The Jose Flash Review
The Doll 2


Horor agaknya menjadi genre yang selalu diminati bagi penonton kita. Di tahun 2017 ini saja sudah ada dua film bergenre horor yang sudah tembus di atas dua juta penonton; Danur: I Can See Ghosts dan Jailangkung. Hitmaker Studios yang dikenal konsisten memproduksi film horor yang setidaknya selalu mengundang ratusan ribu penonton ke bioskop, tak mau kalah. Amunisi mereka tahun ini adalah sekuel dari horor box office mereka tahun 2016 silam yang berhasil membukukan angka 550 ribu penonton lebih, The Doll. Rocky Soraya masih duduk di bangku sutradara sekaligus produser. Begitu juga dengan Riheam Junianti (penulis naskah semua film produksi Hitmaker Studios dan beberapa produksi Soraya Intercine Films) yang masih dipercaya menyusun naskahnya bersama Fajar Umbara (adik sutradara Anggy Umbara yang pernah menulis naskah franchise Comic 8, 3 (Tiga), dan Anak Kos Dodol). Sementara kisahnya mencoba mengadaptasi pola Insidious dengan mempertahankan karakter Bu Laras yang diperankan Sara Wijayanto, menyertai karakter-karakter baru yang memasangkan Luna Maya dan Herjunot Ali.

Kebahagiaan Aldo dan Maira dengan hadirnya anak yang sudah lama diidam-idamkan, Kayla, harus kandas setelah sang putri tunggal tewas dalam kecelakaan mobil. Gara-gara keisengan sang sahabat, Elsa, Maira mencoba menyanyikan tembang Lingsir Wengi dengan iringan gamelan yang dipercaya bisa mendatangkan arwah orang-orang yang telah meninggal. Tentu dengan harapan bisa berkomunikasi lagi dengan Kayla melalui medium boneka kesayangan Kayla, Sabrina, sebagai obat rindu. Awalnya seperti tak terjadi apa-apa, tapi lama-kelamaan Maira mulai mengalami keganjilan yang mengganggu hidupnya. Menurut Bi Yani, sang pembantu, Maira lupa ‘mengantar pulang’ sang arwah dengan doa. Ketika gangguan semakin ganas, Elsa membawa Maira ke Bu Laras yang setahun terakhir sempat ogah berurusan dengan arwah karena trauma pribadi. Mendengar kasus Maira, Bu Laras tergerak untuk menolong dengan bantuan adiknya, Bagas.
Jujur, saya tidak pernah berekspektasi lebih ketika menonton film-film horor produksi Hitmaker Studios. Maklum, selama ini masih belum ada yang menurut saya digarap dengan memuaskan meski secara teknis cukup layak. Tak terkecuali dengan The Doll pertama. Maka saya begitu takjub dengan presentasi mereka kali ini.
Premise yang diusung oleh The Doll 2 (TD2) memang masih tergolong generik di genrenya, pun juga dengan formula-formula adegan horor yang tak kalah generiknya. Namun rupanya ia digarap dengan jauh lebih serius. Pertama-tama, struktur cerita yang tersusun dengan layak dan rapih. Generik dan mudah ditebak ‘what’s next’, tapi masih nyaman diikuti. Setidaknya masih ada misteri ‘penyebab’ yang bikin penasaran sampai momen pengungkapannya. ‘Rahasia’-nya tersimpan dengan cukup baik dan ketika terungkap, tidak came out of nowhere. Ada hint-hint yang sebenarnya sempat diselipkan sebelum-sebelumnya.
Harus diakui TD2 melakukan revealing yang cheesy dan sinetron-ish hingga sempat membuat mood turun. Namun menurut saya, revealing seperti ini lah cara terbaik untuk membuat penonton (dengan range seluas-luasnya, bukan hanya kaum moviegoers yang cenderung lebih suka menganalsiis sendiri kepingan-kepingan misteri yang disebar) memahaminya secara jelas. Pun juga masih ditemukan cukup banyak logika minor dan pengkondisian yang harus dikompromikan demi kelancaran alur cerita dan pace.
Kedua, TD2 juga mengalami perkembangan signifikan dalam membangun atmosfer horor dan rasa was-was dari penonton sekaligus jumpscare. Ada efektivitas dari sinematografi Asep Kalila dan editing Sastha Sunu yang menghasilkan timing-timing serba pas. Adegan-adegan aksi yang semakin berdarah-darah (juga menjadi elemen penting sejak The Doll pertama) pun terasa jauh lebih tertata rapih dan sharp. Lagi-lagi kekhawatiran penonton terhadap apa yang terjadi di layar berhasil dipancing berkat tata adegan, sinematografi, dan editing yang tepat. Masih terasa kepanjangan, tapi di TD2 jauh lebih seru dan tidak semelelahkan The Doll.
Ketiga, saya tak boleh mengabaikan niat baik memasukkan konsep motherhood yang coba digali lebih dalam, termasuk aftermath yang jelas membuktikan niatan baik tersebut. Ada value lebih yang coba ditawarkan, bukan hanya sekedar dijadikan bahan eksploitasi horor seperti kebanyakan.
Keberhasilan konsep yang ditawarkan tentu ada andil para cast yang tampil layak. Luna Maya sebagai Maira jelas menunjukkan sisi keibuan yang kuat sepanjang film. Terutama sekali di klimaks dimana ia memberikan performa emosional ibu-dan-anak yang maksimal dan juga ketika harus menjadi sosok yang mengerikan itu sendiri. Herjunot Ali mungkin tak tampil semenonjol Luna di balik porsi yang tak begitu banyak maupun ‘menantang’, tapi juga tak buruk sama sekali. Just fair enough.
Sara Wijayanto mendapatkan porsi lebih sebagai Bu Laras dan tergolong tampil cukup stabil dari film pertama. Rydhen Afexi masih belum mampu mencuri perhatian lewat peran Bagas. Sementara akris cilik Shofia Shireen sebagai Kayla tampil cukup layak. Above all, pencuri perhatian terbesar adalah Ira Ilva Sari (sebelumnya dikenal sebagai model dan bintang FTV) sebagai Yani. Tak hanya karena pilihan ‘kostum’ dan fisik yang mengingatkan saya akan sosok Revalina S. Temat, tapi ternyata tampil cukup memikat sesuai porsi yang disodorkan kepadanya.
Selain sinematografi dan editing, teknis lain juga sangat mendukung. Score music dari Anto Hoed memang terdengar generik di genrenya, tapi masih tergolong berhasil menaikkan feel dari tiap adegan, terutama adegan-adegan horor-nya, tanpa terdengar kelewat berisik dan mengganggu. Sound mixing pun mengalami perkembangan yang cukup signifikan, terutama dalam detail-detail sound effect, upaya pembangunan atmosfernya, dan pemanfaatan fasilitas surround 7.1 yang cukup maksimal. Suara dialog mungkin terdengar seolah ‘terpisah’ dari gambar dan hasil dubbingan. Namun coba perhatikan gerak bibir para aktor yang ternyata masih in-sync dan ambience yang masih terdengar natural. Rupanya ini merupakan faktor microphone yang punya sensitivitas dan kejernihan tinggi sehingga menghasilkan suara dengan kejernihan dan power yang konstan sekalipun di medium atau long shot sekalipun.
TD2 mungkin masih belum menjadi horor sempurna yang diidamkan penikmat horor yang terbiasa dengan horor Hollywood. Namun harus diakui ini merupakan peningkatan yang signifikan bagi produksi Hitmaker Studios. Produksi terbaik mereka, bahkan untuk tahun 2017, TD2 adalah sajian horor Indonesia terbaik so far.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.
Diberdayakan oleh Blogger.