4/5
Action
Adventure
Based on Book
Biography
Drama
Father-and-Son
History
Hollywood
leadership
Spiritual
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Lost City of Z
Mungkin kita yang hidup di era ini belum banyak yang mengenal
sosok Percy Fawcett, seorang prajurit artileri merangkap geografer, penjelajah,
arkeologis, sekaligus kartografer Inggris populer di bidangnya. Padahal sosoknya
diakui menginspirasi banyak karakter fiktif di berbagai karya populer
legendaris, seperti Professor Challenger dari novel Arthur Conan Doyle, The Lost World, Indiana Jones, Ridgewell
dari Tintin L’Oreille Cassée, hingga
Charles F. Muntz dari animasi Pixar, Up.
Popularitas Fawcett semakin meluas secara umum setelah artikel karya penulis
sekaligus kolumnis The New Yorker, David Grann, dimuat tahun 2005 dan dibukukan
dengan tajuk The Lost City of Z: A Tale
of Deadly Obsession in the Amazon tahun 2009. Sebelum bukunya resmi
dirilis, rumah produksi Plan B milik Brad Pitt tertarik untuk mengangkatnya ke
versi layar lebar dengan James Gray (The
Yards, We Own the Night, Two Lovers, The Immigrant) yang ditunjuk sebagai penyusun naskah adaptasi dan
sutradara. Tahap development bersama Paramount butuh waktu enam tahun hingga
Gray menemukan pendekatan terbaik untuk mengangkat kisah biopic Percy Fawcett.
Brad Pitt sendiri sempat tertarik mengisi peran Percy, tapi
konflik jadwal membuatnya mundur dan digantikan Charlie Hunnam sebelum sempat
juga Benedict Cumberbatch masuk dalam pertimbangan. Disusul Robert Pattinson,
Sienna Miller, Tom Holland, Edward Ashley, Ian McDiarmid, hingga sang legenda,
Franco Nero, yang menjadi ‘bintang tamu’. Diputar pertama kali sebagai film
penutup New York Film Festival Oktober 2016 lalu, The Lost City of Z (TLCoZ) mungkin bukan film blockbuster berbudget
besar (‘hanya’ US$ 30 juta) dengan major distributor, tapi jelas punya daya
tarik dari berbagai aspek yang tergolong tinggi.
Merasa usianya sudah tak lagi muda dan punya anak-istri, Percy
Fawcett, merasa perlu ‘memburu’ lencana kehormatan militer. Apalagi melihat
teman-teman sejawatnya yang sudah mengantongi lencana kehormatan sementara ia
sendiri belum ada satupun. Kesempatan emas datang dari Royal Geographical
Society Kerajaan Inggris yang membutuhkan seorang pakar geografi untuk
melakukan penjelajahan di hutan Amazon dan memediasi dalaam penentuan batas
wilayah Bolivia dan Brazil. Percy setuju. Dengan bantuan asisten yang tahu
banyak soal hutan hujan Amazon, Kopral Henry Costin, Kopral Arthur Manley, dan
pemandu suku Tadjui, tak hanya tugas mereka terselesaikan, tapi menemukan
bukti-bukti adanya peradaban kuno yang tak kalah dengan bangsa kulit putih di
tengah hutan. Sekembalinya ke peradaban, tak ada yang percaya dengan temuan
Percy. Semakin penasaran dengan keberadaan peradaban kota hilang yang ia sebut
sebagai Z, kepingan terakhir dari misteri eksistensi peradaban kuno manusia.
Pertentangan datang dari James Murray, mantan krunya yang mengaku ditelantarkan
di tengah hutan, dan bahkan dari sang putra sendiri, Jack Fawcett, yang
menganggap Percy egois, mementingkan tanggung jawab terhadap negara, tapi tidak
terhadap keluarga. Namun Percy tak bergeming. Ia tetap pada keyakinannya akan
keberadaan kota hilang Z dan menjadikannya sebagai tujuan hidup.
Dari luar, TLCoZ mungkin terlihat sebagai film petualangan
penjelajahan hutan a la Indiana Jones
dengan berbagai tantangannya; penyakit tropis, piranha, hingga suku-suku (yang
dianggap) primitif yang bisa jadi, kanibal. Elemen-elemen tersebut memang ada,
tapi Gray tak meletakkannya sebagai highlight utama yang mungkin akan lebih
appealing bagi range penonton yang lebih luas dan umum, tapi tak ubahnya just
another jungle adventure movie. Bukan juga soal detail kota hilang Z yang
bahkan sampai dijadikan titel atau meruntuhkan arogansi bangsa kulit putih terhadap suku-suku primitif. Justru kota hilang Z dijadikan metafora yang
merepresentasi esensi utama pendekatan yang dilakukan Gray dalam menyampaikan
kisah Percy Fawcett.
Gray memilih untuk mengeksplorasi perkembangan kepribadian
Percy Fawcett secara mendetail sebagai metode mendekatkan karakternya kepada
penonton. Mulai dari mempertanyakan tujuan hidup yang awalnya sekedar lencana
kehormatan, rasa penasaran, penentangan berbagai pihak, tuntutan untuk adil,
membentuk keteguhan, hingga akhirnya menemukan tujuan hidup yang sejati,
kesemuanya disuguhkan Gray dengan mendetail. Awalnya penonton mungkin dibuat
bingung atas tujuan pilihan kepingan-kepingan adegan yang dimasukkan ke dalam film. Terasa seperti
episode-episode serial yang dijadikan satu serta dimampatkan dalam durasi film
panjang. Namun seiring dengan durasi dan character investment (terutama Percy
Fawcett sendiri), penonton (setidaknya, saya pribadi) menemukan sebuah
perjalanan perkembangan spiritual yang luar biasa, terutama dari segi
kepemimpinan (baik dalam tim maupun keluarga) dan pencarian tujuan hidup yang
begitu terasa absorbing. Sama seperti proses perkembangan kepribadian itu
sendiri, mungkin tak selalu nyaman diikuti, tapi tetap terasa punya hati yang
besar, dituturkan secara elegan, dan pada akhirnya menginspirasi secara halus.
Dari upaya pendekatan yang dilakukan Gray, kepemimpinan terasa
menjadi highlight terbesar dari sosok Fawcett. Lihat bagaimana ia belajar
menjadi pemimpin dalam tim, ketika harus mengambil keputusan yang
memprioritaskan kepentingan tim daripada salah satu anggota yang menderita
(tapi egois), juga dalam keluarga ketika harus mempertimbangkan keinginan sang
istri, Nina, untuk ikut ekspedisi, atau ketika sang putra sulung, Jack,
mencapnya egois. Elemen feminis yang ditunjukkan lewat sosok Nina terjalin
dengan lembut dan pada porsi yang seimbang, sesuai dengan setting eranya, tanpa
kehilangan power-nya untuk berkontribusi pada keseluruhan film. Gray juga
menggunakan pendekatan metafora, terutama latar hutan di berbagai kesempatan,
termasuk konklusi dari sisi Nina, tapi maknanya terbaca dengan jelas, tanpa
terasa kelewat dipaksakan.
Pendekatan yang lebih ke character investment tentu
membutuhkan performa aktor-aktor sebagai pilar terpentingnya. Pemilihan Charlie
Hunnam untuk mengisi peran Percy Fawcett terasa begitu tepat. Hunnam yang
aslinya punya aura adventurous menambahkan kharisma leadership yang sangat
kuat, melebihi kharisma peran-peran yang pernah ia lakoni sebelumnya.
Perkembangan kepribadian di tiap fase pun terlihat dengan begitu jelas terutama
lewat gesture dan ekspresi wajah, selain dialog yang mendukung. Sienna Miller
beruntung diberi karakter yang tak hanya sekedar pendukung (sebagaimana juga
kebanyakan peran yang ia lakoni selama ini), tapi punya pengaruh yang cukup
signifikan terhadap keseluruhan pendekatan storytelling. Bakat dan ‘aura’-nya
pun menjadi lebih terlihat dari sebelum-sebelumnya. Robert Pattinson sebenarnya
masih belum beranjak jauh dari peran-peran sebelumnya lewat karakter Henry Costin,
tapi jenggot memberikan kharisma kedewasaan dan kematangan lebih, berpadu
serasi dengan kapasitas akting yang sesuai peran. Tom Holland mungkin hanya
tampil di seperempat akhir film, tapi punya momen father-and-son yang luar
biasa kuat, hingga mungkin menjadi momen terpenting sepanjang film. Thanks to
his father-and-son chemistry with Hunnam. Di lini berikutnya, Edward Ashley
sebagai Arthur Manley, Angus Macfadyen sebagai James Murray, Ian McDiarmid
sebagai Sir George Goldie, Clive Francis sebagai Sir John Scott Keltie, tampil
layak dengan porsi peran masing-masing. Tak lupa juga bintang tamu dari sang
legenda, Franco Nero sebagai Baron De Gondoriz yang tak hanya noticeable, tapi
juga cukup memorable meski hanya satu scene.
Meski bukan menjadi highlight utama, elemen jungle adventure
mendapatkan penanganan yang tak main-main, terutama lewat sinematografi Darius
Khondji yang tetap mampu memberikan ketegangan cukup di momen-momen jungle
adventure, juga emotional moment yang tervisualisasikan dengan sangat efektif.
Editing John Axelrad dan Lee Haugen mungkin masih menyisakan taste ‘seperti
episode-episode serial yang dijadikan satu dan dimampatkan’, tapi setidaknya
laju plotnya berjalan cukup lancar sesuai kebutuhan pendekatan storytelling,
dengan transisi emosi yang mengalir lembut dan elegan. Desain produksi
Jean-Vincent Puzos bersama tim art dan desain kostum Sonia Grande mungkin tak
ada yang benar-benar istimewa, tapi kesemaunya terlihat lebih dari sekedar
layak, sesuai setting waktu. Musik dari Christopher Spelman terdengar
sederhana, mengalun ‘tipis’ di momen-momen thrilling adventurous-nya, tapi
bekerja efektif di momen-momen emosional bersama alunan musik-musik klasik,
seperti dari Beethoven, Bach, Strauss, Stravinsky, Ravel, Mozart, dan Verdi, yang
semakin memperkuat kesan elegan dari penuturan plot, meski tak sampai terkesan
grandeur atau megah. Sound design cukup detail dengan sound mixing yang
memberikan penyebaran merata pada kanal-kanal surround untuk memberikan kesan
dimensi ruang, terutama untuk setting hutan.
Bagi Anda yang mengharapkan TLCoZ menjadi film petualangan a
la Indiana Jones, mungkin akan
sedikit kecewa. Elemen ini memang ada dan cukup berhasil menyuguhkan
ketegangan, tapi bukan menjadi highlight utama serta porsinya tergolong
sedikit. Ikuti saja arah aliran plotnya, maka Anda akan terhanyut pada
perjalanan spiritual, terutama dari karakter Percy Fawcett. Sama seperti proses
perkembangan kepribadian yang menjadi highlight utama, perjalanan alurnya
mungkin tak selalu nyaman diikuti, tapi percayalah ada konklusi yang luar biasa
kuat dari perjalanan tersebut, yang membuat Anda seketika berkontemplasi tentang
tujuan hidup; apakah hanya sekedar soal hidup atau mati, atau ada tujuan lain
yang (terasa) lebih penting.
Lihat data film ini di IMDb.