4/5
Adventure
Asia
brotherhood
Comedy
Drama
Family
Film Lebaran
Hindi
Pop-Corn Movie
Psychological
religious
Remake
sibling
The Jose Flash Review
War
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Tubelight
[ट्यूब लाइट]
Tak hanya di Indonesia, Hari Raya Idul Fitri juga menjadi
momen yang tepat untuk merilis film line-up utama di India. Dua tahun terakhir
ini Salman Khan lah yang seolah menjadi jawara di Hari Raya, dengan Bajrangi Bhaijaan (2015) dan Sultan (2016). Tak mau melepaskan
predikat jawara Hari Raya, tahun ini Salman sudah mempersiapkan hits
terbarunya, Tubelight, yang
diadaptasi dari film reliji Katolik asal Hollywood, Little Boy (2015). Popularitas Little
Boy yang sangat kurang terdengar, bahkan di kalangan penonton film reliji
Katolik sekalipun, menjadi keuntungan tersendiri bagi Tubelight. Kabir Khan kembali digandeng sebagai sutradara sekaligus
penulis naskah (dibantu Parveez Sheikh dan Manurishi Chadha) setelah Bajrangi Bhaijaan. Di lini cast,
didukung pula oleh Sohail Khan cukup lama absen berakting (Hello Brother, Fight Club:
Members Only, dan Veer), Om Puri
yang mana ini merupakan penampilan terakhirnya sebelum meninggal dunia pada
awal tahun 2017 lalu, dan aktris Mandarin, Zhu Zhu, yang sebelumnya pernah kita
lihat di What Women Want (versi Andy
Lau), Cloud Atlas, dan The Man with the Iron Fist. Musik dari
Pritam dan Amitabh Bhattacharya tentu menjadi daya tarik lain yang tak bisa
diabaikan begitu saja.
Laxman terlahir sebagai anak yang agak ‘lambat berpikir’ sehingga
dijuluki tubelight (=lampu neon
berbentuk tabung panjang yang butuh waktu agar benar-benar menyala, sebagaimana
cara bekerja otak Laxman) dan menjadi bahan ejekan di desanya di Jagatpur.
Hidupnya menjadi lebih berwarna ketika sang adik, Bharat, lahir. Seringkali
justru Bharat yang bertindak membela Laxman ketika diejek. Bharat pun
memperlakukan Laxman sebagai seorang yang istimewa, dengan sebutan Kapten.
Sementara Laxman memanggilnya sebagai ‘partner’. Tanpa kedua orang tua, yang
menjadi panutan hidup adalah Paman Bane, seorang bijak pengurus ashram.
Kehadiran Mahatman Gandhi pun menjadi inspirasinya untuk selalu percaya akan
kemampuan diri.
Konflik muncul ketika pecah perang Sino-India tahun 1962
dimana negara meminta para pemuda di desanya untuk mendaftarkan diri mengabdi
pada negara. Tentu saja Laxman tidak diterima. Membuatnya harus merelakan
berpisah dengan Bharat yang berangkat ke medan perang. Kegalauannya semakin
meninggi ketika ia melihat seorang ibu dan anak beretnis Cina pindah di sebuah
rumah dekat desa mereka.
Di tengah kebencian semua warga terhadap mereka, Paman Bane
justru menyarankan Laxman untuk menjalin persahabatan dengan wanita bernama
Liling dan putranya, Guo. Dibuatkan lah pula daftar ajaran Gandhi yang harus
dilakukan oleh Laxman jika ingin kakaknya pulang dengan selamat. Meski berat,
persahabatan pun mulai terjalin antara Laxman, Guo, dan Liling. Namun Laxman
semakin bingung dengan keyakinannya ketika ujian yang tampaknya tidak membawa
harapan berarti menerpa makin kencang.
Mempertahankan berbagai komponen dan sebagian besar plot dari
versi aslinya, Tubelight sebenarnya
melakukan perubahan yang cukup fundamental, yang pada akhirnya mempengaruhi
hasil akhirnya. Kita mulai dari pengubahan karakter anak-anak berusia delapan
tahun dengan otak normal, hanya saja punya kelainan bertubuh kerdil menjadi
karakter dewasa dengan kelemahan di lambat berpikir yang cenderung ke naif. Ini
jelas membuat kenaifan karakter utama menjadi lebih masuk akal dalam memahami
konsep keyakinan.
Lalu pengubahan hubungan kekerabatan dari ayah ke saudara
kandung sejenis kelamin juga memberikan keuntungan tersendiri dalam membangun
emosi, apalagi dengan setup bahwa sang adik yang justru melindungi sang kakak.
Sementara di versi aslinya sang kakak justru menjadi ‘musuh’ bagi karakter
utama. Singkatnya, pengubahan-pengubahan yang dilakukan di Tubelight membuat konsepnya menjadi lebih masuk akal, fokus (Little Boy berfokus pada perkembangan
keimanan karakter utama yang pada akhirnya meluber ke mana-mana, sementara Tubelight tetap fokus pada hubungan
kakak-adik dengan keyakinan sebagai story device-nya), universal (Little Boy agaknya cukup spesifik
menyasar penonton Kristiani, terutama pada daftar ajaran yang harus dilakukan
karakter utama, sementara Tubelight
menggunakan ajaran Mahatma Gandhi yang meski masih sedikit merujuk pada ajaran
Hinduisme, tapi juga dipengaruhi oleh ajaran-ajaran lain), dan bahkan menambal
beberapa yang terasa kurang solid dari Little
Boy, seperti yang paling jelas, detail twist yang tidak terkesan coming out
of nowhere dan punya value lebih dari karakter yang berkaitan dibandingkan Little Boy.
Pada akhirnya, mungkin Tubelight
tak mencapai kedalaman pemahaman soal iman seperti yang dilakukan Little Boy. Memang bukan itu yang ingin
ia capai. Ada titik berbeda yang lebih ditonjolkan. Titik yang lebih universal
dan secara kemanusiaan, lebih membumi. Mungkin tingkat kenaifan dengan terlalu
mengandalkan ‘kebetulan-kebetulan’ dari Little
Boy masih belum bisa berkurang di sini, tapi dengan visualisasi yang
festive, ditambah kepiawaian mengarahkan Kabir Khan dan akting Salman Khan
dalam menguras emosi penonton, Tubelight
jelas menjadi sebuah sajian film Lebaran yang begitu pas. Begitu charming,
selevel Bajrangi Bhaijaan, hingga
membuat siapa pun dengan mudah bersimpati, ceria, bangga, dan terharu. They hit
it again!
Selain Salman yang lagi-lagi tampil charming hingga dengan
mudah mengundang simpati penonton, Sohail Khan sebagai Bharat pun mengimbangi
penampilannya dengan chemistry brotherhood yang hangat dan wajar. Almarhum Om
Puri, seperti biasa, tampil penuh kharisma dan wisdom dalam mengisi peran Paman
Bane. Zhu Zhu mungkin masih terdengar agak hafalan dalam melafalkan
dialog-dialog berbahasa Hindi, tapi chemistry yang dibangunnya bersama Salman,
pun juga kedalaman emosi karakternya tergolong bagus. Matin Rey Tangu tampil
menggemaskan sebagai Guo. Chemistry yang dibangunnya bersama Salman pun terasa
manis. Ini juga merupakan kelebihan lain mengubah karakter dewasa menjadi
anak-anak yang dilakukan Tubelight.
Isha Talwar sebagai Maya dan Mohammed Zeeshan Ayyub tampil cukup noticeable
dengan porsi masing-masing. Jason D’Souza dan Ricky Patel sebagai Laxman dan
Bharat cilik punya pesona tersendiri yang begitu mencuri perhatian. Last but
not at least, cameo Shah Rukh Khan yang sangat memorable dan tepat guna (that’s
exactly how you treat a cameo!)
Sinematografi Aseem Mishra tampak tahu betul camera work yang
layak untuk sebuah blockbuster. Sinematis, dramatis, festive, dan bahkan ada
beberapa poetic shot yang begitu indah. Tentu sangat berbeda dengan Little Boy yang cenderung lebih
‘sederhana’. Editing Rameshwar S. Bhagat pun memadatkan pergerakan plot
sehingga sangat nyaman diikuti tanpa mengurangi sedikit pun potensi emosional
yang ada. Desain produksi Rajnish Hedao dan timnya menghiasi kota kecil
(cenderung desa) dengan detail yang indah dan sesuai dengan setting waktu.
Score music dari Julius Packiam yang dramatis, ditambah lagu-lagu dari Pritam
yang seperti biasa, beautifully poetic
dengan melodi yang hummable dan intoxicating mind, menjadi salah satu kelebihan
Tubelight. Mulai yang festive seperti
Radio dan Naach Meri Jaan, yang manis seperti Kuch Nahi dan Main Agar,
hingga yang mengiris hati, Tinka Tinka
Dil Mera. Sound design dan sound mixing pun terdengar cukup powerful dan
seimbang, terutama terdengar sekali di adegan-adegan perang.
Dengan pengubahan-pengubahan dari versi aslinya yang beralasan
dan justru membuatnya lebih baik in many ways, Tubelight menjadi sajian drama keluaraga (terutama antar saudara)
yang begitu charming, hangat, festive, dan membuat saya merasakan kembali
keajaiban sinema dengan hati yang besar. Sangat cocok untuk dijadikan tontonan
bersama seluruh anggota keluarga di Hari Raya Idul Fitri. Salman, Kabir, dan
seluruh tim yang terlibat just hit it again this Eid!
Lihat data film ini di IMDb.