3/5
3D
Action
Adventure
Based on a Legend
Blockbuster
Box Office
Dolby Atmos
Fantasy
Franchise
Hollywood
Horror
IMAX
Pop-Corn Movie
Remake
Summer Movie
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Mummy (2017)
Di Hollywood, prestise sebuah studio film (apalagi major) bisa
jadi diukur dari ada berapa banyak dan seberapa besar franchise yang
dikantongi. Jika Disney masih memimpin dengan mimiliki franchise Star Wars dan Marvel Cinematic Universe dan Warner Bros. punya DC Extended Universe dan Harry Potter, Universal Pictures yang
juga termasuk major studio sejak lama terus menggali potensi franchise yang
ada, selain Fifty Shades dan Fast and Furious yang sebenarnya sudah
sangat menguntungkan. Sejak lama pula ia berusaha menghidupkan kembali
franchise Dark Universe dengan
‘koleksi’ karakter-karakter monster klasiknya, seperti Mummy, Frankenstein,
Dracula, The Invisible Man, dan Wolf Man yang pernah berjaya di era 30-50’an.
Sempat mencoba memulai dengan Dracula
Untold pada 2014 lalu. Hasilnya sebenarnya tak buruk (dengan budget sekitar
US$ 70 juta, menghasilkan US$ 217 juta lebih di seluruh dunia. Hanya saja di
pasar domestik cuma berhasil mengumpulkan US$ 56 juta lebih), tapi Alex
Kurtzman (sutradara People Like Us
dan penulis naskah berbagai film blockbuster, seperti Mission: Impossible III, Star
Trek versi 2009, Transformers,
serta The Amazing Spider-Man 2) dan
pihak studio memutuskan untuk membatalkan Dracula
Untold sebagai bagian dari Dark
Universe, sementara installment terbarunya, The Mummy lah yang dianggap sebagai film pertama dari konsep
pembangunan franchise tersebut.
Dengan menggandeng Tom Cruise, Russell Crowe, Annabelle Wallis
(Annabelle dan King Arthur: Legend of the Sword), dan Sofia Boutella (masih ingat
Gazelle di Kingsman: The Secret Service dan
Jaylah di Star Trek Beyond?) di jajaran cast, beserta tim penulis
naskah meliputi David Koepp (Jurassic
Park, Mission: Impossible, Spider-Man, War of the World, Indiana
Jones and the Kingdom of the Crystall Skull, Angels & Demons, serta Jack
Ryan: Shadow Recruit), Christopher McQuarrie (The Usual Suspects, Valkyrie,
The Tourist, Jack Reacher, Edge of
Tomorrow, serta Mission: Impossible -
Rogue Nation), dan Dylan Kussman, The
Mummy versi 2017 ini jelas merupakan proyek yang ambisius bagi Universal
Pictures.
Nick Morton, seorang pencari harta karun, dan partner-nya,
Chris Vail, tak sengaja menemukan makam Ahmanet saat berada di Irak. Seorang
arkeolog wanita, Jenny Halsey, menduga bahwa itu bukanlah makam melainkan penjara
yang menjawab misteri tentang Ahmanet, putri Mesir Kuno yang bersekutu dengan
Iblis dan membunuh keluarganya demi mendapatkan takhta kerajaan. Sarkofagus
berisi jazad Ahmanet yang dulunya di-mumi hidup-hidup diterbangkan ke London
untuk diteliti lebih lanjut. Malang, pesawat yang mereka semua tumpangi
diserang oleh rombongan burung gagak dan jatuh. Sempat diduga telah tewas, Nick
terbangun di kamar mayat. Semenjak itu hidupnya terus-terusan dibayangi oleh
sosok Ahmanet., pun juga arwah Chris Vail yang seolah-olah selalu menuntunnya
bak masih hidup. Jenny membawa Nick kepada atasannya, Dr. Henry Jekyll yang
bertugas memburu ancaman supernatural di bawah Natural History Museum of
London. Nick harus menerima kenyataan bahwa kemungkinan tubuhnya sudah dikendalikan
oleh kekuatan jahat Ahmanet.
Masih ingat The Mummy
versi sutradara Stephen Sommers dengan bintang Brendan Fraser dan Rachel Weisz
sejak 1999 lalu? Ya, The Mummy memang
sudah tidak lagi bermain-main di domain horror, melainkan action-adventure bak Indiana Jones. The Mummy versi Alex Kurtzman ini pun sejatinya masih ingin
bermain-main di ranah yang kurang lebih sama. Membangun ulang mitologi fiktif The Mummy yang konon, kali ini mengambil
inspirasi desain karakternya dari Apocalypse di franchise X-Men (mirip juga dengan Enchantress di Suicide Squad), sebenarnya menawarkan konsep yang cukup menarik,
termasuk sebagai start-off dari franchise Dark
Universe dengan memperkenalkan karakter Dr. Henry Jekyll yang sosok aslinya
tentu sudah diketahui banyak orang yang akrab dengan literatur Inggris.
Sayangnya, The Mummy
versi 2017 ini seolah hanya sebagai etalase menjelaskan visualisasi konsep
besarnya secara kronologis semata. Kurtzman gagal memberikan ‘nafas’
adventurous sebagaimana The Mummy
versi Sommers yang jauh lebih seru dengan selipan komedi-komedi yang masih
berhasil pula. Tanpa adanya tata suara yang powerful dan dukungan Dolby Atmos,
adegan-adegan dahsyat yang dimilikinya, terutama serangan burung gagak, mungkin
tak akan menjadi semakin hambar. Jangan dulu mengharapkan character development
maupun investment, upayanya menggerakkan plot (baca: meruntut kronologis) sudah
lebih dulu melelahkan. Ditambah lagi dengan upaya Tom Cruise melawak yang
trying too hard, tapi jelas-jelas punya karakteristik yang kalah jauh dengan,
let’s say, Brendan Fraser.
Tom Cruise memberikan ‘roh’ yang tak jauh berbeda dengan
karakter Ethan Hunt atau Jack Reacher ke dalam karakter Nick Morton. Tak salah
sebenarnya, tapi apa yang tampak di layar seolah ia sebenarnya sudah lelah
memerankan karakter sejenis. Chemistry yang dibangunnya bersama Annabelle
Wallis sebagai Jenny pun terkesan sekedar formalitas elemen plot saja.
Sementara Wallis sendiri sejatinya tampil meyakinkan sebagai seorang arkeolog
cerdas sekaligus adventurous. Russell Crowe mengisi peran Dr. Henry Jekyll
dengan kharisma yang kuat, sebagaimana peran-peran yang dimainkannya selama
ini. Menarik untuk melihat perkembangan karakter di installment-installment
berikutnya. Jake Johnson sebagai Chris Vail tampil cukup kocak sesuai kebutuhan
karakternya. Namun tentu saja above all, daya tarik yang paling mencuri
perhatian adalah Sofia Boutella sebagai Putri Ahmanet. Wajah dan aura aktingnya
yang khas membuatnya menjadi sosok karakter yang cukup ikonik dan menarik.
Sinematografi Ben Seresin cukup meng-‘eksplor’ angle-angle
yang menarik dalam bercerita, terutama untuk adegan-adegan petualangannya.
Adegan terbaiknya, yaitu serangan gagak di pesawat, ditangani dengan baik pula.
Chaotic dan ketegangannya cukup terasa, tanpa harus membuat pusing. Editing
Gina Hirsch, Paul Hirsch, dan Andrew Mondshein mungkin bukan penyebab yang
menjadikan bentuk akhirnya sekedar menggerakan secara kronologis semata.
Setidaknya editing masih ‘menggerakkan’ dengan pace yang cukup pas, meski
kompensasinya adalah character serta emotional investment yang semakin
tereduksi. Score music Brian Tyler cukup mendukung perpaduan nuansa etnik Mesir
dengan melodi Paint It, Black dari
The Rolling Stones yang memberi kesan ‘misteri’, dan blockbuster orchestra,
tapi masih belum se-hummable score The
Mummy versi Sommers.
Sebagai sebuah film aksi-petualangan, The Mummy versi Kurtzman ini terasa hanya perduli untuk menjelaskan
konsep dan menggerakkan plot secara kronologis semata. Minim spirit
adventurous, emosi, apalagi pengembangan karakter. Sangat jauh jika
dibandingkan, let’s say, trilogi The
Mummy versi Sommers. Start-off yang kurang meyakinkan sebagai pondasi Dark Universe, tapi sebenarnya tak
masalah terus saja dilanjutkan asal dengan treatment yang lebih ‘layak’, tak
perlu mengulang lagi seperti yang dilakukan pada Dracula Untold. Jika Anda penasaran dengan konsep The Mummy kali ini, tak ada salahnya
ditonton. Setidaknya, pilihlah teater dengan fasilitas audio-visual paling
mumpuni untuk mendapatkan pengalaman terbaik. Minimal, Dolby Atmos atau
sekalian IMAX 3D.
Lihat data film ini di IMDb.