3.5/5
Adventure
Asia
Comedy
Drama
Espionage
Father-and-Son
Hindi
Investigation
murder
Musical
Romance
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Jagga Jasoos
[जग्गा जासूस]
Di sinema Hindi, nama Anurag Basu termasuk
salah satu sutradara yang disegani. Tak hanya punya kualitas di atas rata-rata,
tapi juga tak jarang menjadi box office, baik di rumah sendiri maupun secara
internasional. Di antaranya yang paling populer, Kites dan Barfi!.
Persembahan terbaru darinya adalah sebuah perpaduan unik antara kisah detektif
a la Tintin dengan treatment musikal khas sinema Hindi. Proyek lanjutan antara
Anurag dan Ranbir setelah Barfi! bertajuk
Jagga Jasoos (JJ - Inggris: Detective
Jagga) ini sebenarnya sudah dipersiapkan sejak tahun 2013, tapi perjalanan
produksinya jauh dari kata mulus. Mulai faktor keretakan hubungan asmara antara
kedua pemeran utamanya, Ranbir Kapoor dan Katrina Kaif, hingga peran ayah Jagga
yang awalnya (bahkan sempat menjalani syuting) diperankan Govinda akhirnya
diganti oleh Saswata Chatterjee (Kahaani).
Banyaknya lokasi syuting yang digunakan, mulai Daarjeling, Thailand, Moroko,
hingga Cape Town, Afrika Selatan, turut mempengaruhi lamanya proses pengambilan
gambar. Jadwal tayang yang sedianya diset 2015, lalu mundur menjadi November
2016, dan akhirnya Juli 2017, termasuk proses re-shot beberapa adegan.
Makin malang, hasil box office JJ di rumah
sendiri agaknya kurang menggembirakan. Ditambah pula kasus salah satu pemeran
pendukungnya, Bidisha Bezabaruah (membawakan tarian Bihu khas Assam bersama Katrina), yang ditemukan gantung diri di apartemennya
di Gurgaon. Padahal konsep JJ ini sebenarnya sangat menarik untuk dikembangkan
menjadi sebuah franchise.
Lahir sebagai anak yatim piatu, Jagga dirawat
di sebuah panti asuhan. Ia menjadi pendiam karena malu mengidap gagap. Takdir
mempertemukannya dengan TutiFuti, seorang pria setengah baya yang terluka dan
ditolongnya untuk dirawat di panti asuhan. Setelah pulih, TutiFuti
mengangkatnya menjadi anak dan mengajarinya menggunakan nyanyian sebagai ganti
berkata-kata agar lebih lancar.
Kebahagiaannya tak berlangsung lama. TutiFuti
dikejar-kejar oleh pihak tak dikenal hingga memutuskan untuk memasukkan Jagga
ke sekolah asrama hingga dewasa. Namun TutiFuti tak meninggalkannya begitu saja.
Tiap ulang tahun, ia mengirimi Jagga rekaman VHS berisi ucapan dan
‘ajaran-ajaran’-nya. Jagga yang punya rasa penasaran tinggi dan daya analisis
superior tumbuh menjadi detektif yang memecahkan kasus-kasus yang terjadi di
sekolahnya. Hingga akhirnya TutiFuti berhenti mengiriminya VHS, Jagga mulai
mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan pria yang sudah dianggapnya
sebagai ayah. Juga yang tak kalah penting, siapa sosok TutiFuti sebenarnya.
Jaggo ditolong oleh seorang reporter wanita yang pernah ditolongnya, Shrutti.
Seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya,
JJ terasa sekali terinspirasi dari sosok Tintin yang legendaris. Lihat saja
desain karakternya yang identik (hanya saja posisi rambut yang diberdirikan
dipindah ke samping), elemen komik sebagai prolog, hingga elemen-elemen visual
beserta treatment-nya, terutama sekali dalam menghadirkan langkah-langkah
investigasi. Klasik, tapi kreativitas dalam menghadirkan kasusnya bikin
penasaran dan harus diakui, bagus.
Film yang bak dibagi menjadi tiga babak
membuatnya terasa seperti tiga episode kisah terpisah yang dirangkai menjadi
satu secara back-to-back. Flow-nya tak selalu berjalan mulus, agak bumpy,
apalagi setelah dimasukkan unsur-unsur musikal yang membuatnya semakin terasa
terbata-bata di beberapa titik. Bahkan di babak terakhir, pace-nya terasa lebih
terburu-buru (tapi terlalu banyak yang terjadi) ketimbang babak-babak
sebelumnya yang mengalir lebih nyaman.
Untung saja unsur musikal dan juga gabungan
visualisasi a la drama panggung menjadi daya tarik tersendiri dan membuatnya
terkesan unik dan tak henti-hentinya menghibur. Kehadiran musikal pun menjadi
masuk akal karena sosok Jagga yang digambarkan gagap dan bisa berkata-kata
lancar jika dinyanyikan. Tentu tak perlu meragukan kualitas Pritam dalam
menggubah sekaligus menulis lirik-lirik indah (in this case, juga witty) sesuai
kebutuhan-kebutuhan adegan (apalagi didukung tata suara yang memaksimalkan
fasiliatas surround untuk memperkuat kesan sinematik), koreografi Shiamak
Dawar, ditambah sinematografi Ravi Varman yang menjadikan tiap shot-nya terasa
sangat sinematik membingkai desain produksi berwarna-warni vibrant di berbagai
latar eksotis, mulai Manipur hingga Moombaka, Maroko), beserta visual effect
yang agaknya dibuat tidak begitu mulus agar terkesan komikal.
Durasi yang mencapai 162 menit memang terlalu
panjang, apalagi dengan kemasan bak tiga episode dirangkai menjadi satu film
yang berpotensi melelahkan. Namun kepiawaian naskah mampu secara terus-menerus
memancing rasa penasaran penonton hingga ending. Tak boleh diabaikan pula
kepiawaian Anurag dalam membangun adegan emosional antara ayah dan anak yang
sekali lagi, berhasil menyentuh, di sela-sela gelaran humor-humor slapstick (a
la Tintin dan sedikit Amélie) yang
disebar cukup merata sepanjang film.
Ranbir Kapoor lagi-lagi membuktikan diri
bahwa dirinya adalah aktor multitalenta yang bisa memerankan karakter
senyentrik apapun. Jagga Jasoos mungkin bukan karakter dengan tingkat
eksentrisme yang tinggi, tapi penggambaran karakternya cukup detail dengan
perkembangan emosi dan kepribadian yang juga tidak main-main. Mulai kekanakan,
lugu dengan curiosity yang tinggi, hingga punya keberanian tinggi untuk
beraksi. Namun itu semua tampaknya tak jadi masalah bagi Ranbir. Tiap babak
perkembangan karakter dan momentum-momentum emosional dibawakan dengan begitu
maksimal olehnya. Termasuk chemistry yang dibangunnya, terutama dengan Saswata
Chatterjee yang memerankan sosok TutiFuti Badal Bagchi. Saswata sendiri punya
kharisma yang lebih dari cukup untuk menghidupkan karakter ‘nyentrik’-nya
menjadi lebih simpatik. Katrina Kaif masih kerap terlihat datar, tapi untung
saja tidak diberi porsi-porsi yang mengharuskannya tampil lebih kuat.
Setidaknya dengan porsi komedik yang lebih mendominasi, ia terlihat lebih
menarik dalam menghidupkan peran Shrutti. Saurabh Shukla membuat karakter
antagonis komikal menjadi pencuri perhatian di balik porsi yang sebenarnya tak
banyak. Terakhir, favorit saya adalah pemeran Jagga cilik yang tak hanya tampil
menggemaskan di balik keluguannya, tapi juga menampilkan benang merah yang
sejalan dengan karakter yang sudah digariskan Ranbir (atau sebaliknya?).
Pace dan penyusunan gambar kerap terasa bumpy
(namun setidaknya editing Ajay Sharma masih berhasil untuk urusan visual
style), tapi JJ masih menjadi suguhan sinematik yang unik dengan menggabungkan
tema teka-teki detektif dengan musikal. Tentu tak semua orang bisa cocok dengan
perpaduan ini. Belum lagi universe fantasi yang dibangun Anurag (meski mencoba menggabungkannya dengan kejadian
nyata kasus penjatuhan senjata tentara Purulia sebagai latar)
Lihat data film ini di IMDb.