3/5
Action
Adventure
Based on Book
dystopian
Franchise
Hollywood
Pop-Corn Movie
SciFi
sequel
Survival
Teen
The Jose Flash Review
Thriller
Young Adult
Zombie
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Maze Runner: The Scorch Trials
Film yang diangkat dari novel
young adult bertemakan dystopian memang masih laris untuk dijual. Terbukti, The Maze Runner, yang tergolong paling
terakhir diangkat, dibandingkan kompetitornya, The Hunger Games dan Divergent,
masih termasuk laris di pasaran. Dengan budget ‘hanya’ US$ 34 juta, berhasil
mengumpulkan sekitar US$ 340 juta di seluruh dunia. Fox pun tak perlu pikir
panjang untuk melanjutkan franchise ini, dimana versi novelnya sudah sampai
pada seri kelima. Maka hanya berselang 1 tahun, The Maze Runner: The Scorch Trials (TST) dirilis, dengan tim yang
kurang lebih sama, termasuk sutradara Wes Ball dan penulis naskah yang hanya
menyisakan T.S. Nowlin seorang.
Setelah berhasil lolos dari
labirin, Thomas dan teman-temannya dibawa ke sebuah fasilitas yang seolah lebih
baik daripada labirin. Janson, kepala fasilitas itu meyakinkan mereka bahwa
mereka bukan bagian dari WCKD (the World Catastrophe Killzone Department) dan
ini adalah tempat sementara bagi para penyitas labirin sebelum dibawa pulang ke
rumah masing-masing. Bagaimana tidak senang, setelah berbulan-bulan hidup di
dalam labirin, mereka akhirnya mendapatkan fasilitas yang jauh lebih nyaman di
situ. Makanan, mandi dengan air bersih, tempat tidur yang nyaman. Thomas
mencurigai ada sesuatu yang salah dengan fasilitas itu, dan diperkuat oleh
fakta yang ditunjukkan salah satu penyitas terlama, Aris. Rencana kabur pun
disusun. Namun keluar dari fasilitas itu ternyata barulah permulaan dari
petualangan di bentaran dunia luar yang ternyata gersang dan sudah dalam
kondisi rusak parah. Perjalanan mereka nyaris tanpa tujuan. Hanya cerita
tentang para rebel yang dikenal menentang WCKD, Right Arm yang menjadi
referensi tujuan mereka.
Jika di installment
pertama cukup setia, kali ini Nowlin dan Ball memilih untuk berbeda dari novelnya. Saya
sendiri tidak masalah, karena selain memang bukan penggemar novelnya, toh
perubahan juga bagus jika mampu menyampaikan ceritanya dengan lebih baik.
Nyatanya, di mata saya perubahan ini punya sisi positif dan negatifnya. Di sisi
positif, Nowlin-Ball bisa mengeksplor adegan petualangan dan laga dengan porsi
yang lebih banyak. Apalagi materi cerita yang memang menampilkan sosok makhluk
serupa zombie yang diberi nama Crank. Setidaknya ia memanfaatkannya untuk
menampilkan lebih banyak adegan seru, antara lain kejar-kejaran, hide and seek,
dan aksi. At this point, Ball rupanya mengalami upgrade kemampuan yang cukup
banyak. Terutama untuk adegan hide and seek, ia punya cukup banyak momen yang
benar-benar mendebarkan.
Sayangnya perubahan itu pula yang
membuat alur cerita TST menjadi terkesan bertele-tele. Sejak keluar dari
fasilitas, tokoh-tokoh utamanya sudah dibuat tidak punya tujuan. Para karakter
utamanya saja bingung, apalagi penonton. Dengan sedikit demi sedikit info,
akhirnya mereka mulai punya tujuan. Ternyata perjalanan panjang melewati
berbagai rintangan ini cukup melelahkan. Memperkenalkan karakter-karakter baru
melalui tiap titik perjalanan memperparah alur cerita sehingga terkesan
bertele-tele. Dalam hati saya hanya bisa berujar, “ya ampun, ketemu siapa lagi
ini?”. Belum lagi pemilihan karakter-karakter yang akan dimatikan tergolong
klise. Jujur, gara-gara ini semua, tak ada satupun karakter yang membuat saya
peduli akan nasibnya.
Dylan O’Brien masih diberi porsi
yang paling besar sebagai Thomas. Meski tak banyak perubahan acting skill yang
dimunculkan, namun setidaknya Dylan masih mampu mengemban tugas beratnya
sebagai karakter utama. Sementara teman-teman dalam gengnya, seperti Ki Hong
Lee (Minho), Kaya Scodelario (Teresa), Thomas Brodie-Sangster (Newt), Dexter
Darden (Frypan), dan Alexander Flores (Winston), nyaris tidak diberi porsi untuk
berkembang. Sebaliknya, pengisi karakter-karakter baru yang berhasil mencuri
perhatian antara lain Rosa Salazar (Brenda) dan Jacob Lofland (Aris Jones).
Giancarlo Esposito sebagai Jorge juga patut mendapatkan kredit tersendiri.
Sinematografi dari Gyula Pados
dan editing Dan Zimmerman, meski tak ada yang istimewa, namun tergolong efektif
dalam visualisasi berbagai kebutuhan adegannya. Scoring dari John Paesano juga
tak ada yang istimewa. Sementara tata suara cukup banyak memanfaatkan fasilitas
Dolby Atmos. Gimmick sound effect Atmos favorit saya adalah ketika shocking gun
ditembakkan. Sementara suara helikopter lewat yang biasanya dimanfaatkan
menjadi gimmick Atmos untuk speaker atap, tak begitu terdengar efeknya.
Dengan berbagai perubahan yang
cukup signifikan, baik jika dibandingkan installment pertama maupun versi
novelnya, TST bisa jadi lebih baik atau malah lebih buruk bagi Anda. Kalau
menurut saya, seperti yang sudah saya tulis sebelumnya, perubahan ini membawa 2
sisi. Keputusan ada di tangan Anda, apakah neracanya lebih berat ke ‘suka’ atau
‘tidak suka’.
Lihat data film ini di IMDb.