil traumatis
dan menyebabkan sifat temperamentalnya kelak. Tugas mereka adalah menyelediki
kasus hilangnya ilmuwan nuklir Jerman. Mereka curiga ia diculik oleh milyarder
bernama Victoria dan suaminya, Alexander, untuk merakit senjata nuklir. Sebagai
bantuan, bergabung juga Gaby, putri sang ilmuwan nuklir Jerman.
Jalan cerita di atas jelas bukan
sesuatu yang baru. Malah termasuk generik di genrenya. Namun bagi yang mengenal
dan menyukai gaya sinematik Guy Ritchie, maka bukan itu yang terpenting. Bagi
yang belum tahu, TMFU versi Guy Ritchie ini menyajikan semua ciri khasnya,
mulai karakter-karakter dengan latar belakang ganjil, dialog-dialog cerdas,
humor-humor witty yang banyak dimanfaatkan terutama untuk menggambarkan
persaingan antara Solo-Kuryakin, adegan-adegan split screen, dan subtitle
stylish. In one word, TMFU was definitely very stylish in every aspect. Premise
cerita yang biasa-biasa saja jelas terasa jauh lebih menarik dengan treatment
ala Guy Ritchie.
Sayangnya, kali ini Guy Ritchie
terpeleset terlalu dalam dengan segala signaturalnya. Saya memuji berbagai
effortnya untuk ‘menghiasi’ TMFU, dan visually, it really really worked. Namun
saya juga tidak bisa memungkiri kalau TMFU gagal untuk engage me emotionally. I
mean, saya masih bisa tertawa atau sekedar tersenyum, dan mungkin beberapa kali
geleng-geleng kepala sambil berujar “gile”, namun in the end, tak menghasilkan
decak kagum apa-apa seperti yang biasa dilakukan oleh Ritchie. Saya sempat
mencoba mengingat-ingat dan menganalisa, apa yang menjadi penyebabnya. Lalu
saya mendapatkan beberapa aspek yang mungkin menjadi penyebabnya. Pertama,
Ritchie has overdone it, terutama dalam mengeksploitasi persaingan antara Solo
dan Kuryakin. Kedua, ada cukup banyak adegan yang dibuat terlalu lama. Mungkin
maksudnya menyesuaikan dengan durasi lagu pengiringnya, tapi seringkali malah
jauh melewati ‘momen’-nya. Ketiga, klimaksnya tergolong terlalu datar dan biasa
saja dibandingkan kebanyakan genre sejenis. Terakhir, mungkin saja style vintage
yang begitu kental diusung membuat TMFU terkesan ‘vintage’ pula. Tak ada yang
salah dengan style vintage, hanya saja tetap butuh menghasilkan excitement yang
bisa dinikmati dengan standard modern.
Sebagai lead, duet Henry Cavill
dan Armie Hammer jelas terasa paling kuat, terutama dalam menghasilkan
chemistry love-hate-nya yang juga menghasilkan adegan-adegan komikal. Hammer
mengingatkan saya akan peran Jason Statham ketika membintangi film Guy Ritchie
sebelumnya, Snatch. Sementara Alicia
Vikander (Ex-Machina) dan Elizabeth
Debicki (The Great Gatsby versi Baz
Luhrman) dengan kecantikan dan keanggunannya sepanjang film, jelas memberi
warna yang begitu mencolok di layar. Terakhir, Hugh Grant yang running time-nya
tak terlalu banyak terasa hanya sekedar menjadi cameo yang mencoba mencuri
layar. Cukup berhasil meski tak meninggalkan kesan yang terlalu berarti.
Bicara soal teknis, TMFU yang
‘sangat Ritchie sekali’ jelas unggul di banyak aspek. Mulai sinematografi John
Mathieson yang dengan cantik membingkai adegan-adegan cantiknya begitu match
dengan latar yang juga luar biasa. Termasuk adegan-adegan aksinya. Split screen
yang menjadi salah satu ciri editingnya tak terlalu banyak berpengaruh terhadap
adegan selain sekedar gaya-gayaan, tapi terlihat cukup menarik. Art direction
yang membuat segalanya serba vintage juga patut mendapat kredit lebih, terutama
kostum yang marvelous dan fabulous.
Tata suara tak terlalu istimewa
namun lebih dari cukup untuk menghidupkan adegan-adegannya. Fasilitas Atmos
juga tak terlalu istimewa namun begitu terasa dimanfaatkan ketika bohlam lampu
berputar di adegan torturing Solo, hujan tembakan, dan car chase di klimaks.
Terakhir, pilihan musik pengiring dan scoring dari Daniel Pemberton yang juga
signatural dan begitu sinematis, menjadi salah satu aspek terpenting dari TMFU.
In the end, meski punya semua
yang biasanya Anda suka dari film-film Guy Ritchie, TMFU masih gagal untuk
menjadi lebih dari sekedar tontonan spionase yang menghibur serta mengasyikkan
dengan segala aspeknya. Dengan hasil box office yang termasuk flop di US,
harapan saya dan mungkin fans Guy Ritchie yang lain untuk melihat lebih banyak
aksi Solo-Kuryakin di layar lebar semakin mengecil. Semoga saja Warner Bros
masih tertarik untuk melanjutkannya.
Lihat data film ini di IMDb.