The Jose Flash Review
Jagga Jasoos
[जग्गा जासूस]


Di sinema Hindi, nama Anurag Basu termasuk salah satu sutradara yang disegani. Tak hanya punya kualitas di atas rata-rata, tapi juga tak jarang menjadi box office, baik di rumah sendiri maupun secara internasional. Di antaranya yang paling populer, Kites dan Barfi!. Persembahan terbaru darinya adalah sebuah perpaduan unik antara kisah detektif a la Tintin dengan treatment musikal khas sinema Hindi. Proyek lanjutan antara Anurag dan Ranbir setelah Barfi! bertajuk Jagga Jasoos (JJ - Inggris: Detective Jagga) ini sebenarnya sudah dipersiapkan sejak tahun 2013, tapi perjalanan produksinya jauh dari kata mulus. Mulai faktor keretakan hubungan asmara antara kedua pemeran utamanya, Ranbir Kapoor dan Katrina Kaif, hingga peran ayah Jagga yang awalnya (bahkan sempat menjalani syuting) diperankan Govinda akhirnya diganti oleh Saswata Chatterjee (Kahaani). Banyaknya lokasi syuting yang digunakan, mulai Daarjeling, Thailand, Moroko, hingga Cape Town, Afrika Selatan, turut mempengaruhi lamanya proses pengambilan gambar. Jadwal tayang yang sedianya diset 2015, lalu mundur menjadi November 2016, dan akhirnya Juli 2017, termasuk proses re-shot beberapa adegan.

Makin malang, hasil box office JJ di rumah sendiri agaknya kurang menggembirakan. Ditambah pula kasus salah satu pemeran pendukungnya, Bidisha Bezabaruah (membawakan tarian Bihu khas Assam bersama Katrina), yang ditemukan gantung diri di apartemennya di Gurgaon. Padahal konsep JJ ini sebenarnya sangat menarik untuk dikembangkan menjadi sebuah franchise.
Lahir sebagai anak yatim piatu, Jagga dirawat di sebuah panti asuhan. Ia menjadi pendiam karena malu mengidap gagap. Takdir mempertemukannya dengan TutiFuti, seorang pria setengah baya yang terluka dan ditolongnya untuk dirawat di panti asuhan. Setelah pulih, TutiFuti mengangkatnya menjadi anak dan mengajarinya menggunakan nyanyian sebagai ganti berkata-kata agar lebih lancar.
Kebahagiaannya tak berlangsung lama. TutiFuti dikejar-kejar oleh pihak tak dikenal hingga memutuskan untuk memasukkan Jagga ke sekolah asrama hingga dewasa. Namun TutiFuti tak meninggalkannya begitu saja. Tiap ulang tahun, ia mengirimi Jagga rekaman VHS berisi ucapan dan ‘ajaran-ajaran’-nya. Jagga yang punya rasa penasaran tinggi dan daya analisis superior tumbuh menjadi detektif yang memecahkan kasus-kasus yang terjadi di sekolahnya. Hingga akhirnya TutiFuti berhenti mengiriminya VHS, Jagga mulai mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan pria yang sudah dianggapnya sebagai ayah. Juga yang tak kalah penting, siapa sosok TutiFuti sebenarnya. Jaggo ditolong oleh seorang reporter wanita yang pernah ditolongnya, Shrutti.
Seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, JJ terasa sekali terinspirasi dari sosok Tintin yang legendaris. Lihat saja desain karakternya yang identik (hanya saja posisi rambut yang diberdirikan dipindah ke samping), elemen komik sebagai prolog, hingga elemen-elemen visual beserta treatment-nya, terutama sekali dalam menghadirkan langkah-langkah investigasi. Klasik, tapi kreativitas dalam menghadirkan kasusnya bikin penasaran dan harus diakui, bagus.
Film yang bak dibagi menjadi tiga babak membuatnya terasa seperti tiga episode kisah terpisah yang dirangkai menjadi satu secara back-to-back. Flow-nya tak selalu berjalan mulus, agak bumpy, apalagi setelah dimasukkan unsur-unsur musikal yang membuatnya semakin terasa terbata-bata di beberapa titik. Bahkan di babak terakhir, pace-nya terasa lebih terburu-buru (tapi terlalu banyak yang terjadi) ketimbang babak-babak sebelumnya yang mengalir lebih nyaman.
Untung saja unsur musikal dan juga gabungan visualisasi a la drama panggung menjadi daya tarik tersendiri dan membuatnya terkesan unik dan tak henti-hentinya menghibur. Kehadiran musikal pun menjadi masuk akal karena sosok Jagga yang digambarkan gagap dan bisa berkata-kata lancar jika dinyanyikan. Tentu tak perlu meragukan kualitas Pritam dalam menggubah sekaligus menulis lirik-lirik indah (in this case, juga witty) sesuai kebutuhan-kebutuhan adegan (apalagi didukung tata suara yang memaksimalkan fasiliatas surround untuk memperkuat kesan sinematik), koreografi Shiamak Dawar, ditambah sinematografi Ravi Varman yang menjadikan tiap shot-nya terasa sangat sinematik membingkai desain produksi berwarna-warni vibrant di berbagai latar eksotis, mulai Manipur hingga Moombaka, Maroko), beserta visual effect yang agaknya dibuat tidak begitu mulus agar terkesan komikal.
Durasi yang mencapai 162 menit memang terlalu panjang, apalagi dengan kemasan bak tiga episode dirangkai menjadi satu film yang berpotensi melelahkan. Namun kepiawaian naskah mampu secara terus-menerus memancing rasa penasaran penonton hingga ending. Tak boleh diabaikan pula kepiawaian Anurag dalam membangun adegan emosional antara ayah dan anak yang sekali lagi, berhasil menyentuh, di sela-sela gelaran humor-humor slapstick (a la Tintin dan sedikit Amélie) yang disebar cukup merata sepanjang film.
Ranbir Kapoor lagi-lagi membuktikan diri bahwa dirinya adalah aktor multitalenta yang bisa memerankan karakter senyentrik apapun. Jagga Jasoos mungkin bukan karakter dengan tingkat eksentrisme yang tinggi, tapi penggambaran karakternya cukup detail dengan perkembangan emosi dan kepribadian yang juga tidak main-main. Mulai kekanakan, lugu dengan curiosity yang tinggi, hingga punya keberanian tinggi untuk beraksi. Namun itu semua tampaknya tak jadi masalah bagi Ranbir. Tiap babak perkembangan karakter dan momentum-momentum emosional dibawakan dengan begitu maksimal olehnya. Termasuk chemistry yang dibangunnya, terutama dengan Saswata Chatterjee yang memerankan sosok TutiFuti Badal Bagchi. Saswata sendiri punya kharisma yang lebih dari cukup untuk menghidupkan karakter ‘nyentrik’-nya menjadi lebih simpatik. Katrina Kaif masih kerap terlihat datar, tapi untung saja tidak diberi porsi-porsi yang mengharuskannya tampil lebih kuat. Setidaknya dengan porsi komedik yang lebih mendominasi, ia terlihat lebih menarik dalam menghidupkan peran Shrutti. Saurabh Shukla membuat karakter antagonis komikal menjadi pencuri perhatian di balik porsi yang sebenarnya tak banyak. Terakhir, favorit saya adalah pemeran Jagga cilik yang tak hanya tampil menggemaskan di balik keluguannya, tapi juga menampilkan benang merah yang sejalan dengan karakter yang sudah digariskan Ranbir (atau sebaliknya?).
Pace dan penyusunan gambar kerap terasa bumpy (namun setidaknya editing Ajay Sharma masih berhasil untuk urusan visual style), tapi JJ masih menjadi suguhan sinematik yang unik dengan menggabungkan tema teka-teki detektif dengan musikal. Tentu tak semua orang bisa cocok dengan perpaduan ini. Belum lagi universe fantasi yang dibangun Anurag (meski mencoba menggabungkannya dengan kejadian nyata kasus penjatuhan senjata tentara Purulia sebagai latar)
 
Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.