The Jose Flash Review
In This Corner of the World
[この世界の片隅に]


Berbeda dengan kebanyakan animasi dari negara-negara lain, anime Jepang seringkali tak segan-segan mengangkat tema-tema berat, kelam, dan dewasa. Tak terkecuali menyangkut Perang Dunia II. Studio animasi sekelas Ghibli pernah mengangkatnya lewat Hotaru no haka atau judul internasionalnya, Grave of the Fireflies (1988). Pada tema dan pendekatan yang tak berbeda jauh, MAPPA mengadaptasi manga berjudul Kono Sekai no Katasumi ni atau judul internasionalnya, In This Corner of the World (ITCotW) ke anime layar lebar. Disutradarai oleh Sunao Katabuchi (Upon The Planet, Princess Arete, Mai Mai Miracle), dengan budget ¥ 250 juta (sekitar US$ 2.2 juta) berhasil mengumpulkan ¥ 2.5 milyar (sekitar US$ 22.5 juta) hingga Maret 2017 lalu. Belum lagi berbagai penghargaan film nasional maupun internasional yang berhasil diraihnya. Penggemar anime di Indonesia boleh lega karena tayang resmi di bioskop-bioskop non-XXI Indonesia oleh distributor Moxienotion.

Suzu adalah seorang gadis lugu yang tigngal di sebuah kota tepi laut bernama Eba di Hiroshima. Ketika menginjak usia 18 tahun, seorang pria bernama Shūsaku meminangnya dan mengajaknya untuk tinggal di kota pelabuhan angkatan laut bernama Kure. Ketika beradaptasi dengan keluarga suaminya, pecahlah Perang Pasifik yang mempengaruhi kehidupan para warga. Tak terkecuali Suzu. Seperti harus berkali-kali berlindung di dalam shelter bawah tanah dan mengantre untuk menerima bantuan bahan pangan. Keadaan keluarganya di Hiroshima pun tak kalah mengenaskan, terutama setelah dibom atom oleh Sekutu. Nasib ia dan keluarganya pun menjadi terombang-ambing.
Sama seperti Grave of the Fireflies, ITCotW juga mengulik dampak Perang Dunia II terhadap warga sipil yang tak berdosa, bahkan dari kacamata lugu seperti Suzu. Bedanya, ITCotW cukup banyak menceritakan perkembangan kondisi psikologis Suzu sejak kecil dengan detail-detail yang punya andil besar dalam perkembangan selanjutnya. Begitu pula interaksi dengan karakter-karakter lainnya yang membuat character investment punya dampak lebih kuat ketika mencapai momennya (terutama dengan karakter Harumi). Detail latar plotnya pun tak main-main. Lihat bagaimana kondisi sosial yang bisa dengan jelas dipahami secara visual dan yang terpenting, berhasil menyentuh hati nurani. Memang secara keseluruhan nuansa film lebih terasa suram, depresif, dan bahkan kejam. Tapi kemasan terluarnya tetaplah warna-warni khas anime dengan taburan humor-humor lugu di banyak kesempatan. Cukup memberi keseimbangan keceriaan di tengah nuansa depresifnya.
Sayangnya tak jarang pula detail adegan kronologis yang kelewat tak penting dimunculkan. Lebih mengganggu lagi, berupa footage-footage pendek dengan transisi berupa fade-to-black. To be honest, tak jarang cukup berpengaruh terhadap kenyamanan mengikuti kesatuan emosi yang runtut. Untung, kisah perjalanan hidup Suzu secara keseluruhan masih tersusun secara koheren sehingga penanaman emosi penonton tergolong berhasil dilakukan secara maksimal. Mungkin emosi penonton akan diaduk-aduk sepanjang film, tapi akhirnya ditutup dengan sebuah harapan tentang keluarga yang begitu hangat. Tak ada ‘luka’ tambahan yang memperparah ‘luka’ sebelumnya yang terlanjur dihadirkan di pertengahan.
Jajaran voice talent-nya memberikan emosi yang sesuai dengan kebutuhan cerita maupun nuansa film. Seperti Non yang mengisi suara Suzu, Minori Omi sebagai Keiko, Yoshimasa Hosoya sebagai Shūsaku, dan yang paling menjadi favorit saya, Natsuki Inaba sebagi si cilik, Harumi.
Tak perlu mempertanyakan kualitas animasi yang seperti anime kebanyakan, bak lukisan-lukisan indah. Pergerakan yang cukup mulus di teknik animasi tradisionalnya, begitu juga pemilihan angle-angle shot, pergerakan kamera, serta detail yang luar biasa. Tata suara pun tergarap dengan mumpuni. Dengarkan saja power-nya di adegan-adegan perang yang juga tertata tepat lewat kanal-kanal surround. Tak ketinggalan musik dari Kotringo yang begitu menghidupkan tiap emosi dan nuansa yang coba dihadirkan, dengan keseimbangan yang terjaga baik. Tak kelewat depresif tapi juga tak mengurangi emotion engagement-nya terhadap penonton.
ITCotW mungkin kurang cocok untuk disaksikan oleh penonton kecil. Selain nuansa yang kelam dan depresif, detail psikologis para karakter dan kondisi sosial yang ditampilkan mungkin akan sulit dipahami, bahkan beberapa terasa kurang appropriate. Namun jika Anda termasuk penggemar anime (terutama yang bergaya seperti Ghibli Studio) dan kisah sejarah, kesempatan menyaksikan ITCotW di layar bioskop sungguh sayang untuk dilewatkan begitu saja.
Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.