The Jose Flash Review
Mars Met Venus
[Part Cewe]

Kendati di era dimana suara-suara penyeru kesetaraan gender dan feminisme seperti saat ini sekalipun, harus diakui bahwa ada perbedaan mendasar antara pria dan wanita. Terutama dari segi pola pikir, prioritas, dan masih banyak hal lainnya. Tak salah jika kemudian ada yang menganalogikan perbedaan pria dan wanita sebagai (planet) Mars dan Venus dengan berbagai karakteristik yang membuat keduanya seolah susah untuk dipertemukan di satu titik tengah. Namun bukankah memang itu tujuan dari sebuah hubungan antara pria dan wanita? Tema battle of sexes sudah sangat sering diangkat di ranah perfilman manapun. Upaya terbaru dilakukan oleh MNC Pictures yang mencoba memasangkan komika, Ge Pamungkas, dengan aktris muda, Pamela Bowie di sebuah komedi romantis bertajuk Mars Met Venus (MMV). Seolah mempertegas (atau memanfaatkan?) tema perbedaan pria dan wanita, film yang dipercayakan kepada Hadrah Daeng Ratu (Heart Beat, Super Didi) di bangku penyutradaraan dan naskahnya disusun oleh Nataya Bagya (Aku dan Dia, 7/24, 3 Dara) ini dibagi (atau lebih tepatnya divisualisasikan) menjadi dua bagian. Dimulai dari Part Cewe (PCe) yang mewakili sudut pandang kaum hawa, sementara sudut pandang kaum adam dirilis selang dua minggu kemudian lewat Part Cowo (PCo). Apakah memang merupakan konsep pembeda yang solid atau sekedar gimmick (baca: trik) untuk melipat-gandakan peluang meraih penonton dengan membagi satu film menjadi dua bagian seperti yang sempat menjadi trend di perfilman kita?


Setelah menjalani hubungan yang cukup lama (sejak tahun pertama perkuliahan), Kelvin yang calon arsitek berniat untuk melamar kekasihnya, Mila. Maka ia berniat membuat sebuah rangkaian vlog berisi interview yang meruntut perjalanan hubungan mereka selama ini dengan bantuan Lukman sebagai sang interviewer. Proses pembuatan vlog ini justru membuka banyak miskonsepsi yang terjadi di antara mereka berdua hingga menyadari bahwa selama ini mereka punya banyak perbedaan dan terjadi kesalah-pahaman. Mila menjadi ragu dengan rencana pernikahannya dengan Kelvin, apalagi pengaruh dari dua sahabatnya, Icha dan Malia yang makin menyulut emosinya. Sementara Kelvin tak pernah patah arang untuk terus meyakinkan bahwa mereka masih layak untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi setelah perjalanan yang telah mereka lalui bersama.
Apa yang berusaha diangkat MMV sebenarnya isu klasik tentang hubungan asmara dan pernikahan, apalagi memang kerap bersumber dari perbedaan dasar dari kaum pria dan wanita, terlebih dari segi pola pikir. Serangkaian flashback disertakan untuk memberi gambaran bagaimana sebenarnya Kelvin dan Mila menilai hubungan mereka. Tak ada yang salah memang, tapi jika mau dianalisis lebih dalam, sebenarnya apa yang ditampilkan di MMV khususnya PCe ini bak repetisi yang tergolong bertele-tele. Subjek luarnya mungkin berbeda-beda, tapi inti sumber permasalahannya sama saja. 
Belum lagi kecenderungannya justru menggambarkan betapa kaum cewek adalah pihak yang kelewat egois dan negative thinking, terutama dari sosok Icha. Sementara kaum pria digambarkan sebagai sosok yang tulus dan lugu tapi kerap menjadi sasaran kesalahan. Awalnya fine-fine saja hingga lama-kelamaan menjadi melelahkan juga (well, tergantung ketahanan masing-masing penonton sih sebenarnya). Satu-satunya yang membuatnya masih bearable adalah penampilan komikal Ge Pamungkas sebagai Kelvin, baik dari segi gesture awkwardness maupun line-line celetukannya. Sementara Pamela Bowie sebagai Mila menjadi sosok karakter yang kian menjengkelkan dengan line dan juga cara ia menyampaikannya (belum lagi kecenderungannya untuk sering berteriak), di balik tabiatnya yang super egois.
Cukup disayangkan juga keputusannya untuk menampilkan resolusi dari plot battle of sexes di bagian ini. Konklusi yang memuaskan (meskipun sebenarnya tergolong cliché, tapi bagaimanapun memang seharusnya menuju ke arah tersebut) tapi menurut saya tak perlu untuk dimasukkan di PCe yang disiapkan untuk rilis lebih dulu. Resikonya, minat (baca: rasa penasaran) penonton untuk menyaksikan PCo menjadi berkurang atau malah hilang sama sekali. Singkatnya, jika sudah tahu akan bermuara ke mana, why bother, right? Untuk sekedar mengetahui bagaimana ‘pembelaan’ dari sudut pandang kaum cowok? Dengan beberapa adegan yang sudah diselipkan di PCe, agaknya sedikit banyak sudah banyak yang bisa ditebak. Praktis tinggal bagaimana PCo dengan dominasi penampilan dari geng Kelvin; Reza, Bobby, Steve, dan Martin, menyuguhkan humor-humornya yang menjadi daya tarik. Coba lihat beberapa judul film yang juga menggunakan dua atau lebih sudut pandang tapi tak sampai dibagi menjadi dua atau lebih bagian film. Let’s say Vantage Point, Pulp Fiction, atau Go!. Secara struktur konklusi selalu diletakkan pada bagian yang paling akhir untuk menahan perhatian penonton, bukan?
Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, Ge Pamungkas menjadi satu-satunya tumpuan PCe menjadi tontonan yang menghibur dan bearable untuk disimak hingga akhir. Sementara Pamela Bowie yang membawakan sosok super egois dan selalu negative thinking sama sekali tidak menyisakan simpati dari penonton. Yang ada justru semakin terasa menyebalkan dengan desain karakter yang ia bawakan. Resolusi sebagai konklusi pun belum sepenuhnya berhasil membuat karakternya menjadi layak mendapatkan simpati. Hanya sekedar hal yang sudah selayak dan sepantasnya. Chemistry antara Ge dan Pamela pun tak terasa seperti pasangan yang saling mencintai selama bertahun-tahun. Yang terasa justru Ge yang berusaha mati-matian memaksakan hubungan, sementara Pamela hanya ‘memanfaatkannya’.
Ria Ricis sebagai Icha dan Rani Ramadhany sebagai Malia berusaha untuk dijadikan sosok-sosok komikal, tapi karena saking negatif-nya, saya menjadi makin ilfil ketimbang menganggapnya lucu dan menggelitik. Reza Nangin, Ibob Tarigan, Steve Pattinama, dan Martin Anugrah sebagai ‘geng cowo’ beberapa kali masih mampu menjadi sumber kelucuan, tapi porsinya masih tergolong terbatas untuk sekedar mengenali masing-masing karakter. Let’s see in PCo kelak. Sementara di lini berikutnya, penampilan Pong Harjatmo, Ayu Dyah Pasha, dan Nurul Noor tak punya cukup porsi untuk menjadi lebih menarik dan cenderung replaceable by anybody.
Sama seperti produksi-produksi MNC Pictures sebelumnya (kecuali The Professionals), teknis MMV masih belum beranjak banyak dari production value yang sedikit di atas FTV. Namun setidaknya masih cukup berhasil mengemban fungsi masing-masing. Seperti sinematografi Gunung Nusa Pelita yang masih mampu bercerita dengan efektif, meski kebanyakan hanya berupa steady shot dan minim pergerakan kamera. Editing Yoga Krispratama hanya sekedar menyusun adegan secara naratif dengan beberapa (sedikit sih) split screen. Pace dan timing (terutama berkaitan dengan comedic timing) masih terasa cukup pas di balik perkembangan plot yang memang tergolong minim. Momen-momen emosionalnya pun masih bisa dirasakan tanpa terkesan terburu-buru. Musik dari Ricky Lionardi masih cukup mengiringi adegan-adegan sesuai kebutuhan meski tak ada yang terdengar benar-benar istimewa ataupun hummable. Theme song Dulu, Kini, dan Nanti yang dibawakan Citra Scholastika terdengar pas dengan film, baik dari segi lirik maupun tone yang sesuai dengan adegan-adegan tempat ia diletakkan. Hanya saja penggunaan yang berkali-kali (lagi-lagi a la FTV ‘kan?) lama-kelamaan mengakibatkan kebosanan juga.
Dengan konsep yang sebenarnya menarik untuk diangkat dan berpotensi untuk dikembangkan menjadi lebih solid pun juga menghibur, apa yang disuguhkan MMV PCe masih sangat on the surface only dengan resolusi yang disampaikan dengan sangat generik. Tanpa transisi yang lebih thoughtful untuk dipikirkan dan dirasakan penonton. Sebagai PCe yang seharusnya menjadi pembelaan dari kaum cewek, justru memberikan gambaran cewek sebagai sudut yang egois dan serba negatif. Akibatnya, alih-alih membuat penonton bersimpati terhadap kaum cewek, justru semakin dibuat kesal dan ilfil. Sisanya, MMV PCe hanya mampu menjadi sajian hiburan yang bertumpu pada awkwardness, gesture, dan line-line celetukan Ge Pamungkas. Melihat hasil akhir PCe, agaknya PCo tak begitu menggairahkan saya. Harapan saya satu-satunya adalah sajian komedi geng cowok yang seharusnya (setidaknya dari adegan-adegan geng cowok yang sedikit diselipkan di PCe) bisa lebih gokil dan gila. Let’s see. 

Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.
Diberdayakan oleh Blogger.