3/5
Drama
Indonesia
Mystery
Psychological
Romance
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Lily: Bunga Terakhirku
Semejak Catatan Harian Si Boy tahun 2011 lalu, 700 Pictures termasuk salah
satu PH baru yang konsisten menghadirkan karya yang bermutu. Satu per satu
karya berkualitas dilahirkan oleh PH yang digawangi oleh Putrama Tuta
(sutradara CHSB) ini. Antara lain dokumenter
musik Noah Awal Semula dan Pintu Harmonika. Tahun ini 700 Pictures
menawarkan sebuah film thriller psikologi yang masih tergolong jarang
diproduksi di Indonesia, Lily: Bunga
Terakhirku (LBT). Meski posternya agak meragukan dan misleading, naskah LBT
ditulis oleh duet Ilya Sigma (istri Putrama Tuta) dan Priesnanda Dwisatria yang
pernah menelurkan naskah CHSB, salah satu segmen Rectoverso, dan Mantan
Terindah. Dwisatria sendiri juga menulis naskah untuk Bidadari Terakhir yang dirilis dalam waktu berdekatan dengan LBT
dan kebetulan sama-sama berhubungan dengan prostitusi. Tak hanya itu, LBT turut
menjadi debut aktor yang lebih dikenal di genre komedi, Indra Birowo, sebagai
sutradara. Semua detail di balik project jelas membuat LBT menyandang status
“menarik”.
Tura adalah seorang pemuda
misterius yang tinggal sendirian di sebuah vila dan bekerja sebagai pemasok
bunga-bunga segar. Salah satu kliennya adalah pemilik sebuah mansion yang
menjadi rumah prostitusi kelas atas, yang dikenal dengan panggilan Bunda.
Ketika mengirimkan bunga-bunganya, Tura tak sengaja bertemu dan segera jatuh
hati dengan salah satu ‘anak buah’ Bunda yang konon jadi primadona di mansion
itu, Lily. Tak heran, Lily adalah gadis muda yang cerdas, rebel, dengan
penampilan yang begitu penuh pesona. Diam-diam Tura menjalin hubungan dengan
Lily. Lily jadi semakin sering menolak klien yang ingin menyewanya, dan yang
paling ngeri, satu per satu klien yang pernah menggunakan jasa Lily menghilang.
Nama karakter Tura yang awalnya
membuat kening saya berkerut dan teringat karakter ‘tuyul’ di Jelangkung, ternyata berasal dari nama
Datura, suku dari bunga Angel’s Trumpet yang konon berkhasiat sekaligus
beracun. Penggunaan ini hanya salah satu contoh dari trivia menarik yang
dihadirkan oleh LBT. Tak hanya dalam penamaan karakter, tapi juga dalam cerita
utama. Poin ini yang menjadi paling menarik ynag dimiliki oleh LBT. Selain dari
itu, cerita LBT dikembangkan seperti halnya kebanyakan thriller psikologis.
Masih ada beberapa logika latar belakang cerita yang terkesan mustahil dan bagi
penggemar genre sejenis, pasti bisa dengan mudah menebak jalan ceritanya. Namun
harus diakui Sigma dan Dwisatria menuliskan naskahnya dengan alur yang rapi,
berkembang dengan cukup pas, dan tetap menyisakan rasa penasaran di tiap
menitnya. In short, LBT punya naskah yang menarik dan digarap dengan cukup
rapi.
Namun melihat hasil akhirnya, LBT
belum dieksekusi dengan maksimal. Mungkin faktor sutradara Indra Birowo yang
masih pertama kali mengarahkan, LBT lebih terasa seperti sebuah drama ketimbang
thriller psikologis. Terutama sekali terasa dari segi pace. Tak heran jika alur LBT terasa begitu lamban dan jika tidak sabar, jadi membosankan. Momen-momen yang seharusnya bisa mendebarkan jatuh menjadi biasa saja. Selain itu tiap
adegannya juga berganti dengan kurang mulus sehingga seringkali terasa seperti berdiri
sendiri-sendiri.
Memegang karakter utama sekaligus
karakter kunci, Baim Wong di mata saya masih terasa miscast. Image drama
romantis mendayu-dayu masih melekat kuat pada dirinya, meski terlihat sekali
upayanya untuk memainkan watak psycho di sini. Not bad, apalagi sudah
menghadirkan chemistry yang ok, terutama dengan Salvita, tapi jelas bukan
kharismatik yang tepat maupun kuat untuk karakter psycho-nya. Sementara Wulan
Guritno meski bukan performa terbaiknya, tetap merupakan pemeran yang tepat
untuk karakter Bunda. Above all, performa Salvita Decorte lah yang harus diakui
paling mencuri perhatian sepanjang durasinya. Masih agak meledek-ledak di
beberapa bagian, namun secara keseluruhan sudah mampu menunjukkan pesona
bintang yang menjanjikan. Sayang, yang paling mengganggu penampilan Haykal
sebagai Tura kecil yang masih sangat kaku.
Meski juga tak terlalu istimewa,
desain produksi dari Ricardo Marpaung memang punya banyak hal yang menarik dan
bagus. Terutama sekali dalam menghadirkan rumah Tura yang punya part indah
maupun mengerikannya, mansion Bunda yang berkelas. Didukung pula oleh
sinematografi dari Patrick Lavaud yang cukup sinematis meski dengan set yang
tak begitu banyak. Aghi Narottama sebagai penata musik yang punya pengalaman
cukup tinggi di film bergenre thriller, mendukung adegan-adegan dengan baik,
meski tak begitu memorable. Termasuk juga dalam menulis theme song yang
creepily beautiful.
Kehadiran LBT memang bisa sedikit
memberi warna untuk film Indonesia, terutama dengan detail naskah yang masih
jarang ditemui. Namun eksekusi yang belum terlalu maksimal, patut disayangkan
belum berhasil menjadikannya film psychological thriller yang kuat dan
remarkable. But still, why not seeing it yourself in cinema? It’s not a bad
presentation at all and quite interesting to follow, though.