3.5/5
Action
Asia
Drama
Family
Hollywood
Pop-Corn Movie
Socio-cultural
Survival
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
No Escape
Dibandingkan negara-negara di
Asia Tenggara lainnya, Thailand termasuk yang paling welcome terhadap Hollywood
untuk memproduksi film di
negaranya. Tak terkecuali film-film yang menggambarkan masalah yang bisa didapatkan
pengunjung ketika ke Thailand. Dalam ingatan saya ada cukup banyak judul yang
seperti ini. Sebut saja The Beach-nya
Danny Boyle, Brokendown Palace-nya
Jonathan Kaplan, bahkan seorang Bridget Jones pun pernah bermasalah ketika ke
Thailand di Bridget Jones: The Edge of
Reason. Tahun 2015 ini ada satu lagi film yang mengambil gambar di Thailand
dan bisa jadi momok paling seram yang bisa terjadi di Asia Tenggara; No Escape (NE). Ditulis dan disutradarai
oleh John Erick Dowdle, dibantu saudaranya, Drew Dowdle yang kepiawaiannya
memompa adrenaline dikenal sejak Quarantine,
Devil, dan tahun lalu lewat As Above, So Below, NE menjanjikan
sebuah pemompa adrenaline yang berkualitas.
Jack Dwyer dikirim oleh
perusahaan penyedia fasilitas air bersih, Cardiff, ke sebuah negara di Asia
Tenggara. Jack mengajak keluarganya; sang istri, Annie, serta kedua putrinya,
Lucy dan Beeze. Baru mendarat, mereka sudah mendapati pengalaman yang tidak
mengenakkan. Namun mimpi buruk baru dimulai ketika tiba-tiba pecah kerusuhan
yang disulut oleh para pemberontak sadis. Tak kenal ampun, siapapun yang
menghadang dihabisi dengan kejam, terutama terhadap kaum ekspatriat yang
dituduh menjadi dalang permasalahan di negaranya. Terjebak di dalam hotel, Jack
harus bermain kucing-kucingan menyusuri kota asing tersebut, dan yang paling
penting menyelamatkan keluarganya. Untung mereka tidak sendiri. Ada ekspatriat
lain yang nampaknya paham betul penyebab kerusuhan itu dan lebih piawai dalam
beraksi, Hammond.
Secara keseluruhan, premise dan
kemasan NE mengingatkan saya akan salah satu film favorit tahun 2012 lalu, The Impossible. Sama-sama bercerita
tentang satu keluarga yang berjuang survive dari bencana di negara Asia
Tenggara. Bedanya jika The Impossible
lawannya adalah bencana alam, NE adalah bencana sosial. Sama-sama mengerikan
dan sama-sama tak terduga. Efek thrilling dan ‘horor’-nya pun sama efektifnya.
Selama satu setengah jam lebih, penonton diajak untuk merasakan adrenaline rush
bak yang dialami Jack. Rasa was-was ada musuh yang siap menghabisi di tiap
jengkal dan tiap menit, ditambah khawatir terhadap nasib orang-orang yang
disayangi, menjadi formula yang begitu dipahami dan dimanfaatkan Dowdle di
sini. Tiap kejadian di alurnya berhasil membuat saya deg-degan dan merasa tidak
nyaman (for this case, it is a good thing) tanpa henti. For me, it was a
nightmare of being chased and playing deadly hide and seek. Very terrifying.
Lupakan naskah cerita yang
berbobot, karena NE tidak membutuhkannya. Alur cerita dengan ride yang bisa
membuat penonton menahan nafas sepanjang film, sudah membuat NE berhasil menjalankan
misinya. Namun bukan berarti naskahnya sama sekali tak patut diapresiasi. Meski
berbagai elemen merujuk setting cerita di Thailand, seperti tulisan aksara
Thai, bahasa, dan penggambaran fisik masyarakatnya, namun sama sekali tak ada
penyebutan nama negara Thailand sepanjang film dan dalam materi promosi apa
pun. Faktanya pun, Thailand memang tak berbatasan langsung dengan Vietnam
seperti yang diceritakan dalam film (kalau mau lebih teliti, yang lebih masuk akal dari detail yang ditampilkan, latarnya justru berada di Kamboja). Jelas ini menjadi bukti bahwa naskah
dikerjakan dengan sangat hati-hati, tanpa bermaksud mendeskritkan suatu negara
tertentu. Namun impact-nya (like, xenophobic, for instance) memang bisa terasa
terhadap negara-negara Third World, khususnya Asia Tenggara. Modus negara-negara
Barat yang digambarkan sengaja membantu negara-negara berkembang yang mustahil
membayar hutang-huntangnya sebagai cara untuk mengendalikan suatu negara,
menjadi penyeimbang untuk menetralkan keterpihakan salah satu blok negara.
Meski harus diakui, fakta itu sudah bukan rahasia lagi dipraktekkan oleh
negara-negara yang bersangkutan.
Di lini utama, Owen Wilson
membuktikan diri bahwa dirinya juga bisa memerankan karakter di film
non-komedi. Kharismanya sebagai loving dad yang juga pemberani cukup terasa
kuat. Lake Bell sebagai sang istri bisa mengimbangi meski tak terlalu menonjol.
Sementara Pierce Brosnan yang dipasang sebagai sang badass action hero who
saved the day ala Chuck Norris atau Liam Neeson, memang tak diberi screen time
yang cukup maupun karakter yang diberi cukup perkembangan untuk menjadi
loveable, tapi aksinya yang memang ‘saved the day’ dan kharisma action hero
yang memang tak pernah luntur dari dirinya, membuat penampilannya lebih mencuri
perhatian, along with the Kenny Rogers, Sahajak Boonthanakit.
Editing dari Elliot Greenberg dan
sinematografi efektif dari Léo Hinstin memegang peranan penting terhadap
penyutradaraan Dowdle yang sudah sangat baik dalam menghadirkan intensitas
thriller-nya. Ditambah score dari Marco Beltrami dan Buck Sanders yang membuat
suasana menjadi semakin mencekam.
Tak perlu terlalu sensitif maupun
memikirkan fakta di balik yang terjadi di layar, karena kenyataannya NE tak
menawarkan itu. Nikmati saja the breathtaking thrilling ride sepanjang
durasinya yang ditawarkan Dowdle. Tak salah jika lantas Anda menjadi trauma
untuk berkunjung ke negara… Oh well, kita sendiri juga tinggal di negara Asia
Tenggara ya.
Lihat data film ini di IMDb.