The Jose Flash Review
Baywatch


Adalah hal yang wajar, bahkan hampir bisa selalu dipastikan bahwa serial TV akan diangkat ke layar lebar. Tinggal waktu saja yang menentukan. Setelah Mission: Impossible, The Avengers, Charlie’s Angels, The A Team, Miami Vice, dan masih banyak lagi, tahun 2017 menjadi giliran Baywatch yang bertandang ke bioskop. Serial yang disiarkan sebanyak 11 season sejak 1989 ini menjadi salah satu ikon pertelevisian dunia di era 90-an. Tergolong kelewat lama untuk brand sebesar Baywatch, tapi justru ini merupakan kesempatan untuk membuat fans lama bernostalgia sekaligus menjaring fans baru. Pemeran-pemeran aslinya jelas tak mungkin muncul kembali sebagai karakter-karakter ikonik mereka, tapi bukan berarti tak dianggap begitu saja. Baywatch versi layar lebar memasang aktor-aktris masa kini yang cukup mewakili karakteristik karakter-karakter aslinya, seperti Dwayne ‘The Rock’ Johnson sebagai Mitch Buchannon, Zac Efron sebagai Matt Brody, Alexandra Daddario sebagai Summer Quinn, Kelly Rohrbach sebagi CJ Parker, dan Ilfenesh Hadera sebagai Stephanie Holden. Superstar Bollywood yang juga mantan Miss World 2000, Priyanka Chopra, pun turut digandeng untuk menyemarakkan film.


Pemilihan penulis naskah duo Damian Shannon dan Mark Swift (Freddy vs. Jason dan Friday the 13th versi 2009) mungkin sempat mengernyitkan dahi, tapi di tangan sutradara Seth Gordon (Four Christmases, Horrible Bosses, dan Identity Thief), pengubahan dari serial drama action menjadi komedi action terlihat lebih menjanjikan.
Di Emerald Bay, Florida, ada setim penjaga pantai yang berprestasi luar biasa. Terutama sekali sang letnan, Mitch Buchannon, bersama komandan kedua, Stephanie Holden, dan CJ Parker. Meski dicintai oleh seisi kota, ada saja pihak yang tidak menyukai mereka. Salah satunya adalah opsir polisi lokal, Garner dan atasa Mitch, Kapten Thorpe. Garner sering merasa Mitch dan timnya bertindak kelewat jauh sebagai lifeguard dan melanggar juridiksi satuan kepolisiannya.
Ketika menggelar perekrutan anggota baru, Baywatch kedatangan atlet renang pemenang dua medali Olimpiade yang hidupnya sedang kacau balau, Matt Brody. Ia dikirim untuk menjadi tim Baywatch sebagai bagian dari kewajiban kerja sosial. Mitch dan timnya merasa terlecehkan, terlebih karena Matt tak mau mengikuti tes seleksi dan pelatihan sebagaimana calon anggota yang lain.
Di saat yang bersamaan mulai muncul kasus penemuan mayat yang dicurigai Mitch sebagai pembunuhan dan penemuan narkoba di pantainya. Mitch, Stephanie, CJ, mengajak anggota rekrutan baru mereka; Summer, Ronnie, dan Matt untuk menyelidiki kasus ini lebih dalam. Terutama berkaitan dengan kehadiran pebisnis wanita, Victoria Leeds yang berniat membeli tanah di sepanjang Emerald Bay untuk dijadikan resort pribadi. Penyelidikan mereka terbentur batasan jurisdiksi dengan pihak kepolisian setempat.
Pengubahan genre dari serial yang merupakan drama action ke layar lebar yang lebih dominan komedi dengan sedikit bumbu aksi menurut saya adalah keputusan yang baik. Dengan tema yang tergolong ringan, kemasan yang serius disinyalir tak akan membuat banyak penonton (umum) tertarik. Dengan kemasan kental komedi, apalagi komedi dewasa yang nyerempet-nyerempet jorok dan seksual, tentu akan lebih ‘menggoda’ calon penonton. Apalagi latar yang mendukung keseksian, kenapa tidak sekalian dimanfaatkan maksimal, bukan?
Pada permukaan terluar, Baywatch versi layar lebar terasa seperti hanya ingin bersenang-senang dengan gelaran humor situasional, slapstick, dirty, bereferensi pada pop-culture, terutama menyangkut kehidupan asli para aktornya (misalnya sebutan-sebutan Johnson untuk Efron dan sindiran Chopra tentang penjahat James Bond), dan bahkan tak segan-segan ‘mengolok-olok’ signatural style materi aslinya (malah kerap terasa seperti versi parodi dari serialnya). Kesemuanya tersebar dengan cukup merata sepanjang durasi. Apalagi didukung penampilan Dwayne Johnson dan Zac Efron yang memang sangat cocok dengan image komedi. Memang belum sampai se-out of the box ataupun se-memorable, let’s say sang pionir macam American Pie, tapi apa yang ditampilkan di layar cukup membuat tawa meledak secara spontan. Namun tentu saja soal ini kembali ke selera humor masing-masing penonton.
Bagi penonton serialnya, ia masih mempertahankan karakter-karakter ikonik dari serial yang diperankan secara identik oleh aktor-aktris baru, termasuk juga cameo dari dua ikon terbesar serialnya yang muncul di saat tepat (treatment yang sama dengan Charlie’s Angels: Full Throttle sih, tapi harus diakui ini treatment tribute yang paling baik).
Plot investigasi crime di pantai mungkin terkesan sekedar asal ada seperti kebanyakan film bertema espionage. Tak ada yang baru maupun istimewa di sini. Namun bukan berarti Baywatch tak punya isi sama sekali. Look deeper. Ada konsep tentang batas-batas jurisdiksi yang secara konsisten diangakt sejak opening hingga konklusi. Konsep ini pula yang mendasari konflik utamanya. Jika mau ditilik lebih jauh pun, sosok yang diposisikan sebagai rival punya alasan mengapa para lifeguard ini dianggap telah melewati batas jurisdiksinya. Pihak para lifeguard pun digambarkan tak sepenuhnya sosok heroik. Sempat saya berpikir jangan-jangan para lifeguard ini memang sudah bertindak di luar wilayah pekerjaannya karena merasa bosan dengan pekerjaan sehari-hari dan punya keinginan terpendam untuk menjadi ‘lebih’ daripada profesinya. Konflik yang dari luar kesannya remeh, tapi sebenarnya cukup penting untuk direnungkan karena bisa saja melanda kita yang merasa jenuh dengan keseharian kita. No matter which, in the end yang terpenting adalah keputusan dan result yang berfaedah atau tidak.
Selain Dwayne Johnson dan Zac Efron yang memang pas melakoni karakter masing-masing dengan kapasitas komedik yang baik, Alexandra Daddario yang sebenarnya berada pada lini berikutnya sebagai Summer Quinn, ternyata masih kurang ‘menonjol’. Porsi romance dengan Efron pun masih sebatas flirty saja. Justru Kelly Rohrbach lebih mencuri perhatian sebagai CJ Parker. Tak hanya faktor fisik yang memang identik dengan pemeran versi serialnya, Pamela Anderson, tapi juga kharisma yang juga ‘menggoda’ sesuai kebutuhan karakter. Ilfenesh Hadera sebagai Stephanie Holden yang porsi perannya di layar tergolong sangat sedikit juga masih mencuri perhatian berkat aura kecerdasan yang terpancar natural di balik keseksiannya. Sementara Jon Bass mungkin bukan tipe komedian yang punya ciri khas seperti, let’s say Jonah Hill, tapi di sini ia masih berhasil menjadi pemancing tawa terbesar lewat karakter Ronnie. Priyanka Chopra tampil pas sebagai villain femme fatale. Memikat lewat keseksiannya tapi kesan ‘mematikan’-nya tetap terpancar kuat. Terakhir, tentu tak boleh melupakan cameo dari David Hasselhoff dan Pamela Anderson yang ditempatkan pada momen yang tepat sebagai sebuah tribute.
Sebagai sebuah sajian blockbuster summer movie, teknis Baywatch sangat mendukung. Terutama sekali sinematografi Eric Steelberg yang menyuguhkan camera work dinamis, terutama di momen-momen aksinya. Didukung editing Peter S. Elliot yang mempertajam momentum-momentum aksi maupun komedi-nya. Begitu pula scoring Christopher Lennertz yang terdengar begitu ‘blockbuster’ meski tak sampai menjadi score yang memorable. Yang terpenting, tak lupa untuk menyelipkan score serial aslinya, ditambah pemilihan soundtrack yang mendukung tiap nuansa film. Mulai yang laid-back seperti Get Free dari Major Lazer featuring Amber of Dirty Projectors, yang seksi seperti No Lie dari Sean Paul featuring Dua Lipa, yang badass seperti Hypnotize dari The Notorious B.I.G., hingga yang klasik seperti Wouldn’t It Be Nice dari The Beach Boys, How Deep is Your Love dari The Bee Gees, dan Say You Say Me dari Lionel Richie. One of my favorite soundtrack playlist this year. Sound mixing pun mendukung keseruan, terutama momen aksinya, dengan pembagian kanal surround yang memberikan kedalaman dimensi tersendiri. Dengarkan saja adegan firework yang terdengar paling menonjol.
Baywatch versi layar lebar memang meletakkan pure-entertainment berupa komedi gila-gilaan dan segala eye-candy yang dimiliki sebagai sajian utamanya. For that purpose, bagi saya sangat berhasil. Memang harus diakui masih bisa jauh lebih gila dan out-of-the-box lagi dalam menghadirkan adegan-adegan komedi slapstick maupun situasional, tapi apa yang dihadirkan sudah lebih dari cukup untuk membuat saya tertawa terbahak-bahak secara spontan. Plotnya mungkin biasa, tapi bukan berarti tak berisi sama sekali. Ada konsep tentang batas-batas jurisdiksi yang ditampilkan secara konsisten sepanjang durasi dan cukup membuat saya berkontemplasi. Namun tentu porsinya terjaga agar tujuan utama untuk menyajikan pure entertainment tidak tereduksi. I don’t mind seeing the sequels with more iconic characters from the series and, of course, wilder, crazier, and more out-of-the box jokes, please.
Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.