The Jose Flash Review
Valerian
and the City of a Thousand Planets


Seperti kebanyakan sinema Eropa lainnya, sinema Perancis dikenal punya style arthouse yang cukup kental. Padahal selain arthouse, mereka juga menghasilkan banyak sekali film-film bercita rasa blockbuster yang tak kalah dari Hollywood. Salah satu sineas yang populer di ranah ini adalah Luc Besson. Setelah The Fifth Element yang kemudian menjadi cult sci-fi, Besson memberanikan diri mewujudkan dream-project sejak lama, adaptasi novel grafis karya Pierre Christin dan illustrator Jean-Claude Mézières yang dirilis pertama kali tahun 1967 bertajuk Valerian and the City of a Thousand Planets (Valerian). Meski pernah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, tapi namanya tidak sepopuler komik Perancis lainnya seperti Asterix & Obelix atau Lucky Luke. Apalagi pergantian sekian generasi yang membuat namanya semakin asing di telinga masyarakat Indonesia. Namun siapa sangka justru novel grafis ini lah yang menjadi inspirasi banyak film sci-fi selama ini. Sebut saja Star Wars, Conan the Barbarian, Independence Day, bahkan The Fifth Element sendiri (Mézières malah menjadi salah satu desainer konsep di film tersebut). Pencapaian James Cameron lewat Avatar lah yang membuat Besson yakin bahwa visualisasi Valerian ke layar lebar sudah sangat memungkinkan.

Proyek adaptasi film Valerian diumumkan sejak 2012, tapi produksi benar-benar berjalan mulai tahun 2015 dengan budget sebesar € 197 juta atau setara sekitar US$ 177-210 juta. Ini merupakan rekor produksi film Perancis termahal, mematahkan rekor sebelumnya, Asterix at the Olympic Games dan The Fifth Element. Berbagai aktor populer digandeng, mulai Dane DeHaan, Cara Delevingne, Clive Owen, Ethan Hawke, Kris Wu, hingga Rihanna. Dari trailernya, Valerian menjanjikan sebuah pengalaman petualangan sci-fi sinematik yang begitu memanjakan mata.
Valerian membawa kita ke abad 28 dimana manusia bumi sudah berhasil melakukan perjalanan ke seluruh penjuru alam semesta dan menjalin hubungan dengan jutaan spesies asing. Mereka kemudian sepakat membentuk sebuah stasiun luar angkasa bersama untuk hidup berdampingan dan saling bertukar pengetahuan serta kebudayaan bernama Alpha.
Sepasang agen khusus dari kepolisian manusia, Valerian dan Laureline ditugaskan untuk menyelamatkan spesies langka yang disebut sebagai konverter dari pasar gelap di Planet Kyrian. Setelah berhasil membawa pulang konverter ke Alpha, Komandan Filitt malah diculik oleh sekelompok spesies tak dikenal. Valerian dan Laureline melakukan penyelidikan melintasi berbagai sudut Alpha untuk menemukan Komandan Filitt sekaligus membongkar ada rahasia apa antara sang komandan, konverter, dan data Planet Mül yang dihapus dari database Alpha. Along with the mission, Valerian terus meyakinkan Laureline untuk menikahinya.
Valerian membuka film dengan prolog yang menjadi retrospektif bagaimana selama ini umat manusia berusaha untuk memperluas ilmu pengetahuan dan mengenal berbagai kekayaan hayati di alam semesta. Mulai era ’70-an yang merupakan kejadian nyata hingga abad 28 dengan menampilkan berbagai varian spesies alien fantasi dengan iringan Space Oddity dari David Bowie (pernah digunakan di The Secret Life of Walter Mitty) yang membuat kesan human nobility begitu kuat terasa. Menciptakan entrance yang grandeur menuju pengenalan akan konsep Alpha yang menjadi latar cerita.
Masuk ke plot utama, Valerian sebenarnya menawarkan tema investigasi dengan formula-formula yang cukup familiar, sehingga sebenarnya bisa dengan mudah ditebak arahnya. Namun masih ada bingkai kisah asmara tarik-ulur antara Valerian dan Laureline yang manis, terkadang menggelitik, juga menyentil kecenderungan pria dan wanita dalam menjalin hubungan asmara yang turut mempengaruhi pengambilan keputusan sepanjang menjalankan misi. Tentu hubungan yang menarik ini dihiasi line-line yang quotable, seperti yang paling menjadi favorit saya, “I don’t need you to die for me, I need you to trust me.”
Seiring dengan plot investigasi dan hubungan asmara mereka, Valerian menyuguhkan bangunan universe yang luar biasa solid dan memanjakan mata. Bagi fans Star Wars pasti menemukan banyak familiaritas, terutama soal planet-planet dengan karakteristik berbeda satu sama lain dan desain spesies alien yang tak kalah variatif. Bukan soal yang mana nyontek yang mana, tapi betapa bangunan universe yang highly imaginative tersebut. Lengkap dengan teknologi-teknologi yang masuk akal untuk benar-benar terwujud di dunia nyata suatu saat. Selain saling suportif terhadap plot utama yang digulirkan, bahkan nama-nama karakter terkecil pun tampil dengan memorable. Tak banyak sci-fi modern yang berhasil tertanam kuat dalam memori untuk janga waktu yang lama, maka apa yang dilakukan Valerian ini adalah sebuah pencapaian tersendiri. Modal yang baik pula jika kelak benar-benar dikembangkan menjadi franchise baru, mengingat masih cukup banyak yang bisa dieksplorasi dari materi asli novel grafisnya.
Sayangnya, sebagai sebuah kisah aksi petualangan, Valerian agaknya dibekali dengan spirit adventurous yang masih kurang cukup berenergi. Alhasil banyak potensi adegan-adegan laga seru yang terlewatkan dengan impresi yang biasa saja. Faktor sound design dan sound mixing yang masih kurang terdengar cukup powerful juga menjadi salah satu penyebabnya. Padahal fasilitas Dolby Atmos sebenarnya dimanfaatkan dengan cukup untuk membangun atmosfer lewat persebaran detail arah suara dengan kanal.
Sinematografi Thierry Arbogast (langganan Besson sejak Nikita) sebenarnya juga sudah memberikan camera work yang sangat suportif dan dinamis untuk adegan-adegan laganya. Lengkap dengan signatural-signatural shot khas Besson yang mengeksloitasi kemegahan set secara maksimal dan first-person shot yang saya yakin akan terasa spektakuler di format 4DX. Editing Julie Rey pun terasa pas dalam menyusun gambar dengan timing sesuai kebutuhan adegan. Pace yang terasa kurang bertenaga bukan berasal dari editing, tapi lebih kepada bagaimana pergerakan para aktornya.
Musical score gubahan Alexandre Despelat semakin memperkuat nuansa-nuansa fantasi, intensitas petualangan, dan sisi fun film secara keseluruhan, meski harus diakui belum punya signatural sound yang bisa dijadikan ikon khusus Valerian. Penggunaan lagu-lagu populer mengiringi sekaligus membuat nuansa film menjadi lebih fun dan semarak. Seperti Space Oddity dari David Bowie, We Trying to Stay Alive (versi re-arrange dari nomor klasik, Staying Alive) dari Wyclef Jean, Jamming dari Bob Marley & The Wailers, I Feel Everything yang dibawakan oleh Cara Delevingne sendiri, hingga theme song, A Million on My Soul dari Alexiane.
Jujur sebenarnya saya cukup heran dengan pemilihan Dane DeHaan sebagai lead actor. Tanpa bermaksud meragukan kapasitas ataupun kharisma aktingnya, tapi saya kurang bisa melihat ataupun berhasil diyakinkan penggambaran karakter demikian dalam sosok DeHaan. Untungnya secara personality yang tergambar terutama lewat gesture, masih dibawakan oleh performa DeHaan dengan baik dan luwes. Pun juga bentukan chemistry love-hate yang manis dengan Delevingne. Sementara Cara Delevingne terasa sangat cocok dengan sosok Laureline yang cuek, cool, dan punya keahlian bela diri yang meyakinkan. Clive Owen tampil cukup decent, tapi masih jauh dari mengesankan, sebagai sosok Komandan Filitt. Sementara beberapa pendukung justru lebih mencuri perhatian. Mulai Kris Wu sebagai Sersan Neza, Ethan Hawke sebagai Jolly the Pimp, Sam Spruell sebagai Jendral Okto-Bar, Alain Chabat sebagai Bob the Pirate, dan tentu saja yang paling mengejutkan, Rihanna sebagai Bubble. Adegan Broadway performance yang ia bawakan sendiri saja sudah lebih dari cukup untuk membuat saya secara spontan memberikan standing ovation.
Agak kurang berenergi sebagai sajian aksi petualangan, tapi Valerian tetaplah sajian sci-fi fantasi yang begitu memanjakan panca indera terutama lewat bangunan universe yang detail dan luar biasa megah. Tak kalah dari universe yang ditawarkan franchise Star Wars selama ini. Plotnya memang masih tergolong formulaic di genre investigasi, tapi disusun dengan pengembangan yang bergerak lancar dan punya korelasi yang solid dengan jalinan asmara antara kedua karakter utamanya. Sebuah sajian fantasy sci-fi dengan cinematic experience yang sangat sayang untuk dilewatkan. Bahkan saya yakin, sama seperti The Fifth Element, installment pertama Valerian ini kelak akan menjelma menjadi cult movie. Saya juga berharap masih akan diikuti oleh installment-installment berikutnya. 
Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.