4/5
Animation
anime
Asia
Based on Book
Drama
Family
Humanity
Japan
Psychological
Romance
Socio-cultural
The Jose Flash Review
War
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
In This Corner of the World
[この世界の片隅に]
Berbeda dengan kebanyakan animasi dari negara-negara lain,
anime Jepang seringkali tak segan-segan mengangkat tema-tema berat, kelam, dan
dewasa. Tak terkecuali menyangkut Perang Dunia II. Studio animasi sekelas
Ghibli pernah mengangkatnya lewat Hotaru
no haka atau judul internasionalnya, Grave
of the Fireflies (1988). Pada tema dan pendekatan yang tak berbeda jauh,
MAPPA mengadaptasi manga berjudul Kono
Sekai no Katasumi ni atau judul internasionalnya, In This Corner of the World (ITCotW) ke anime layar lebar.
Disutradarai oleh Sunao Katabuchi (Upon
The Planet, Princess Arete, Mai Mai Miracle), dengan budget ¥
250 juta (sekitar US$ 2.2 juta) berhasil mengumpulkan ¥ 2.5 milyar (sekitar US$ 22.5 juta)
hingga Maret 2017 lalu. Belum lagi berbagai penghargaan film nasional maupun
internasional yang berhasil diraihnya. Penggemar anime di Indonesia boleh lega
karena tayang resmi di bioskop-bioskop non-XXI Indonesia oleh distributor
Moxienotion.
Suzu adalah seorang gadis lugu yang tigngal di sebuah kota
tepi laut bernama Eba di Hiroshima. Ketika menginjak usia 18 tahun, seorang
pria bernama Shūsaku meminangnya dan mengajaknya untuk tinggal di kota
pelabuhan angkatan laut bernama Kure. Ketika beradaptasi dengan keluarga
suaminya, pecahlah Perang Pasifik yang mempengaruhi kehidupan para warga. Tak
terkecuali Suzu. Seperti harus berkali-kali berlindung di dalam shelter bawah
tanah dan mengantre untuk menerima bantuan bahan pangan. Keadaan keluarganya di
Hiroshima pun tak kalah mengenaskan, terutama setelah dibom atom oleh Sekutu.
Nasib ia dan keluarganya pun menjadi terombang-ambing.
Sama seperti Grave of
the Fireflies, ITCotW juga mengulik dampak Perang Dunia II terhadap warga
sipil yang tak berdosa, bahkan dari kacamata lugu seperti Suzu. Bedanya, ITCotW
cukup banyak menceritakan perkembangan kondisi psikologis Suzu sejak kecil
dengan detail-detail yang punya andil besar dalam perkembangan selanjutnya.
Begitu pula interaksi dengan karakter-karakter lainnya yang membuat character
investment punya dampak lebih kuat ketika mencapai momennya (terutama dengan
karakter Harumi). Detail latar plotnya pun tak main-main. Lihat bagaimana
kondisi sosial yang bisa dengan jelas dipahami secara visual dan yang
terpenting, berhasil menyentuh hati nurani. Memang secara keseluruhan nuansa film
lebih terasa suram, depresif, dan bahkan kejam. Tapi kemasan terluarnya
tetaplah warna-warni khas anime dengan taburan humor-humor lugu di banyak
kesempatan. Cukup memberi keseimbangan keceriaan di tengah nuansa depresifnya.
Sayangnya tak jarang pula detail adegan kronologis yang
kelewat tak penting dimunculkan. Lebih mengganggu lagi, berupa footage-footage
pendek dengan transisi berupa fade-to-black. To be honest, tak jarang cukup
berpengaruh terhadap kenyamanan mengikuti kesatuan emosi yang runtut. Untung,
kisah perjalanan hidup Suzu secara keseluruhan masih tersusun secara koheren
sehingga penanaman emosi penonton tergolong berhasil dilakukan secara maksimal.
Mungkin emosi penonton akan diaduk-aduk sepanjang film, tapi akhirnya ditutup
dengan sebuah harapan tentang keluarga yang begitu hangat. Tak ada ‘luka’
tambahan yang memperparah ‘luka’ sebelumnya yang terlanjur dihadirkan di
pertengahan.
Jajaran voice talent-nya memberikan emosi yang sesuai dengan
kebutuhan cerita maupun nuansa film. Seperti Non yang mengisi suara Suzu,
Minori Omi sebagai Keiko, Yoshimasa Hosoya sebagai Shūsaku, dan yang paling
menjadi favorit saya, Natsuki Inaba sebagi si cilik, Harumi.
Tak perlu mempertanyakan kualitas animasi yang seperti anime
kebanyakan, bak lukisan-lukisan indah. Pergerakan yang cukup mulus di teknik
animasi tradisionalnya, begitu juga pemilihan angle-angle shot, pergerakan
kamera, serta detail yang luar biasa. Tata suara pun tergarap dengan mumpuni.
Dengarkan saja power-nya di adegan-adegan perang yang juga tertata tepat lewat
kanal-kanal surround. Tak ketinggalan musik dari Kotringo yang begitu
menghidupkan tiap emosi dan nuansa yang coba dihadirkan, dengan keseimbangan
yang terjaga baik. Tak kelewat depresif tapi juga tak mengurangi emotion
engagement-nya terhadap penonton.
ITCotW mungkin kurang cocok untuk disaksikan oleh penonton
kecil. Selain nuansa yang kelam dan depresif, detail psikologis para karakter
dan kondisi sosial yang ditampilkan mungkin akan sulit dipahami, bahkan
beberapa terasa kurang appropriate. Namun jika Anda termasuk penggemar anime
(terutama yang bergaya seperti Ghibli Studio) dan kisah sejarah, kesempatan
menyaksikan ITCotW di layar bioskop sungguh sayang untuk dilewatkan begitu
saja.
Lihat data film ini di IMDb.