3.5/5
Asia
Gore
Horror
Indonesia
Marriage
Mother-and-Daughter
motherhood
Pop-Corn Movie
sequel
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Doll 2
Horor agaknya menjadi genre yang selalu diminati bagi penonton
kita. Di tahun 2017 ini saja sudah ada dua film bergenre horor yang sudah
tembus di atas dua juta penonton; Danur:
I Can See Ghosts dan Jailangkung.
Hitmaker Studios yang dikenal konsisten memproduksi film horor yang setidaknya
selalu mengundang ratusan ribu penonton ke bioskop, tak mau kalah. Amunisi
mereka tahun ini adalah sekuel dari horor box office mereka tahun 2016 silam
yang berhasil membukukan angka 550 ribu penonton lebih, The Doll. Rocky Soraya masih duduk di bangku sutradara sekaligus
produser. Begitu juga dengan Riheam Junianti (penulis naskah semua film
produksi Hitmaker Studios dan beberapa produksi Soraya Intercine Films) yang
masih dipercaya menyusun naskahnya bersama Fajar Umbara (adik sutradara Anggy
Umbara yang pernah menulis naskah franchise Comic
8, 3 (Tiga), dan Anak Kos Dodol). Sementara kisahnya
mencoba mengadaptasi pola Insidious
dengan mempertahankan karakter Bu Laras yang diperankan Sara Wijayanto,
menyertai karakter-karakter baru yang memasangkan Luna Maya dan Herjunot Ali.
Kebahagiaan Aldo dan Maira dengan hadirnya anak yang sudah
lama diidam-idamkan, Kayla, harus kandas setelah sang putri tunggal tewas dalam
kecelakaan mobil. Gara-gara keisengan sang sahabat, Elsa, Maira mencoba
menyanyikan tembang Lingsir Wengi
dengan iringan gamelan yang dipercaya bisa mendatangkan arwah orang-orang yang
telah meninggal. Tentu dengan harapan bisa berkomunikasi lagi dengan Kayla melalui
medium boneka kesayangan Kayla, Sabrina, sebagai obat rindu. Awalnya seperti
tak terjadi apa-apa, tapi lama-kelamaan Maira mulai mengalami keganjilan yang
mengganggu hidupnya. Menurut Bi Yani, sang pembantu, Maira lupa ‘mengantar
pulang’ sang arwah dengan doa. Ketika gangguan semakin ganas, Elsa membawa
Maira ke Bu Laras yang setahun terakhir sempat ogah berurusan dengan arwah
karena trauma pribadi. Mendengar kasus Maira, Bu Laras tergerak untuk menolong
dengan bantuan adiknya, Bagas.
Jujur, saya tidak pernah berekspektasi lebih ketika menonton
film-film horor produksi Hitmaker Studios. Maklum, selama ini masih belum ada
yang menurut saya digarap dengan memuaskan meski secara teknis cukup layak. Tak
terkecuali dengan The Doll pertama.
Maka saya begitu takjub dengan presentasi mereka kali ini.
Premise yang diusung oleh The
Doll 2 (TD2) memang masih tergolong generik di genrenya, pun juga dengan
formula-formula adegan horor yang tak kalah generiknya. Namun rupanya ia
digarap dengan jauh lebih serius. Pertama-tama, struktur cerita yang tersusun
dengan layak dan rapih. Generik dan mudah ditebak ‘what’s next’, tapi masih
nyaman diikuti. Setidaknya masih ada misteri ‘penyebab’ yang bikin penasaran
sampai momen pengungkapannya. ‘Rahasia’-nya tersimpan dengan cukup baik dan
ketika terungkap, tidak came out of nowhere. Ada hint-hint yang sebenarnya
sempat diselipkan sebelum-sebelumnya.
Harus diakui TD2 melakukan revealing yang cheesy dan
sinetron-ish hingga sempat membuat mood turun. Namun menurut saya, revealing
seperti ini lah cara terbaik untuk membuat penonton (dengan range
seluas-luasnya, bukan hanya kaum moviegoers yang cenderung lebih suka
menganalsiis sendiri kepingan-kepingan misteri yang disebar) memahaminya secara
jelas. Pun juga masih ditemukan cukup banyak logika minor dan pengkondisian
yang harus dikompromikan demi kelancaran alur cerita dan pace.
Kedua, TD2 juga mengalami perkembangan signifikan dalam
membangun atmosfer horor dan rasa was-was dari penonton sekaligus jumpscare.
Ada efektivitas dari sinematografi Asep Kalila dan editing Sastha Sunu yang
menghasilkan timing-timing serba pas. Adegan-adegan aksi yang semakin
berdarah-darah (juga menjadi elemen penting sejak The Doll pertama) pun terasa jauh lebih tertata rapih dan sharp.
Lagi-lagi kekhawatiran penonton terhadap apa yang terjadi di layar berhasil
dipancing berkat tata adegan, sinematografi, dan editing yang tepat. Masih
terasa kepanjangan, tapi di TD2 jauh lebih seru dan tidak semelelahkan The Doll.
Ketiga, saya tak boleh mengabaikan niat baik memasukkan konsep
motherhood yang coba digali lebih dalam, termasuk aftermath yang jelas
membuktikan niatan baik tersebut. Ada value lebih yang coba ditawarkan, bukan
hanya sekedar dijadikan bahan eksploitasi horor seperti kebanyakan.
Keberhasilan konsep yang ditawarkan tentu ada andil para cast
yang tampil layak. Luna Maya sebagai Maira jelas menunjukkan sisi keibuan yang
kuat sepanjang film. Terutama sekali di klimaks dimana ia memberikan performa
emosional ibu-dan-anak yang maksimal dan juga ketika harus menjadi sosok yang
mengerikan itu sendiri. Herjunot Ali mungkin tak tampil semenonjol Luna di
balik porsi yang tak begitu banyak maupun ‘menantang’, tapi juga tak buruk sama
sekali. Just fair enough.
Sara Wijayanto mendapatkan porsi lebih sebagai Bu Laras dan
tergolong tampil cukup stabil dari film pertama. Rydhen Afexi masih belum mampu
mencuri perhatian lewat peran Bagas. Sementara akris cilik Shofia Shireen
sebagai Kayla tampil cukup layak. Above all, pencuri perhatian terbesar adalah
Ira Ilva Sari (sebelumnya dikenal sebagai model dan bintang FTV) sebagai Yani.
Tak hanya karena pilihan ‘kostum’ dan fisik yang mengingatkan saya akan sosok
Revalina S. Temat, tapi ternyata tampil cukup memikat sesuai porsi yang disodorkan
kepadanya.
Selain sinematografi dan editing, teknis lain juga sangat
mendukung. Score music dari Anto Hoed memang terdengar generik di genrenya,
tapi masih tergolong berhasil menaikkan feel dari tiap adegan, terutama
adegan-adegan horor-nya, tanpa terdengar kelewat berisik dan mengganggu. Sound
mixing pun mengalami perkembangan yang cukup signifikan, terutama dalam
detail-detail sound effect, upaya pembangunan atmosfernya, dan pemanfaatan
fasilitas surround 7.1 yang cukup maksimal. Suara dialog mungkin terdengar
seolah ‘terpisah’ dari gambar dan hasil dubbingan. Namun coba perhatikan gerak
bibir para aktor yang ternyata masih in-sync dan ambience yang masih terdengar
natural. Rupanya ini merupakan faktor microphone yang punya sensitivitas dan
kejernihan tinggi sehingga menghasilkan suara dengan kejernihan dan power yang
konstan sekalipun di medium atau long shot sekalipun.
TD2 mungkin masih belum menjadi horor sempurna yang diidamkan
penikmat horor yang terbiasa dengan horor Hollywood. Namun harus diakui ini
merupakan peningkatan yang signifikan bagi produksi Hitmaker Studios. Produksi
terbaik mereka, bahkan untuk tahun 2017, TD2 adalah sajian horor Indonesia
terbaik so far.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.