4/5
Drama
Europe
Indie
Philosophical
Psychological
Survival
The Jose Flash Review
Thriller
War
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Mine
Apa yang akan Anda lakukan jika tak sengaja menginjak ranjau
darat? Apakah Anda akan terus berdiam sampai pertolongan datang atau segera
menjauh sehingga setidaknya kerusakan yang diakibatkan oleh ranjau bisa
diminimalisir? Pertanyaan ‘what if’ itulah yang coba disodorkan oleh duo asal
Italia, Fabio Guaglione dan Fabio Resinaro yang bekerja sama menyusun naskah
sekaligus menyutradarai film layar lebar pertama mereka bertajuk Mine setelah E:D:E:N (2004), The Silver
Rope (2006), dan Y/N: You Lie, You
Die (2012). Memanfaatkan konsep satu lokasi setting dan minim karakter, Mine seolah seperti film indie berbudget
murah, tapi tak boleh diremehkan begitu saja dengan dukungan cast dari Armie
Hammer, Annabelle Wallis, dan Tom Cullen.
Mike Stevens, seorang anggota marinir Amerika Serikat
ditugaskan untuk mengeksekusi salah satu terduga teroris di Afrika Utara.
Melihat keadaan, ia membatalkan misi tersebut. Saat perjalanan menuju desa
terdekat yang disepakati sebagai titik temu, ia dan partnernya, Tommy Madison,
justru terjebak di padang pasir yang ternyata juga merupakan lading ranjau
darat. Tak sengaja menginjak salah satu ranjau, Mike memutuskan untuk terus
berdiam di tempat agar tidak meledak, sementara bantuan baru bisa datang
sekitar 50 jam ke depan. Dengan berbagai akal dan cara, Mike berusaha bertahan
hidup tanpa bisa bergerak secara signifikan jika tak mau tubuhnya hancur
berantakan karena ledakan ranjau.
Bagi saya, selalu menarik mengikuti film thriller minimalis
yang mana hanya ada satu atau dua karkater yang terjebak di satu tempat
tertentu. Let’s say semacam Phone Booth,
Saw, Buried, dan yang rilis nyaris bersamaan dengan Mine di Indonesia, The Wall.
Mine secara otomatis menjadi salah
satu film favorit saya sepanjang masa di konsep film sejenis.
Mari kita mulai dari bagaimana duo Fabio menangani momen
was-was dan ketegangan demi ketegangan dengan begitu heart-pounding.
Momentumnya selalu tepat sasaran, thanks to editing Matteo Santi, Fabio
Guaglione, dan Filippo Mauro Boni, termasuk untuk match-editing yang stylish
dan tepat guna. Sinematografi Sergi Vilanova pun mengeksplorasi setting
sekaligus emosi dengan sangat maksimal. Satu setting lokasi saja tak lantas
membuat Mine terasa monoton. Namun yang
terpenting, ia juga berhasil menyampaikan tiap detail adegan dengan visualisasi
yang jelas dan emosi yang juga terpancar maksimal. Dengarkan juga detail sound
design yang terdengar begitu clear, crispy, dan pembagian kanal surround yang
maksimal (itulah mengapa saya menyarankan untuk menyaksikan Mine di teater dengan fasilitas
audio-visual yang mumpuni). Tak ketinggalan score music Luca Balboni dan Andrea
Bonini yang memancarkan eksotisme saat memberi ‘rasa’ lebih sesuai kebutuhan
momen dan emosi.
Elemen lain yang membuat saya begitu jatuh hati pada Mine adalah esensi utamanya yang mungkin
bagi beberapa penonton sangat ‘menipu’ dan ‘buang-buang waktu’, tapi jika mau
direfleksikan lebih lanjut, sangat valuable. Tak hanya soal ‘fakta atau
kepercayaan’ (ini juga sebenarnya tak benar-benar ‘menipu’ jika Anda jeli
membaca tiap detail adegan-adegan sebelumnya. So it’s definitely something
well-designed, not just coming out of nowhere), tapi juga soal ‘mending mana’;
berdiam diri di tempat agar tak meledak dengan resiko tak ada bantuan datang
dalam waktu dekat, yang mana ada ancaman kelaparan, kehausan, dan kekeringan
yang juga akan berbuntut pada kematian. Atau memilih untuk bergerak dengan resiko
sebagian anggot tubuh hancur tapi ada kesempatan untuk selamat karena masih
mampu menuju ke desa terdekat.
Kemudian ternyata masih ada ‘kejutan’ lain berupa filosofi
yang punya kaitan erat terhadap kepribadian karakter Mike Stevens secara
keseluruhan sepanjang film. Tak hanya lewat perkembangan karakter, tapi juga
sekaligus dimanifestasikan secara visual yang semakin diperjelas dengan teknik
match-editing. Sisipan filosofi ini mungkin masuk dengan cara yang kurang
mulus, tapi tetap merupakan sesuatu yang istimewa, terlebih di ranah konsep
treatment-nya. Menjadikan Mine tak
sekedar another one-man-stuck-in-a-place thriller yang mendebarkan semata, tapi
ada pembangunan konsep dan esensi yang tak kalah menariknya bagi saya. Kendati
ada kritik yang mem-bash karena penggambaran bagaimana cara kerja ranjau darat
yang salah (sebagaimana juga penggambaran yang dilakukan film-film Hollywood
kebanyakan), saya masih bisa memakluminya atas nama pergerakan cerita sekaligus
medium penyampaian value-value-nya, dan tak merubah kekaguman maupun kecintaan
saya terhadap Mine.
Mendominasi porsi, Armie Hammer memberikan performa yang
all-out. Tiap detail gesture-nya menyampaikan emosi terdalam, termasuk yang
terkait masa lalunya. Sulit untuk membuat penonton tak bersimpati terhadap
karakternya. Tom Cullen pun mendukung dengan cukup memorable lewat karakter
Tommy Madison. Namun favorit saya tentu saja Clint Dyer sebagai pria suku
Berber yang punya kharisma begitu kuat nan bersahaja, along with the little
girl, Inés Píñar Mille. Sayang, Annabelle Wallis sebagai tunangan Mike, Jenny
(trivia: nama karakter yang dimainkannya di sini sama dengan nama karakter yang
ia mainkan di The Mummy versi 2017.
Keduanya tayang di waktu yang nyaris bersamaan) tak punya banyak porsi untuk
menjadi lebih menarik lagi.
Di tipe treatment-nya, Mine
adalah film yang eksepsional. Ada elemen-elemen tambahan yang menarik, yang
membuatnya tak sekedar menjadi thriller yang mendebarkan semata. Jika Anda
masih ingin daya tarik lain lagi dari Mine,
konon ada teori yang menyebutkan bahwa ending sebenarnya juga merupakan
metafora, bukan hanya yang tampak dari permukaan terluarnya saja. Well, it’s
just a theory. Keputusan mana yang akan dipercaya tergantung dari Anda sendiri.
Manapun yang benar, Mine tetap menjadi
film yang menarik untuk disimak dan didiskusikan.
Lihat data film ini di IMDb.