Sinema Thailand punya perpaduan genre yang sudah menjadi salah satu ciri khasnya, yaitu horror dan komedi. Perpaduan yang sebenarnya bertolak belakang ini jelas tak mudah dan beresiko terhadap resepsi penonton. Salah-salah bisa jatuh menjadi sajian konyol yang cenderung ke ‘murahan’. Hebatnya, sinema Thai berkali-kali membuktikan bisa menyeimbangkan horror dengan komedi sehingga kedua elemen ini bisa sama-sama berhasil dan saling melengkapi, serta biasanya ditambahkan pula elemen drama yang tak kalah dalam memggerakkan emosi. Persembahan terbaru, Zombie Fighters (ZF) yang disutradarai Poj Arnon (Bangkok Love Story dan trilogi Make Me Shudder) dengan kembali menggandeng idola-idola muda dari trilogi Make Me Shudder.
Seperti layaknya kebanyakan film bertemakan zombie, ZF menggulirkan kisahnya dari Lambo, remaja rebel yang mau tak mau harus menyelamatkan adiknya, Audi, yang terjebak di sebuah rumah sakit tua. Audi sendiri sebelumnya nekad masuk ke rumah sakit tersebut untuk mencari orang tua mereka yang hilang ketika dirawat. Konon setahun sebelumnya, rumah sakit bernama Santa Marta ini menjadi sumber pertama epidemi virus yang mengubah manusia menjadi zombie ganas. Lambo ditemani adik bungsunya yang agak terbelakang, Cooper dan sahabat-sahabatnya. Satu per satu romongan zombie harus mereka lalui untuk menemukan Audi dan orang tua mereka, tapi kenyataan pahit harus mereka hadapi. Pertemuannya dengan gadis misterius bernama Gel yang punya antidote virus zombie justru membuat suasana semakin mencekam.
Punya formula dasar film-film zombie, ZF mencoba memanfaatkan kekhasan sadisme, suasana mencekam dikejar-kejar kawanan zombie, yang dipadukan dengan slapstick (dan juga dumb jokes), sekaligus sedikit drama keluarga. Bagi penggemar sub-genre zombie, mungkin akan merasa dimanjakan dengan permainan hide-and-seek dan mouse-and-cat yang memdominasi hampir 90% durasi. Tak ada yang salah mengandalkan formula hide-and-seek untuk sub-genre zombie. Toh itulah tujuan utama penggemarnya selalu menantikan film-film zombie. Sayangnya penanganan Arnon masih jauh dari kata maksimal dalam membangun ketegangan maupun jumpscare yang lebih efektif. Adegan-adegan yang seharusnya berpotensi intens harus jatuh menjadi biasa saja. Timing yang masih sangat kurang tajam, ditambah sinematografi yang kurang efektif memvisualkan detail-detail adegan. Joke-joke slapstick dan dumb joke diselipkan di berbagai momen menegangkan untuk sedikit ‘menawarkan’ suasana ketegangan sehingga bisa terasa lebih ‘aman’ untuk penonton yang tidak terlalu suka horror atau kekerasan. Bumerangnya, selipan-selipan humor ini justru mengganggu nuansa ketegangan yang seharusnya menjadi menu utama film zombie. Dengan dominasi porsi paduan ini, tak heran jika lama-kelamaan ia menjadi kelewat melelahkan untuk terus diikuti.
Kelemahan lain yang semakin memperparah kepedulian penonton adalah terlalu banyak karakter yang makin membingungkan, apalagi bagi beberapa orang yang sulit membedakan wajah-wajah Asia. Ditambah character investment yang teramat kurang sehingga sulit pula untuk membuat penonton berempati. Untungnya masih ada momen keluarga yang cukup berhasil menggerakkan emosi penonton lewat rangkaian flashback, simply karena simpati sosial secara universal. Sementara elemen friendship juga terlihat berusaha dihadirkan tapi masih belum mampu mengundang simpati penonton.
Satu-satunya komoditas yang dimanfaatkan dengan maksimal adalah para aktor-aktor mudanya, sehingga tiap kali kemunculan mereka secara spontan membuat fansnya menjerit histeris, apalagi ternyata ada hint berbau superhero ala Blade yang bisa jadi merupakan bagian dari grand design franchise yang lebih besar nantinya.
Dipenuhi cast muda, ZF tampak kesulitan membagi porsi yang seimbang atau sekedar cukup memorable. Mungkin hanya Puvadol Vechwongsa alias James, pemeran Lambo yang punya karakter paling jelas dan porsi paling banyak. Itu pun sebenarnya tipikal remaja rebel yang harus memilih ketika keluarga yang selama ini dibencinya dalam bahaya. Penampilan yang sedikit lebih mencuri perhatian adalah Kittipat Samantrakulchai sebagai Cooper. Penampilannya sebagai pribadi agak keterbelakangan yang sempat terkesan sekedar menjadi sumber candaan ternyata punya keseimbangan emosi yang cukup baik.
Untuk sebuah film zombie, ZF punya visual effect dan make-up yang layak. Setidaknya organ-organ elemen sadisme terlihat nyata. Sayang, tata suara menjadi kelemahan teknis yang cukup mempengaruhi keseruan film. Praktis sebanyak sekitar 80% film terdengar seperti hanya punya suara di kanal depan. Itu pun terdengar tenggelam, jauh dari kesan crispy maupun powerful. Sementara di kanal surround sebenarnya sesekali masih terdengar untuk beberapa detail, tapi kuantitasnya sangat terbanyak dan terdengar sama ‘lemah’-nya dengan kanal depan, sehingga gagal memberikan kontribusi efek apa-apa pada adegan.
Bagi penggemar sub genre zombie maupun fans dari aktor-aktor yang mendukung, ZF mungkin masih bisa dijadikan pilihan tontonan, setidaknya sekedar menikmati adegan-adegan hide-and-seek dan gore yang menjadi khas film zombie. Penanganannya terasa cheap bak film Nayato (sutradara horor ‘murah meriah’ Indonesia), tapi dengan kualitas visual effect dan make-up yang sedikit lebih baik. Selebihnya, semoga saja rencana ekstensi superhero yang sempat di-tease di akhir film bisa memperbaiki reputasi film dan siapa saja yang terlibat di film ini.
Lihat data film ini di IMDb.