3.5/5
Adventure
Disaster
Drama
force of nature
Hollywood
Humanity
mountain
Pop-Corn Movie
Survival
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Everest
Di antara film bertemakan force
of nature, latar gunung termasuk jarang diangkat. Hal ini bisa dipahami karena
gunung memang bukan medan yang mudah untuk dijadikan lokasi. Belum lagi
persiapan yang tidak main-main, baik dari cast maupun kru yang terlibat. Yang
paling saya ingat adalah Cliffhanger
(1993) dan Vertical Limit (2000).
Itupun Vertical Limit banyak
melakukan pengambilan gambar di dalam studio. Tahun 2015 ini sutradara asal
Eslandia, Baltasar Kormákur (Contraband,
2 Guns), ditunjuk untuk menggawangi
proyek film petualangan mendaki puncak tertinggi di dunia, Mount Everest.
Diangkat dari kisah nyata kejadian pendakian Mount Everest terburuk yang
terjadi tahun 1996, naskahnya didasarkan pada banyak buku, termasuk Into Thin Air yang ditulis salah satu penyitasnya,
Jon Krakauer, dan wawancara terhadap para penyitas lainnya, jelas Everest proyek yang tidak main-main.
Apalagi dengan konsep cast ensamble yang mebuatnya dipenuhi bintang-bintang
berkelas (meski tak semua yang benar-benar familiar bagi penonton umum di Indonesia)
yang membuatnya semakin menarik.
Everest membidik cerita dari tim Adventure Consultants yang
dipimpin oleh Rob Hall. Musim pendakian saat itu Rob membawa beberapa kliennya,
seperti Beck Weathers, jutawan asal Texas, Doug Hansen yang seorang pengantar
surat, dan the only lady in the group, Yasuko Namba, yang sudah menaklukkan 6
dari Seven Summits dan berniat melengkapinya dengan pendakian Mount Everest. Di
tengah perjalanan, tim Adventure Consultants bertemu tim Mountain Madness yang
dipimpin Scott Fischer. Karena cuaca yang tiba-tiba memburuk, kedua tim yang
sempat bersaing ini memutuskan untuk mengesampingkan ego masing-masing dan
bekerja sama dalam mencapai puncak. But still, force of nature tidak bisa
dilawan. Di tengah badai yang terus memburuk, mereka harus berjuang untuk
sekedar tetap hidup.
Mendasarkan cerita dari kisah
nyata memang membatasi perkembangan plot. But hey, who needs unique plot dari
film macam Everest? All we need is a
breathtaking experience seolah ikut mendaki bersama para karakternya. Atau
setidaknya, turut merasakan segala emosi yang dirasakan karakternya, mulai
victory, ketakutan, sampai pedihnya kehilangan. Everest has it all, above its marvelous visual grandeur yang memang
seolah membawa penonton turut mendaki puncak tertinggi dengan berbagai
rintangan dan kendala yang tampak nyata. Sepanjang durasi yang sekitar 2 jam,
penonton benar-benar diajak bertualang mendaki tiap spot menuju puncak, sambil
mengenalkan karakter-karakter penting di dalamnya, dalam rangka menggali emosi
yang cukup kelak. Namun nampaknya Kormákur tidak berniat lebih mengeksploitasi
tiap potensi emosi dari adegan-adegan yang dimilikinya. Seperti adegan-adegan
bencana yang memang masih membuat penonton khawatir dan deg-degan, but we know
we can feel much breathtaking from those scenes. Atau karakter-karakter yang
memang membuat kita menaruh simpati, tapi tidak sampai terlalu dalam merasakan
kesedihan dari tiap kehilangan. Emosi serba tanggung yang dihadirkan Kormákur
di sini lah yang membuat tak ada yang begitu istimewa dari Everest. Good, but we know it could have been much better.
Ensemble cast yang bahkan
beberapa berkelas Oscar, mulai Jason Clarke, Josh Brolin, John Hawkes, Emily
Watson, Jake Gylenhaal, Sam Worthington, Martin Henderson (masih ingat Torque?), Robin Wright, sampai Keira
Knightley, menghiasi layar. Namun dengan porsi masing-masing yang memang tak
begitu banyak, selain karakter utama Rob Hall (Jason Clarke) dan Beck Weathers
(Josh Brolin), seolah seperti hanya sekedar gimmick yang menghiasi layar dan
membuat penonton tertarik. Not bad, tapi kita tahu tanpa diperankan oleh mereka
pun juga tidak akan menjadi masalah, selain tentu saja kita menjadi semakin
mudah mengenali tiap karakternya karena familiar dengan aktor-aktris yang
memerankan. Karakter Doug (John Hawkes) dan Yasuko (Naoko Mori) sebagai
pendukung, diberi sedikit lebih banyak porsi, juga sedikit menarik simpati
penonton, meski pada akhirnya kita bakal lebih peduli dengan karakter Rob.
Sementara dari tim Mountain Mardness sama sekali tak punya porsi yang cukup
untuk sekedar dikenal lebih dalam oleh penonton.
Kekuatan teknis terbesar Everest jelas terletak pada
sinematografi Salvatore Totino yang tak hanya mampu meng-capture
scenery-scenery indah pada dan dari Mount Everest, tapi juga menangkap
ketegangan berbagai adegan breathtaking-nya. Setting yang tak sepenuhnya mengambil gambar di Mount
Everest, seperti memanfaatkan Schalnstal, Italia, dan Pinewood Studio, Inggris,
tapi tetap saja menyuguhkan pengalaman pendakian gunung yang seutuhnya. Sinematografi
yang grandeur inilah yang membuatnya layak untuk disaksikan di layar berukuran
sebesar-besarnya, termasuk IMAX, meski tidak menggunakan aspect ratio khas
IMAX. Efek 3D yang ditawarkan memang memberikan depth yang cukup baik, terutama
di awal-awal film (setelah itu biasa saja, mungkin faktor mata saya yang sudah
mulai beradaptasi sehingga terkesan bisa saja), namun minim gimmick pop-out.
Keunggulan lainnya terletak pada
sound effect yang begitu detail, termasuk dalam hal membagi kanal surround-nya.
Suara angin badai, bongkahan es yang berjatuhan, sampai denting pengait
pengaman, terdengar begitu nyata, crisp, dan crystal clear. Sayang score Dario
Marianelli tergolong biasa saja, apalagi absen atau sangat minimalis pada
adegan-adegan emosi potensialnya.
Everest memang menyuguhkan visual grandeur yang otomatis memberikan
cinematic experience yang cukup maksimal, namun dalam menghadirkan emosi dan penanaman
simpati penonton terhadap karakter-karakternya, ia terasa kepalang tanggung
sehingga terkesan biasa saja. But still, sayang sekali untuk melewatkan Everest di layar selebar-lebarnya,
dengan tata suara terbaik.
Lihat data film ini di IMDb.