The Jose Flash Review
The Crucifixion

Salah satu tema di genre horror yang akhirnya berkembang menjadi sub-genre adalah exorcism atau pengusiran setan. Tentu tema exorcism mau tak mau lekat dengan unsur reliji yang menjadi core-nya. Ada cukup banyak contoh judul film yang memberikan kontribusi penting di sub-genre tersebut. Bisa karena memberikan informasi-informasi baru seputar ritual exorcism, baik yang merupakan fakta maupun fiktif, atau karena pencapaian style visual yang ‘berani’. Selain The Exorcist (1973) dan franchise-nya yang menjadi ‘bapak dari segala film exorcism’, masih ada The Exorcism of Emily Rose (2005), Drag Me to Hell (2009), hingga yang menurut saya cukup inovatif dari segi informasi maupun visual style, Deliver Us from Evil (2014). The Crucifixion yang ditayangkan perdana di Screamfest Film Festival, Los Angeles, Oktober 2016 lalu ini sempat menjadi bahan pembicaraan penggemar horror. Betapa tidak, nama-nama di belakang-nya cukup menjanjikan. Mulai sutradara asal Perancis, Xavier Gens (segmen X is for XXL di antologi The ABC’s of Death, Frontier(s), dan pernah dipercaya untuk menangani Hitman versi tahun 2007), duo penulis naskah, Chad dan Carey Hayes (keduanya dikenal sebagai penulis naskah House of Wax versi tahun 2005, The Reaping, Whiteout, dan duologi The Conjuring), hingga Javier Botet (aktor di balik sosok-sosok ‘halus’ di Mama, The Conjuring 2, The Other Side of the Door, Alien: Covenant, hingga The Mummy versi 2017 barusan) di salah satu jajaran cast. Masih ditambah pemanfaatan kultur dan setting Romania yang punya eksotisme tersendiri, apalagi fakta bahwa Romania adalah negara asal cikal-bakal legenda Dracula yang kita kenal selama ini. Meski tergolong indie dan bahkan sampai tulisan ini diturunkan masih belum menentukan jadwal tayang di Amerika Serikat, The Crucifixion telah berhasil mengundang rasa penasaran para pecinta horror di seluruh dunia. Apalagi selepas merilis trailer perdananya. Beruntung Indonesia menjadi negara pertama yang berkesempatan menyaksikannya secara umum.


Nicole Rawlins, reporter asal New York tertarik dengan kasus seorang pastor yang didakwa membunuh seorang biarawati ketika melakukan ritual pengusiran setan atau eksorsisme di Romania. Pihak Gereja menganggap ritual eksorsisme tersebut menyalahi aturan Gereja karena sang korban sebelumnya didiagnosis mengidap schizophrenia. Nicole yang sejak lama tak percaya dengan konsep keagamaan ingin membuktikan bahwa ritual eksorsisme adalah omong kosong dan sang suster benar-benar korban pembunuhan. Begitu tiba di sebuah desa terpencil di Romania, seisi gereja tak ada yang bersimpati kepadanya kecuali Pastor Anton yang perlahan berusaha membuat Nicole percaya tentang dogma-dogma agama, terutama berkaitan dengan ritual eksorsisme. Namun tentu saja misteri ini tak dengan mudah bisa dipecahkan. Nicole pun mulai mengalami gangguan-gangguan aneh yang membuatnya makin bingung dengan pilihan kepercayaannya.

Basically, The Crucifixion sebenarnya tak menawarkan plot yang benar-benar baru di sub-genre eksorsisme. Termasuk juga informasi-informasi yang disampaikan, seperti tentang tahapan ritual dan aturan-aturannya. Elemen yang cukup menarik terletak pada dimunculkannya pertentangan di dalam tubuh Gereja, yang mana di satu sisi menganggap ritual eksorsisme tersebut illegal karena sang korban secara resmi didiagnosis mengidap schizophrenia, sementara di sisi lain ada pihak yang percaya bahwa sang korban benar-benar kerasukan sehingga perlu dilakukan ritual eksorsisme. Pertentangan yang mengaburkan tentang pihak mana yang ‘sesat’. Menghadirkan karakter Nicole yang non-believer juga bukan formula yang benar-benar baru, dengan tujuan tentu saja membuat konklusi yang lebih solid dan relatable tentang faith. In that case, ada momen yang membuat purpose tersebut cukup terasa.

Di balik elemen-elemen yang coba dimasukkan tersebut, selubung terluar The Crucifixion sebenarnya adalah plot investigatif tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan suster yang tewas setelah menjalani ritual eksorsisme. In this case, plotnya mungkin masih dikembangkan secara generik, tapi masih tetap menimbulkan rasa penasaran meski mungkin sekedar butuh konfirmasi tentang dugaan-dugaan yang muncul sebagai hasil analisis masing-masing penonton.

Sayangnya, treatment Gens untuk memvisualisasikan semua elemen-elemen tersebut ternyata tak terlalu istimewa. Tak ada keistimewaan tertentu dari visual style-nya. Bahkan tergolong lemah dalam menghadirkan atmosfer eerie ataupun mencekam. Padahal sudah didukung oleh desain produksi yang suportif. Sinematografi Daniel Aranyó sebenarnya cukup efektif dalam menghadirkan beberapa momen menegangkan, ditambah editing yang juga punya momentum tepat untuk upaya-upaya jumpscare-nya. Hanya saja masih ada satu-dua jumpscare yang kelewat samar dengan shot yang kurang tepat pula, sehingga menggagalkan upayanya. Baru pada adegan klimaks yang tampak ‘kelas’ yang sesungguhnya, lengkap dengan sinematografi slow-mo dan sound mixing yang mengagumkan. Musik dari David Julyan turut suportif dalam membangun nuansa kengerian dan curiosity meski tak sampai benar-benar powerful.

Mengisi karakter utama yang dibekali latar belakang cukup menarik tapi masih terasa one-dimensional dari luar, Sophie Cookson (Roxy di duologi Kingsman dan Pippa di The Huntsman: Winter’s War) sebenarnya tampil cukup baik dengan pesona dan kharisma yang cukup mendominasi sepanjang durasi. Corneliu Ulici berhasil merepresentasikan kharisma kemisteriusan Pastor Anton yang suspicious. Brittany Ashworth turut pula memukau baik secara fisik maupun kharisma akting sebagai Vaduva. Terakhir, tak boleh melupakan stealing performance dari Florian Voicu yang tak kalah misterius dari Ulici sebagai Tavian.

The Crucifixion mungkin tak menawarkan sesuatu yang baru maupun unik di sub-genre eksorsisme, tapi setidaknya beberap adegan jumpscare-nya masih bisa berhasil. Ada potensi menjadi sesuatu yang lebih solid, terutama lewat konflik di dalam tubuh Gereja yang saling bertentangan. Sayang tak dikembangkan lebih lanjut, di bawah konflik personal karakter Nicole yang ternyata juga tak benar-benar punya konklusi yang solid. Bisa jauh lebih konsisten terasa berkelas, tapi pencapaiannya kali ini cukup untuk sekedar dijadikan tontonan horror yang bikin penasaran dan menghibur.

Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.