The Jose Flash Review
Wish Upon

Horror remaja yang pernah booming di era 90-an sudah tergantikan oleh horror paranormal dengan background keluarga yang saat ini sedang marak, terutama berkat ‘prakarsa’ dari James Wan lewat franchise Insidious dan The Conjuring-nya. Horror remaja menjadi semacam barang langka yang kehadirannya kerap saya rindu-rindukan. Jawaban atas kerinduan saya terjawab ketika ada kabar pembuatan film horror remaja bertajuk Wish Upon (WU). Disutradarai oleh John R. Leonetti (cinematographer untuk film-film James Wan sejak Dead Silence, Death Sentence, Insidious, The Conjuring, hingga Insidious: Chapter 2 yang juga pernah dipercaya menyutradarai Mortal Kombat: Annihilation, The Butterfly Effect 2, dan Annabelle), berdasarkan naskah Barbara Marshall (serial Terra Nova dan terakhir tahun 2016 lalu, Viral) yang terpilih dari Black List 2015. Diproduksi di bawah bendera Broad Green Pictures dan Orion Pictures, WU menggandeng nama-nama muda seperti Joey King (Quarantine, Ramona and Beezus, The Conjuring, dan Independence Day: Resurgence), Ki Hong Lee (franchise The Maze Runner), Shannon Purser (serial Stranger Things dan Riverdale), dan mantan bintang muda, Ryan Phillippe (I Know What You Did Last Summer). Meski berating PG-13, trailer WU cukup menjanjikan sajian horor seperti yang saya rindu-rindukan sejak lama.

Di sekolah, Clare Shannon tergolong gadis yang kerap menjadi bulan-bulanan siswa-siswi populer. Bagaimana tidak, sang ibu tewas bunuh diri ketika Clare masih kecil sementara sang ayah bekerja sebagai pemulung. Beruntung Clare masih punya sahabat, June dan Meredith. Mereka bertiga menjadi langganan objek bully dari geng gadis populer, Darcie, Tyler, dan Lola. Suatu hari sang ayah membawakan sebuah benda aneh dengan aksara-aksara Cina di sekelilingnya. Ia memberikan benda yang ditemukan di tong sampah ini semata-mata tahu bahwa putrinya antusias dengan budaya Cina. Clare hanya bisa membaca bahwa benda tersebut bisa mengabulkan tujuh permintaan. 

Terbawa emosi kepada Darcie, Clare iseng-iseng meminta gadis populer itu membusuk. Ajaib, keesokan harinya dikabarkan Darcie terkena infeksi yang membuat beberapa organnya diamputasi. Mendengar kabar ini Clare makin ketagihan untuk membuat permintaan. Tanpa disadari bahwa setiap permintaan yang ia buat selalu diiringi oleh kematian tragis dari orang-orang terdekatnya. Dengan bantuan Ryan yang memang keturunan Cina, Clare mencari tahu asal-usul benda misterius tersebut dan bagaimana mematahkan kutukan yang sudah terlanjur ia mulai karena ternyata benda tersebut mengancam nyawa si pembuat permintaan.

Speaking of teenage life, tentu tak lepas dari isu sosial yang agaknya tak lekang oleh waktu, terutama saat ini ketika kasus bullying semakin menjadi-jadi. Jika belum lama ini Before I Fall memanfaatkan konsep sci-fi untuk mengangkat tema sosial remaja, maka WU bisa dikatakan memanfaatkan konsep horror fantasi untuk ‘menyentil’ isu sosial remaja saat ini, terutama tentang  konsepsi perfect life menurut kacamata remaja. Tema ini lantas disusun dari berbagai formula populer, mulai Mean Girls, Final Destination, Wishmaster, dan Bedazzled


Dominasi horror yang diusung WU berasal dari ancaman kematian karakter yang mana penonton tahu ia akan segera menemui ajal, tapi tidak tahu penyebabnya. Ketegangan terbangun dengan timing yang cukup pas, menghasilkan adegan-adegan yang mencekam dan bikin paranoid, kendati in the end visualisasinya off-screen, tak sesadis Final Destination (mengingat target rating PG-13). 

Other than that, masih ada pengungkapan misteri yang sebenarnya bagi penonton dengan referensi cukup banyak, bisa dengan mudah ditebak. Apalagi jika sudah menonton judul-judul referensi yang saya sebutkan sebelumnya. Kendati demikian, masih ada misteri cara mematahkan kutukan yang belum terungkap hingga menjelang akhir. Namun sebelumnya, masih ada penyampaian esensi utama yang ingin disampaikan di balik plot, yang memang kesannya biasa saja, tapi saya harus mengakui cukup relevan dan terasa thoughtful setelah adegan-adegan yang terjadi. 

Sebagai film remaja, tentu tak lepas dari pilihan sikap yang bagi penonton mungkin terkesan cheesy atau bodoh. Bagi saya apa yang ditampilkan di WU masih tergolong wajar. Apalagi dalam konteks karakter-karakter remaja yang masih naif, labil, mudah panik, dan punya ego tersendiri, semuanya masih tergolong manusiawi. Setidaknya anggap saja sebagai bumbu humor yang sedikit menambah sisi fun di samping gelaran momen-momen dikejar kematian yang berhasil mencekam.

Memikul beban karakter utama, Clare, dengan kepribadian yang cukup kompleks (setidaknya untuk ukuran remaja seusia karakternya), Joey King ternyata mampu menarik simpati penonton, cukup natural, dan di beberapa momen, mampu menunjukkan aura kebintangan dan pesona tersendiri. Ki Hong Lee sebenarnya punya porsi yang cukup banyak lewat karakter Ryan. Sayang, aktingnya seringkali terasa flat. Shannon Purser masih memerankan karakter tipikal yang kerap ia bawakan untuk karakter June. Well, that’s kinda role what she’s best playing at. Sydney Park sebagai Meredith, Mitchell Slaggert sebagai Paul, Josephine Langford sebagai Darcie, dan Alice Lee sebagai Gina pun cukup mencuri perhatian dengan porsi masing-masing. Terakhir, come back Ryan Phillippe dengan mengisi peran ayah Clare, Jonathan Shannon, cukup signifikan dari sosok yang kita kenal selama ini. Tak hanya dari tampilan fisik, tapi juga gesture. Sayang, bukan berarti ia tampil briliant ataupun sekedar mencuri perhatian. Just different from the usual.

Sebagai horror berbudget kecil (‘hanya’ US$ 12 juta), WU tergolong mampu memanfaatkan teknis yang tak muluk-muluk untuk menghasilkan impact yang cukup berhasil. Mulai sinematografi Michael Galbraith yang tak banyak memanfaatkan camera work yang rumit tapi masih efektif dalam bercerita dan membangun ketegangan. Begitu juga editing Peck Prior yang membuat terror dan horror-timing-nya pas dengan efektivitas gore yang cukup ber-impact meski off-screen. Score music dari tomandandy (spesialis horor indie seperti The Mothman Prophecies, Mean Creek, The Hills Have Eyes, The Strangers, Sinister 2, hingga terakhir, 47 Meters Down) masih efektif mengiringi momen-momen mencekam, meski sebenarnya tergolong generik di genrenya. Pilihan-pilihan soundtrack alternatif berenergi khas remaja menyeimbangkan sisi fun, fresh, dan youthful dari keseluruhan film. Mulai All We Ever Wanted dari Hey Violet, Kids (Ain’t All Right) dari Grace Mitchell, Night Lies dari Mating Rituals, L.E.T.S.G.O. dari Headband, Ocean dari Rogue Wave, With You dari Beasts With No Name, Die Young dari Brett, Feel Something dari Black Coast feat. Remmi, hingga High Tops dari Bryce. Satu kompilasi soundtrack yang asyik, seasyik soundtrack Jennifer’s Body.



Premise yang ditawarkan oleh WU memang tak sepenuhnya orisinil. Gabungan dari berbagai premise maupun formula populer, tapi diracik dengan cukup seimbang, relevan dengan tema sekaligus fenomena kehidupan sosial remaja saat ini (dan saya yakin, sampai kapanpun), menarik untuk disimak, dan ternyata hasil akhirnya fun serta sangat menghibur. Kerinduan saya akan horror remaja lebih dari cukup terpuaskan. Potensi pengembangan menjadi franchise jelas terbuka lebar. Saya sih berharap benar-benar dikembangkan. Tak perlu perkembangan ataupun perluasan plot yang muluk-muluk. Sekedar pengulangan dengan pemanfaatan formula yang dikembangkan secara kreatif seperti yang dilakukan Final Destination sudah lebih dari cukup. Yang penting punya daya cekam yang berhasil mengundang rasa paranoid dan kalau bisa, gore yang terlihat lebih blak-blakan. 

P.S. : Ada mid-credit scene yang sebenarnya tergolong sangat formulaic di genrenya. Namun bagi yang menyukai apa yang ditawarkan WU, adegan ini membangkitkan harapan pengembangan lebih lanjut. Semoga saja.

Lihat data film ini di IMDb.

Diberdayakan oleh Blogger.