4/5
Action
Adventure
Alien
Based on Book
Blockbuster
cinema experience
Dolby Atmos
Europe
Fantasy
French
Indie
Pop-Corn Movie
Romance
SciFi
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Valerian
and the City of a Thousand Planets
Seperti kebanyakan sinema Eropa lainnya, sinema Perancis
dikenal punya style arthouse yang cukup kental. Padahal selain arthouse, mereka
juga menghasilkan banyak sekali film-film bercita rasa blockbuster yang tak
kalah dari Hollywood. Salah satu sineas yang populer di ranah ini adalah Luc
Besson. Setelah The Fifth Element
yang kemudian menjadi cult sci-fi, Besson memberanikan diri mewujudkan
dream-project sejak lama, adaptasi novel grafis karya Pierre Christin dan
illustrator Jean-Claude Mézières yang dirilis pertama kali tahun 1967 bertajuk Valerian and the City of a Thousand Planets
(Valerian). Meski pernah
diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, tapi namanya tidak sepopuler komik Perancis
lainnya seperti Asterix & Obelix atau
Lucky Luke. Apalagi pergantian sekian
generasi yang membuat namanya semakin asing di telinga masyarakat Indonesia. Namun siapa sangka justru novel grafis
ini lah yang menjadi inspirasi banyak film sci-fi selama ini. Sebut saja Star Wars, Conan the Barbarian, Independence
Day, bahkan The Fifth Element sendiri
(Mézières malah menjadi salah satu desainer konsep di film tersebut).
Pencapaian James Cameron lewat Avatar
lah yang membuat Besson yakin bahwa visualisasi Valerian ke layar lebar sudah sangat memungkinkan.
Proyek adaptasi film Valerian
diumumkan sejak 2012, tapi produksi benar-benar berjalan mulai tahun 2015
dengan budget sebesar € 197 juta atau setara sekitar US$ 177-210 juta. Ini merupakan rekor
produksi film Perancis termahal, mematahkan rekor sebelumnya, Asterix at the Olympic Games dan The Fifth Element. Berbagai aktor
populer digandeng, mulai Dane DeHaan, Cara Delevingne, Clive Owen, Ethan Hawke,
Kris Wu, hingga Rihanna. Dari trailernya, Valerian
menjanjikan sebuah pengalaman petualangan sci-fi sinematik yang begitu
memanjakan mata.
Valerian membawa
kita ke abad 28 dimana manusia bumi sudah berhasil melakukan perjalanan ke seluruh
penjuru alam semesta dan menjalin hubungan dengan jutaan spesies asing. Mereka
kemudian sepakat membentuk sebuah stasiun luar angkasa bersama untuk hidup
berdampingan dan saling bertukar pengetahuan serta kebudayaan bernama Alpha.
Sepasang agen khusus dari kepolisian manusia, Valerian dan Laureline
ditugaskan untuk menyelamatkan spesies langka yang disebut sebagai konverter
dari pasar gelap di Planet Kyrian. Setelah berhasil membawa pulang konverter ke
Alpha, Komandan Filitt malah diculik oleh sekelompok spesies tak dikenal.
Valerian dan Laureline melakukan penyelidikan melintasi berbagai sudut Alpha
untuk menemukan Komandan Filitt sekaligus membongkar ada rahasia apa antara
sang komandan, konverter, dan data Planet Mül yang dihapus dari database Alpha.
Along with the mission, Valerian terus meyakinkan Laureline untuk menikahinya.
Valerian membuka
film dengan prolog yang menjadi retrospektif bagaimana selama ini umat manusia
berusaha untuk memperluas ilmu pengetahuan dan mengenal berbagai kekayaan hayati
di alam semesta. Mulai era ’70-an yang merupakan kejadian nyata hingga abad 28
dengan menampilkan berbagai varian spesies alien fantasi dengan iringan Space Oddity dari David Bowie (pernah
digunakan di The Secret Life of Walter
Mitty) yang membuat kesan human nobility begitu kuat terasa. Menciptakan
entrance yang grandeur menuju pengenalan akan konsep Alpha yang menjadi latar
cerita.
Masuk ke plot utama, Valerian
sebenarnya menawarkan tema investigasi dengan formula-formula yang cukup
familiar, sehingga sebenarnya bisa dengan mudah ditebak arahnya. Namun masih
ada bingkai kisah asmara tarik-ulur antara Valerian dan Laureline yang manis,
terkadang menggelitik, juga menyentil kecenderungan pria dan wanita dalam
menjalin hubungan asmara yang turut mempengaruhi pengambilan keputusan
sepanjang menjalankan misi. Tentu hubungan yang menarik ini dihiasi line-line
yang quotable, seperti yang paling menjadi favorit saya, “I don’t need you to
die for me, I need you to trust me.”
Seiring dengan plot investigasi dan hubungan asmara mereka, Valerian menyuguhkan bangunan universe
yang luar biasa solid dan memanjakan mata. Bagi fans Star Wars pasti menemukan banyak familiaritas, terutama soal
planet-planet dengan karakteristik berbeda satu sama lain dan desain spesies
alien yang tak kalah variatif. Bukan soal yang mana nyontek yang mana, tapi
betapa bangunan universe yang highly imaginative tersebut. Lengkap dengan
teknologi-teknologi yang masuk akal untuk benar-benar terwujud di dunia nyata
suatu saat. Selain saling suportif terhadap plot utama yang digulirkan, bahkan
nama-nama karakter terkecil pun tampil dengan memorable. Tak banyak sci-fi
modern yang berhasil tertanam kuat dalam memori untuk janga waktu yang lama,
maka apa yang dilakukan Valerian ini
adalah sebuah pencapaian tersendiri. Modal yang baik pula jika kelak
benar-benar dikembangkan menjadi franchise baru, mengingat masih cukup banyak
yang bisa dieksplorasi dari materi asli novel grafisnya.
Sayangnya, sebagai sebuah kisah aksi petualangan, Valerian agaknya dibekali dengan spirit adventurous yang masih
kurang cukup berenergi. Alhasil banyak potensi adegan-adegan laga seru yang
terlewatkan dengan impresi yang biasa saja. Faktor sound design dan sound
mixing yang masih kurang terdengar cukup powerful juga menjadi salah satu
penyebabnya. Padahal fasilitas Dolby Atmos sebenarnya dimanfaatkan dengan cukup
untuk membangun atmosfer lewat persebaran detail arah suara dengan kanal.
Sinematografi Thierry Arbogast (langganan Besson sejak Nikita) sebenarnya juga sudah memberikan camera work yang sangat suportif
dan dinamis untuk adegan-adegan laganya. Lengkap dengan signatural-signatural
shot khas Besson yang mengeksloitasi kemegahan set secara maksimal dan
first-person shot yang saya yakin akan terasa spektakuler di format 4DX.
Editing Julie Rey pun terasa pas dalam menyusun gambar dengan timing sesuai
kebutuhan adegan. Pace yang terasa kurang bertenaga bukan berasal dari editing,
tapi lebih kepada bagaimana pergerakan para aktornya.
Musical score gubahan Alexandre Despelat semakin memperkuat
nuansa-nuansa fantasi, intensitas petualangan, dan sisi fun film secara
keseluruhan, meski harus diakui belum punya signatural sound yang bisa
dijadikan ikon khusus Valerian.
Penggunaan lagu-lagu populer mengiringi sekaligus membuat nuansa film menjadi
lebih fun dan semarak. Seperti Space
Oddity dari David Bowie, We Trying to
Stay Alive (versi re-arrange dari nomor klasik, Staying Alive) dari Wyclef Jean, Jamming dari Bob Marley & The Wailers, I Feel Everything yang dibawakan oleh Cara Delevingne sendiri,
hingga theme song, A Million on My Soul
dari Alexiane.
Jujur sebenarnya saya cukup heran dengan pemilihan Dane DeHaan sebagai
lead actor. Tanpa bermaksud meragukan kapasitas ataupun kharisma aktingnya,
tapi saya kurang bisa melihat ataupun berhasil diyakinkan penggambaran karakter
demikian dalam sosok DeHaan. Untungnya secara personality yang tergambar
terutama lewat gesture, masih dibawakan oleh performa DeHaan dengan baik dan
luwes. Pun juga bentukan chemistry love-hate yang manis dengan Delevingne.
Sementara Cara Delevingne terasa sangat cocok dengan sosok Laureline yang cuek,
cool, dan punya keahlian bela diri yang meyakinkan. Clive Owen tampil cukup
decent, tapi masih jauh dari mengesankan, sebagai sosok Komandan Filitt.
Sementara beberapa pendukung justru lebih mencuri perhatian. Mulai Kris Wu
sebagai Sersan Neza, Ethan Hawke sebagai Jolly the Pimp, Sam Spruell sebagai
Jendral Okto-Bar, Alain Chabat sebagai Bob the Pirate, dan tentu saja yang paling
mengejutkan, Rihanna sebagai Bubble. Adegan Broadway performance yang ia
bawakan sendiri saja sudah lebih dari cukup untuk membuat saya secara spontan
memberikan standing ovation.
Agak kurang berenergi sebagai sajian aksi petualangan, tapi Valerian tetaplah sajian sci-fi fantasi
yang begitu memanjakan panca indera terutama lewat bangunan universe yang
detail dan luar biasa megah. Tak kalah dari universe yang ditawarkan franchise Star Wars selama ini. Plotnya memang
masih tergolong formulaic di genre investigasi, tapi disusun dengan
pengembangan yang bergerak lancar dan punya korelasi yang solid dengan jalinan
asmara antara kedua karakter utamanya. Sebuah sajian fantasy sci-fi dengan
cinematic experience yang sangat sayang untuk dilewatkan. Bahkan saya yakin,
sama seperti The Fifth Element,
installment pertama Valerian ini kelak akan
menjelma menjadi cult movie. Saya juga berharap masih
akan diikuti oleh installment-installment berikutnya.
Lihat data film ini di IMDb.