The Jose Flash Review
Insya Allah Sah

Hari Raya Lebaran tak afdol rasanya tanpa film yang punya nafas Islami tapi juga bisa dinikmati oleh penonton umum. Maka komedi menjadi medium yang pas untuk ‘berdakwah’ kepada golongan tertentu sekaligus menghibur golongan yang lebih luas. MD Pictures mempersembahkan Insya Allah Sah (IAS) yang diangkat dari novel karya Achi TM (seorang penulis skenario sinetron dan FTV yang sudah menulis 22 novel tapi baru IAS yang diterbitkan oleh penerbit sebesar Gramedia Pustaka Utama) berjudul sama yang diterbitkan pertama kali tahun 2015. Novel yang konon ditulis sebagai upaya terakhir sebelum sempat memutuskan pensiun dari kepenulisan ini segera dikontrak oleh MD untuk diangkat ke layar lebar. Meski akhirnya baru 2017 ini benar-benar diproduksi di bawah penanganan Benni Setiawan (Bukan Cinta Biasa, 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta, Toba Dreams, Love and Faith) selaku sutradara dan penulis naskah adaptasi, dengan dukungan Titi Kamal, Pandji Pragiwaksono, Richard Kyle, dan puluhan cameo yang tersebar di sepanjang film.

Silvi, seorang wanita muda yang sukses dengan bisnis fashion-nya, sedang mengalami bad day ketika hendak menemui kekasihnya, Dion, yang naga-naganya hendak melamar dirinya. Puncaknya, ia terjebak di dalam lift kantor Dion bersama seorang ‘nyentrik’ yang sangat relijius, Raka. Di tengah kepanikan, Silvi pun bernazar untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan soleha jika diberi kesempatan selamat dari lift yang macet tersebut. Tak lama kemudian lift benar-benar terbuka dan Dion melamarnya di depan seisi kantor. Silvi pun melanjutkan gaya hidup seperti biasa dan mulai menyusun persiapan pernikahan tanpa melibatkan wedding organizer. Ternyata kesialan demi kesialan masih terus membuntutinya, bahkan semakin parah menjelang tanggal pernikahan yang semakin dekat. Uniknya, di tiap kesempatan selalu kebetulan muncul Raka yang tak bosan-bosannya mengingatkan Silvi akan nazar-nya ketika terjebak di dalam lift. Perlahan Silvi mulai menjalankan nazar-nya. Namun ketika persiapan pernikahan tinggal selangkah lagi, ujian pilihan terbesar pun muncul: tetap menjalankan nazar-nya atau Dion yang selama ini menjadi tujuan dari setiap upaya yang dilakukannya.

Sebagai sebuah film yang mengandung tujuan ‘dakwah’, tentu tak heran jika IAS menjadi sajian yang preachy, terutama bagi penonton non-muslim. Apalagi dari kemasan terluar, IAS seolah-olah hanya mengasosiasikan Islam sejauh penggunaan hijab. Padahal sebenarnya jauh lebih luas dan mendalam lagi, kendati memang tak bisa dipungkiri pilihan berhijab menjadi salah satu ‘simbol’-nya, yang mana merupakan pemahaman terdasar dan termudah bagi muslimah. Tema terbesarnya adalah tentang nazar, yang mana merupakan janji kepada Yang Di Atas. Se-‘dangkal’ apapun itu, tetap harus dipenuhi. Lantas tema dasar ini dipadukan dengan tema persiapan pernikahan yang menurut kepercayaan budaya kita, selalu ada saja halangannya. Pertemuan dua tema utama ini saja sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk menjadi materi yang menarik untuk diangkat, pun punya relevansi yang cukup besar bagi range penonton yang juga luas.

Benni kemudian memoles penggabungan dua tema ini dengan konsep yang membuatnya semakin ‘berwarna’, terutama karakterisasi Raka yang didesain bak Lloyd Christmas dari Dumb and Dumber. Tentu penggunaan Pandji Pragiwaksono untuk merepresentasikan sosok Raka sangat membantu dalam menghadirkan momen-momen pemancing gelak tawa. Begitu juga reaksi Titi Kamal sebagai Silvi dalam menghadapi kesialan demi kesialan yang sedikit mengingatkan saya akan peran yang dilakoninya di Mendadak Dangdut dan tak kalah sebagai sumber kelucuan. Pun juga Titi memberikan performa yang tak kalah baiknya tatkala harus serius di momen-momen emosionalnya. Sayang, pemilihan Richard Kyle sebagai Dion menjadi turn-off yang sangat mempengaruhi mood dalam mengikuti plotnya. Ia tampak seperti sekedar menghafal dialog dan mendapatkan arahan bagaimana harus berekspresi on the spot at the moment, tanpa memahami kontekstual karakternya secara menyeluruh.

Satu jam pertama IAS menjalankan plotnya dengan energi komedi yang sangat bertenaga, termasuk juga faktor puluhan pemeran pendukung serta cameo dengan porsi dan tingkat memorabilitas yang sama kuat. Mulai Tanta Ginting, trio Joe P Project, Budi Dalton, dan Budi Arab (crossover dengan Bukan Cinta Biasa!), Ira Maya Sopha, pasangan Deddy Mizwar dan Lydia Kandou (reuni Kejarlah Daku Kau Kutangkap!), Ari Tulang, Arie Untung dan Happy Salma, Alexa Key dan Bayu Skak, Ardit Erwandha, Fitri Tropica, Prilly Latuconsina, bahkan sampai Reza Rahadian (nod to Something in the Way?). Sayangnya, terutama sekali di 30 menit selanjutnya, energi IAS kian terasa kelelahan, terutama dari segi komedi sebagai akibat dari repetisi jenis humor dan elemen kesialan yang semakin tak berkorelasi dengan kesialan maupun kejadian sebelumnya, tanpa pengembangan yang lebih jauh (atau lebih imajinatif?) lagi. Wajar jika gelak tawa penonton yang terdengar sangat riuh, mendadak menjadi hening setelah durasi berjalan satu jam. Kemudian ketika turnover kicks-in, IAS benar-benar berubah menjadi drama reliji yang mana unsur preach-nya menjadi dominan dan menyisakan unsur komedinya menjadi kurang dari 10 persen.

Untungnya, IAS tak memberikan tuduhan sempit terhadap mereka yang ‘punya pilihan berbeda’ dalam menjalankan ke-Islam-annya. Ada dialog dimana dengan jelas IAS tak menyalahkan siapa-siapa. Semuanya simply karena perbedaan pilihan. Pilihan yang sebenarnya berlaku universal, yaitu menguji kadar kecintaan dalam menjalin hubungan asmara yang serius dan dewasa. Ia pun tak terjerumus ke dalam cliché di genre sejenis (baca: roman reliji) yang berpotensi menimbulkan celetukan, “what the hell?” atau “Iugh…”, sementara penonton lain akan menganggapnya sebagai salah satu bentuk guyonan. Berbeda dari versi novel yang menurut saya punya ending sangat cliché, IAS versi film tak hanya menghindari cliché, tapi juga punya konklusi yang lebih ‘mendidik’ dan masuk akal.

Sinematografi Ipung Rachmat Syaiful menangkap energy chaotic comedy-nya secara cukup tepat. Musik dari Aghi Narottama dan Bemby Gusti makin mendukung comedic moment-nya menjadi terkesan lebih witty sekaligus sedikit komikal. Tata kostum Jeanne Elizabeth Fam terlihat menonjol terutama untuk Titi Kamal dan tentu saja pilihan bentuk serta warna untuk kostum Raka.

Ya, IAS memang preachy, as it’s intended to be. Namun ia masih berhasil menghadirkan komedi-komedi situasional dan komikal yang mengundang gelak tawa sebagai kemasan terluarnya. Juga setidaknya tidak menjadi kelewat judgmental secara dangkal. Terasa kelelahan selepas satu jam pertama, tapi editing Cesa David Luckmansyah dan Indra W. Kurnia masih mampu sedikit menutupinya sehingga tak sampai terjerumus semakin membosankan dan masih bisa menjaga pace yang dibangun sejak awal. Bisa jadi sajian chaotic comedy yang jauh lebih konsisten dan membungkus tujuan dakwah-nya secara lebih halus. Namun sebagai film Lebaran, IAS masih sangat layak dan cocok untuk ditonton bersama pasangan. Apalagi jika hendak melangkah ke jenjang yang lebih tinggi lagi.

Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.
Diberdayakan oleh Blogger.