3/5
Asia
Based on an Urban Legend
Family
Father-and-Daughter
Film Lebaran
Horror
Indonesia
Pop-Corn Movie
sisterhood
Teen
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Jailangkung
Genre horror rupanya selalu
mendapatkan tempat di hati penonton Indonesia. Tahun ini gairahnya sempat
dibangkitkan oleh kesuksesan Danur: I Can
See Ghosts yang berhasil mengundang lebih dari 2.7 juta penonton ke
bioskop. Tak mau kelewatan momen, Rizal Mantovani dan Jose Poernomo pun membawa
kembali franchise yang kehadirannya pertama kali di tahun 2001 menjadi salah
satu tonggak sejarah penting kebangkitan film nasional, Jelangkung (dilanjutkan sekuelnya, Tusuk Jelangkung – 2002 dan Jelangkung
3 – 2007). Cukup mengejutkan sebenarnya, ketika pertama kali mengumumkan
tentang proyek bertajuk Jailangkung
di bawah bendera Screenplay Films-Legacy Pictures yang dikenal selalu sukses
mencetak film-film nasional box office. Saat itu ternyata diam-diam pengambilan
gambar sudah dilakukan dan hampir tahap finishing dengan pasangan bintang muda
yang sedang naik daun pasca Dear Nathan,
Jefri Nichol dan Amanda Rawles di lini terdepannya. Padahal akhir 2016 lalu sempat
tersiar kabar pembuatan film bertajuk Jelangkung:
13 Tahun Kemudian oleh rumah produksi baru, Tymora Films, dengan sutradara
Billy Christian, yang konon berniat menyatukan kembali cast orisinalnya dan
syuting diagendakan mulai Januari 2017. Sayang, hingga tulisan ini dibuat tidak
ada follow up lagi hingga Rizal Mantovani dan Jose Poernomo mengumumkan proyek Jailangkung dengan mengubah ‘format
penulisan judul’ (dari Jelangkung
menjadi Jailangkung) dan juga mantra
(tagline) menjadi ‘Datang Gendong, Pulang Bopong’, yang konon karena faktor
rights dari versi aslinya. Dengan dukungan Screenplay Films-Legacy Pictures
yang setidaknya dari segi teknis tidak main-main, Jailangkung memilih Hari Raya Lebaran untuk melanjutkan ‘warisan’
mitologi Jailangkung ke generasi yang lebih baru.
Tiga saudari; Angel, Bella, dan
Tasya, kaget bukan main ketika mendengar kabar bahwa ayah mereka yang sudah
lama menduda, Ferdi, mendadak jatuh koma tanpa penyebab yang jelas. Dokter tak
menemukan penyakit atau gejala yang aneh pada fisiknya. Presentasi Rama, teman
kuliah Bella, tentang fenomena terpisahnya jiwa dari raga membuatnya semakin
penasaran dengan yang terjadi pada sang ayah. Dari pilot pribadi sang ayah,
Kapten Wardana, diketahui bahwa Ferdi sering menyendiri di sebuah villa di
pulau terpencil. Ketika memutuskan menyelidiki villa tersebut bersama-sama,
mereka menemukan fakta bahwa Ferdi melakukan praktek ritual Jailangkung untuk
berkomunikasi dengan mendiang sang istri. Rama menduga ada sosok makhluk halus
lain bernama Matianak yang terus-terusan membuntuti Ferdi dan tak mau lepas
ketika ritual berlangsung. Usaha melepaskan Ferdi dari sosok Matianak justru
membuat mereka semua turut terlibat lebih jauh. Bahkan sampai mengancam nyawa
mereka.
Secara garis besar, tak ada plot
maupun setup yang benar-benar baru digunakan untuk treatment Jailangkung ini. Seen it, heard it,
experience it, a lot lot times before. Namun setidaknya pilihan ikatan keluarga
bisa menjadi setup yang kuat untuk mengundang simpati penonton (menjadi trend
pula di horror dunia, termasuk Hollywood, seperti lewat franchise The Conjuring dan Insidious). Apalagi sebagai film Lebaran yang identik dengan
tontonan keluarga, meski pada tampilan terluar jelas remaja menjadi target
audience utamanya.
Tak ada yang salah pula dengan
guliran plot yang dihadirkan meski tergolong teramat sangat generik di genre
horror. Ini bisa dipahami dengan tujuan mampu dicerna dan dinikmati oleh range
penonton yang luas. Toh berkali-kali terbukti bahwa film-film horror nasional
yang berhasil mencetak box office tak perlu formula ataupun plot yang
muluk-muluk. Sederhana, tapi efektif menjadi tontonan horror yang menghibur,
terutama lewat jumpscare-jumpscare yang kerap menjadi komoditasnya. Sejak awal
jelas bahwa Jailangkung juga ‘bermain-main’
di ranah yang sama. Dengan menggabungkan mitologi asli ritual Jailangkung
dengan berbagai formula horror lain, mulai ‘ketempelan’ yang dipopulerkan di
perfilman horror dunia lewat Shutter,
hingga reinkarnasi makhluk halus melalui tubuh manusia a la Alien (oke, jika dianggap terlalu jauh,
let’s say Diperkosa Setan), secara
keseluruhan arah plot Jailangkung
memang sangat mudah ditebak, tapi dengan mudah pula dicerna oleh range penonton
yang luas. Kekurangan yang paling disayangkan mungkin soal Matianak yang
sejatinya dipasang sebagai ‘sosok’ utama di sini terasa kurang tergali sehingga tak begitu
tertanam dalam benak penonton dan menjadi ikonik, seperti halnya sosok Turah di
Jelangkung. Dialog-dialog ‘a la Screenplay Film’ yang cenderung cheesy dan
beberapa menjurus ke konyol masih dipertahankan seolah sudah menjadi signatural
tersendiri. Tergantung bagaimana ketahanan Anda terhadap dialog-dialog seperti
ini. As for me, masih sangat acceptable bagi saya, in term of ‘just for fun’
purpose, as it’s intended to be.
Sayangnya, ‘harapan’ terakhir
yang setidaknya masih bisa menjadi kekuatan Jailangkung,
yaitu kemampuan menghadirkan momen-momen horror yang menegangkan, mengerikan,
ataupun menyeramkan, pun kali ini terasa ‘hambar’ dibandingkan, let’s say,
film-film horror Rizal maupun Jose sebelumnya. Seolah-olah ‘the horror touch’
dari duo ini kian memudar, baik dari segi pembangunan atmosferik maupun
efektivitas jumpscare. Tentu lagi-lagi, semua tergantung sejauh mana resepsi
Anda terhadap sajian-sajian horror yang coba ditawarkan di sini.
Kekuatan satu-satunya Jailangkung lantas terletak pada
production value yang memang tergarap apik. Terutama sekali sinematografi Jose
Poernomo sendiri yang terlihat begitu ‘beauty shot’ dengan camera movement yang
mulus dan aerial shot yang punya ketajaman di atas rata-rata. Tak berkontribusi
banyak dalam membangun atmosfer horror maupun tampilan jumpscare, tapi tergarap
lebih dari sekedar layak. Wawan I Wibowo menyusun sequence demi sequence secara
runtut sehingga setidaknya cukup efektif dalam bercerita meski efektivitas
momentum jumpscare lebih banyak yang terlewatkan (well, in my opinion, bukan
kesalahan editing, tapi dari konsep dan pengarahan sejak awal). Ada beberapa
masalah kontinuiti yang cukup kentara (terutama di adegan Angel di kamar mandi
dilanjutkan di kamar tidur), tapi untungnya tak terlalu mempengaruhi keseluruhan
cerita. Musik dari Joseph S. Djafar masih ‘terinspirasi’ dari berbagai score-score
film Hollywood (kali ini setidaknya ada score Man of Steel yang terdengar paling kentara), tapi untuk tujuan memberi
‘taste’ blockbuster lebih ke adegan-adegannya, cukup berhasil.
Jajaran cast yang dipasang
sebenarnya tampil cukup layak dalam mengisi peran masing-masing. Perkembangan
kualitas akting Amanda Rawles cukup terlihat dalam mengisi peran Bella yang
punya porsi paling banyak. Begitu juga Jefri Nichol sebagai Rama yang meskipun
di banyak kesempatan terlihat seperti sekedar menghafal dialog (terutama di
adegan presentasi), setidaknya masih punya kharisma yang cukup terlihat. Hannah
Al Rashid dan Lukman Sardi terlihat yang paling serius membawakan peran
masing-masing di balik porsi yang memang tak banyak dan penulisan karakter yang
tergolong generik. Si cilik Gabriella Quinlyn tampil cukup menjanjikan sebagai
Tasya. Sementara Wulan Guritno, Butet Kertaradjasa, dan Augie Fantinus tampil
fairly enough dengan porsi masing-masing.
Menilai dari jajaran cast, rumah
produksi, dan trailer saja sudah jelas bahwa Jailangkung dihadirkan sekedar untuk meneruskan mitologi ritual
tersebut ke generasi sekarang dengan treatment horror generik secara sengaja
agar mencapai range audience seluas mungkin. Bukan untuk menggali lebih dalam
mitologi di balik ritual maupun memperluas jangkauan universe-nya, tapi sekedar
memadu-padankan berbagai formula basic horror ke dalam satu sajian hiburan.
Bukan pula diperuntukkan bagi penggemar fantatik horror, tapi lebih ke penonton
umum yang menjadikan film horror sebagai sekedar ajang seru-seruan untuk
ditonton beramai-ramai. For that purpose, I guess Jailangkung has successfully reached its goals. Melewati angka 1.5
juta penonton di minggu kedua penayangannya sudah menjadi satu bukti nyata.