4/5
Asia
Based on Book
Drama
Franchise
Friendship
Indonesia
Pop-Corn Movie
Romance
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Filosofi Kopi The Movie 2:
Ben & Jody
Sebagai salah satu negara
penghasil sekaligus supplier kopi terbesar di dunia (nomor 4, menurut
WorldAtlas), layak jika Indonesia mengangkatnya dalam sebuah karya
audio-visual. Filosofi Kopi The Movie
(FKTM) yang diangkat dari cerpen karya Dewi Lestari dan dirilis tahun 2015 lalu
berhasil menjadikan ‘kopi’ tak hanya sebagai latar belakang kisah persahabatan
dan asmara, tapi juga menjadikannya filosofi yang berhubungan erat dengan
kehidupan manusia. Karena potensi pengembangan kisah yang cukup besar, Visinema
selaku produsen mengadakan sayembara penulisan premise kelanjutan kisah Ben
& Jody, dua karakter utamanya. Hasilnya kemudian ‘diracik’ oleh tim penulis
naskah dari film pertamanya, Angga Dwimas Sasongko sendiri (yang juga merangkap
sutradara dan produser eksekutif), Jenny Jusuf, ditambah M. Irfan Ramly yang
pernah terlibat penulisan naskah Cahaya
dari Timur: Beta Maluku dan Surat
dari Praha, produksi Visinema juga. Duo karakter utamanya masih diisi oleh
Chicco Jerikho dan Rio Dewanto, dengan penambahan Luna Maya, Nadine Alexandra,
serta sederetan cameo yang turut menyemarakkan sekuel bertajuk Filosofi Kopi The Movie 2: Ben & Jody
(B&J).
Melanjutkan ending FKTM,
Filosofi Kopi menutup kedai fisiknya dan memilih berjualan keliling dengan
mobil combi. Tujuannya, menyebarkan Filosofi Kopi seluas mungkin di seluruh
penjuru Nusantara. Namun rupanya cara ini tak bisa memuaskan semua pihak ketika
satu per satu kru mengundurkan diri karena urusan pribadi masing-masing. Ben
pun berpikir sampai kapan mereka akan terus berkeliling.
Keduanya memutuskan untuk
kembali membuka kedai fisik Filosofi Kopi. Karena kedai lama sudah dijual
dengan harga jual kembali yang melambung, Ben dan Jody mencari investor untuk
membuka kembali kedai Filosofi Kopi. Bahkan ekspansi yang lebih luas lagi.
Takdir mempertemukan mereka
dengan Tarra, seorang wanita muda yang tertarik untuk berinvestasi sekaligus
belajar tentang kopi lebih dalam. Diam-diam Ben menaruh hati padanya. Sebelum
akhirnya dia menemukan fakta pahit tentang identitas Tarra.
Masih ditambah kehadiran Brie,
barista muda yang serba presisi dalam hal takaran, yang mana jelas bertentangan
dengan Ben yang lebih percaya insting dalam meracik kopi. Konflik-konflik yang
dihadapi Ben ini pun mau tak mau mempengaruhi persahabatan yang sudah
dijalinnya selama berpuluh-puluh tahun bersama Jody.
Jika FKTM pertama meletakkan
pondasi tentang persahabatan, asmara, bisnis, passion, dan filosofi kopi yang
punya kaitan erat dengan keduanya, maka B&J mengembangkan apa yang telah
terbangun sejak awal. Konflik yang dihadirkan pun sebenarnya tetap sama, tapi
tentu saja lebih kompleks, sebagaimana di kehidupan sehari-hari. Karakterisasi
Ben dan Jody semakin dipertajam sehingga menjadikan konfliknya pun ikut
meruncing. Naskah pun tak melupakan perubahan-perubahan yang juga selalu
terjadi dalam hidup, bahkan ketika merasa sudah pada titik ideal. Ini jelas
tergambar sejak awal film ketika impian tak bisa selamanya berlangsung. Ada
saat dimana harus berkompromi dengan realita. Begitu pun soal asmara dan passion
yang selalu bisa berubah-ubah dan datangnya tak bisa tertebak. Konsep ini
secara konstan dihadirkan hingga akhir film yang memberikan konklusi, termasuk
persahabatan Ben dan Jody yang tidak harus selamanya ‘together forever’. Tentu,
ini pun merupakan representasi kedewasaan karakter-karakternya sekaligus
pengembangan plot-nya. Filosofi Kopi tak lagi hanya sebuah filosofi semata,
tapi juga tantangan untuk diterapkan karakter-karakternya di kehidupan nyata.
Terakhir, tak lupa pula B&J
menyelipkan pilgrimage (ziarah) terhadap kopi, terutama Nusantara, sebagai
latar-latar adegannya. Mulai Lampung (yang sudah pernah ditampilkan di film
pertamanya), Toraja, Kopi Ujung a la Makassar, Kopi Joss a la Jogja, hingga
Kopi Es Tak Kie di Jakarta. Menjadikan B&J semacam sebuah paket lengkap
traveling kopi.
Konflik yang makin kompleks
membuat B&J tak bisa mengalir sesederhana dan se-memorable FKTM. Tentu
kenyamanan mengikuti plot dan duration-wise harus lebih diutamakan (ini
nantinya juga berpengaruh pada jumlah show per hari dan perolehan jumlah
penonton). Namun terlihat sekali upayanya untuk menjaga feel dan taste di tiap
kesempatan tetap terjaga. Ini tentu berkat insting Angga dalam meng-create
adegan-adegan bernyawa dengan balutan elemen-elemen pendukung yang menjadikannya
jauh lebih ‘hidup’, terutama berkat musical score dari McAnderson yang tak
hanya sekedar mengulangi dan melanjutkan score-score senada dari film pertama,
tapi juga sedikit bereksperimen dalam penggunaan bunyi-bunyian, termasuk yang
bernuansa etnik sebagaimana salah satu tema yang diusung B&J.
Melanjutkan peran dari film
pertama, Chicco Jerikho dan Rio Dewanto masih tampil konsisten. Malahan terasa
semakin solid dan tajam ketika dihadapkan pada momen yang lebih kompleks. Porsi
Chicco sebagai Ben terasa paling menonjol, termasuk dibandingkan Rio sebagai
Jody. Namun ketika dianalisis lebih jauh, karakter Jody pun punya peran yang
tak kalah penting. Luna Maya sebagai Tarra dan Nadine Alexandra sebagai Brie
pun menjadi pendukung yang tak kalah menonjolnya. Luna berkat pesona dan aura
kebintangannya yang sama sekali tak pudar, ditambah performa akting dengan
emosional natural yang dengan mudah mengundang simpati penonton, sementara
Nadine lewat kemisteriusan karakter yang bikin penasaran dan in the end, charming.
Melissa Karim sebagai Cici dari
Jody mendapatkan porsi yang bertambah, diikuti performa akting yang juga
semakin bold sesuai kebutuhan karakternya. Sementara dukungan dari Ernest
Prakasa, Tyo Pakusadewo, Dayu Wijanto, Landung Simatupang, Joko Anwar, Jenny
Jusuf sendiri, Westny DJ, Aufa Assegaf (pernah tampil di Cahaya dari Timur: Beta Maluku), Muhammad Aga (barista asli), cukup
memberikan impresi dan memorable. Tak lupa pula, Otig Pakis yang menyumbangkan
momen paling emosional tanpa harus berdialog.
Sinematografi Robie Taswin
menghadirkan shot-shot dan pergerakan kamera yang terasa lebih sinematis dan
efektif dalam bercerita maupun ber-emosi dibandingkan film pertamanya.
Sementara editing Teguh Raharjo cukup berhasil menjaga pace cerita dalam durasi
yang pas, kendati secara keseluruhan kerap terasa bak fragmen-fragmen yang tak
semenyatu dan semengalir FKTM. Artistik Benny Lauda makin detail dan beragam
dengan melibatkan kekhasan tiap daerah yang ditampilkan. Tata kostum Anggia
Kharisma pun terlihat makin ikonik, ditambah koleksi dari Luna Habit by Luna
Maya yang selalu terlihat outstanding. Terakhir, salah satu komponen yang
paling penting dalam keseluruhan kemasan FKTM; pemilihan soundtrack yang tak
hanya faktor sound tapi juga lirik yang ‘nyambung’, seperti dari Robi Navicula,
Banda Neira, FSTVLST, dan Leanna Rachel, along with McAnderson’s musical score.
Secara keseluruhan B&J
memang terasa lebih ‘buru-buru’ dan tidak semenyatu pun semengalir FKTM
pertama. Kompleksitas cerita dan kepentingan durasi mungkin menjadi faktornya.
Namun bak kopi, ke-‘pekat’-annya dalam hal taste keseluruhan elemen yang terasa
makin meningkat, teknis yang makin mumpuni, performa yang mengagumkan, serta
kepiawaian Angga dalam membangun adegan-adegan ‘hidup’ dan ber-emosi, berhasil
menutupinya. Toh, salah satu esensi film yang disampaikan adalah tentang
kompromi, bukan?
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.