3/5
Asia
Based on Book
Comedy
Drama
Film Lebaran
fucked up comedy
Indonesia
Marriage
mature relationship
Pop-Corn Movie
religious
Romance
Socio-cultural
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Insya Allah Sah
Hari Raya Lebaran tak afdol
rasanya tanpa film yang punya nafas Islami tapi juga bisa dinikmati oleh
penonton umum. Maka komedi menjadi medium yang pas untuk ‘berdakwah’ kepada
golongan tertentu sekaligus menghibur golongan yang lebih luas. MD Pictures
mempersembahkan Insya Allah Sah (IAS)
yang diangkat dari novel karya Achi TM (seorang penulis skenario sinetron dan
FTV yang sudah menulis 22 novel tapi baru IAS yang diterbitkan oleh penerbit
sebesar Gramedia Pustaka Utama) berjudul sama yang diterbitkan pertama kali
tahun 2015. Novel yang konon ditulis sebagai upaya terakhir sebelum sempat
memutuskan pensiun dari kepenulisan ini segera dikontrak oleh MD untuk diangkat
ke layar lebar. Meski akhirnya baru 2017 ini benar-benar diproduksi di bawah
penanganan Benni Setiawan (Bukan Cinta
Biasa, 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta, Toba Dreams, Love and Faith) selaku sutradara dan penulis naskah adaptasi,
dengan dukungan Titi Kamal, Pandji Pragiwaksono, Richard Kyle, dan puluhan cameo
yang tersebar di sepanjang film.
Silvi, seorang wanita muda yang
sukses dengan bisnis fashion-nya, sedang mengalami bad day ketika hendak
menemui kekasihnya, Dion, yang naga-naganya hendak melamar dirinya. Puncaknya,
ia terjebak di dalam lift kantor Dion bersama seorang ‘nyentrik’ yang sangat
relijius, Raka. Di tengah kepanikan, Silvi pun bernazar untuk menjadi pribadi
yang lebih baik dan soleha jika diberi kesempatan selamat dari lift yang macet
tersebut. Tak lama kemudian lift benar-benar terbuka dan Dion melamarnya di
depan seisi kantor. Silvi pun melanjutkan gaya hidup seperti biasa dan mulai
menyusun persiapan pernikahan tanpa melibatkan wedding organizer. Ternyata kesialan
demi kesialan masih terus membuntutinya, bahkan semakin parah menjelang tanggal
pernikahan yang semakin dekat. Uniknya, di tiap kesempatan selalu kebetulan muncul
Raka yang tak bosan-bosannya mengingatkan Silvi akan nazar-nya ketika terjebak
di dalam lift. Perlahan Silvi mulai menjalankan nazar-nya. Namun ketika
persiapan pernikahan tinggal selangkah lagi, ujian pilihan terbesar pun muncul:
tetap menjalankan nazar-nya atau Dion yang selama ini menjadi tujuan dari
setiap upaya yang dilakukannya.
Sebagai sebuah film yang
mengandung tujuan ‘dakwah’, tentu tak heran jika IAS menjadi sajian yang
preachy, terutama bagi penonton non-muslim. Apalagi dari kemasan terluar, IAS
seolah-olah hanya mengasosiasikan Islam sejauh penggunaan hijab. Padahal
sebenarnya jauh lebih luas dan mendalam lagi, kendati memang tak bisa
dipungkiri pilihan berhijab menjadi salah satu ‘simbol’-nya, yang mana
merupakan pemahaman terdasar dan termudah bagi muslimah. Tema terbesarnya
adalah tentang nazar, yang mana merupakan janji kepada Yang Di Atas. Se-‘dangkal’
apapun itu, tetap harus dipenuhi. Lantas tema dasar ini dipadukan dengan tema
persiapan pernikahan yang menurut kepercayaan budaya kita, selalu ada saja
halangannya. Pertemuan dua tema utama ini saja sebenarnya sudah lebih dari
cukup untuk menjadi materi yang menarik untuk diangkat, pun punya relevansi
yang cukup besar bagi range penonton yang juga luas.
Benni kemudian memoles
penggabungan dua tema ini dengan konsep yang membuatnya semakin ‘berwarna’,
terutama karakterisasi Raka yang didesain bak Lloyd Christmas dari Dumb and Dumber. Tentu penggunaan Pandji
Pragiwaksono untuk merepresentasikan sosok Raka sangat membantu dalam
menghadirkan momen-momen pemancing gelak tawa. Begitu juga reaksi Titi Kamal
sebagai Silvi dalam menghadapi kesialan demi kesialan yang sedikit mengingatkan
saya akan peran yang dilakoninya di Mendadak
Dangdut dan tak kalah sebagai sumber kelucuan. Pun juga Titi memberikan
performa yang tak kalah baiknya tatkala harus serius di momen-momen
emosionalnya. Sayang, pemilihan Richard Kyle sebagai Dion menjadi turn-off yang
sangat mempengaruhi mood dalam mengikuti plotnya. Ia tampak seperti sekedar
menghafal dialog dan mendapatkan arahan bagaimana harus berekspresi on the spot at the
moment, tanpa memahami kontekstual karakternya secara menyeluruh.
Satu jam pertama IAS menjalankan
plotnya dengan energi komedi yang sangat bertenaga, termasuk juga faktor
puluhan pemeran pendukung serta cameo dengan porsi dan tingkat memorabilitas
yang sama kuat. Mulai Tanta Ginting, trio Joe P Project, Budi Dalton, dan Budi
Arab (crossover dengan Bukan Cinta Biasa!),
Ira Maya Sopha, pasangan Deddy Mizwar dan Lydia Kandou (reuni Kejarlah Daku Kau Kutangkap!), Ari
Tulang, Arie Untung dan Happy Salma, Alexa Key dan Bayu Skak, Ardit Erwandha,
Fitri Tropica, Prilly Latuconsina, bahkan sampai Reza Rahadian (nod to Something in the Way?). Sayangnya,
terutama sekali di 30 menit selanjutnya, energi IAS kian terasa kelelahan,
terutama dari segi komedi sebagai akibat dari repetisi jenis humor dan elemen
kesialan yang semakin tak berkorelasi dengan kesialan maupun kejadian
sebelumnya, tanpa pengembangan yang lebih jauh (atau lebih imajinatif?) lagi.
Wajar jika gelak tawa penonton yang terdengar sangat riuh, mendadak menjadi
hening setelah durasi berjalan satu jam. Kemudian ketika turnover kicks-in, IAS
benar-benar berubah menjadi drama reliji yang mana unsur preach-nya menjadi
dominan dan menyisakan unsur komedinya menjadi kurang dari 10 persen.
Untungnya, IAS tak memberikan tuduhan sempit terhadap mereka yang ‘punya pilihan berbeda’ dalam
menjalankan ke-Islam-annya. Ada dialog dimana dengan jelas IAS tak menyalahkan
siapa-siapa. Semuanya simply karena perbedaan pilihan. Pilihan yang sebenarnya berlaku
universal, yaitu menguji kadar kecintaan dalam menjalin hubungan asmara yang
serius dan dewasa. Ia pun tak terjerumus ke dalam cliché di genre sejenis
(baca: roman reliji) yang berpotensi menimbulkan celetukan, “what the hell?”
atau “Iugh…”, sementara penonton lain akan menganggapnya sebagai salah satu
bentuk guyonan. Berbeda dari versi novel yang menurut saya punya ending sangat cliché,
IAS versi film tak hanya menghindari cliché, tapi juga punya konklusi yang
lebih ‘mendidik’ dan masuk akal.
Sinematografi Ipung Rachmat
Syaiful menangkap energy chaotic comedy-nya secara cukup tepat. Musik dari Aghi
Narottama dan Bemby Gusti makin mendukung comedic moment-nya menjadi terkesan
lebih witty sekaligus sedikit komikal. Tata kostum Jeanne Elizabeth Fam terlihat
menonjol terutama untuk Titi Kamal dan tentu saja pilihan bentuk serta warna
untuk kostum Raka.
Ya, IAS memang preachy, as it’s
intended to be. Namun ia masih berhasil menghadirkan komedi-komedi situasional
dan komikal yang mengundang gelak tawa sebagai kemasan terluarnya. Juga
setidaknya tidak menjadi kelewat judgmental secara dangkal. Terasa kelelahan
selepas satu jam pertama, tapi editing Cesa David Luckmansyah dan Indra W. Kurnia
masih mampu sedikit menutupinya sehingga tak sampai terjerumus semakin
membosankan dan masih bisa menjaga pace yang dibangun sejak awal. Bisa jadi
sajian chaotic comedy yang jauh lebih konsisten dan membungkus tujuan dakwah-nya
secara lebih halus. Namun sebagai film Lebaran, IAS masih sangat layak dan cocok
untuk ditonton bersama pasangan. Apalagi jika hendak melangkah ke jenjang yang
lebih tinggi lagi.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.