2/5
Action
Adventure
Based on Book
England
Espionage
Europe
Franchise
Indie
Pop-Corn Movie
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Stratton
Karakter espionage fiktif dengan berbagai latar belakang yang
berasal dari novel hampir semuanya sudah diangkat ke layar lebar. Sebut saja
yang paling legendaris, James Bond, disusul Jack Ryan, Jason Bourne, dan Jack
Reacher yang juga tak kalah suksesnya. Di generasi yang lebih baru, ada seri
novel John Stratton yang ditulis oleh mantan komandan Special Boat Service
(salah satu unit di Angkatan Laut Kerajaan Inggris), Duncan Falconer. Sejak
dirilis pertama kali tahun 2003, kisah petualangan aksi John Stratton sudah
dibukukan sebanyak delapan jilid (terakhir dirilis tahun 2012). Dibanding
karakter-karakter espionage fiktif lainnya, popularitas John Stratton memang
masih belum terdengar secara global. Kendati demikian, potensi franchise John
Stratton dilirik oleh Henry Cavill (Clark Kent alias Superman teranyar) yang
sempat berniat mengisi peran Stratton sekaligus memproduseri dengan bendera
Promethean Productions, bersama Amber Entertainment, dan GFM Films. Sayang,
Cavill memutuskan untuk keluar dari proyek karena perbedaan kreativitas.
Dominic Cooper (Need for Speed, Warcraft) kemudian ditunjuk untuk
menggantikan, sementara bangku penyutradaraan dipercayakan kepada Simon West,
yang sudah sangat berpengalaman di berbagai film aksi high profile, seperti Con Air, The General’s Daughter, Lara
Croft: Tomb Raider, The Mechanic,
dan The Expendables 2.
Dengan dukungan aktor-aktris populer, seperti Connie Nielsen,
Tom Felton (masih ingat Draco Malfoy di franchise Harry Potter?), Gemma Chan (Madam Ya Zhou di Fantastic Beasts and Where to Find Them dan upcoming Transformers: The Last Knight), Austin
Stoweell (Whiplash, Bridge of Spies, Colossal), Tyler Hoechlin (masih ingat Michael Sullivan Jr. di Road to Perdition, Derek Hale di serial Teen Wolf, atau Clark Kent di serial Supergirl versi 2016?), hingga Derek
Jacobi, Stratton tak bisa diremehkan
begitu saja meski secara skala produksi kalah jauh dibandingkan franchise
sejenis.
Konon sejak Perang Dunia II, Angkatan Laut Inggris membentuk
satuan pasukan rahasia dan elit untuk misi-misi rahasia dan berbahaya bernama
Special Boat Service (SBS) yang sering ditugaskan bersamaan dengan MI6 dan
kemudian menjadi cikal-bakal Navy Seals Amerika Serikat. SBS terus diberdayakan
hingga kini di bawah komando Sumner. Sebagai pasukan SBS terunggul, John
Stratton ditugaskan untuk melakukan penyelidikan terhadap rencana aksi
terorisme. Didukung Aggy, Marty, dan Cummings. Sebuah pengkhianatan membuat
misi gagal dan menewaskan salah satu anggota tim yang kebetulan sangat dekat
dengan Stratton. Dengan bantuan tambahan dari Hank yang ternyata juga punya
hubungan dekat dengan anggota tim yang tewas, mereka bertekad mencari siapa
dalangnya sebelum meneber teror yang lebih besar lagi.
Premise Stratton
memang teramat sangat generik di genrenya. Pun juga dengan formula-formula basic
espionage yang dimasukkan, mulai motif balas dendam, trik yang menipu satuan,
hingga pengkhianatan. Namun tak menjadi masalah selama punya adegan-adegan aksi
seru yang menegangkan atau inovatif untuk membelalakkan mata penonton, dan juga
character development layak yang membuat penonton bersimpati penuh terhadap
sosok jagoan. Apalagi jika berniat untuk mengembangkan sebuah franchise yang
tentu bertumpu pada kharisma karakter sentral sebagai daya tarik utamanya.
Sayangnya, Stratton
tak hanya punya adegan-adegan aksi tembak-tembakan dan ledakan mediocre, tapi
hampir kesemuanya terasa plain dan hambar. Tak ada pula adegan-adegan aksi
inovatif yang mampu membelalakkan mata saya. Bukan soal porsi secara kuantitas
adeagn aksi yang sebenarnya Stratton
punya sangat banyak. Namun kualitas tiap adegan aksi yang terkesan sekedar ada,
tanpa tensi yang mampu memicu adrenaline penonton, tanpa pula ikatan emosi yang
membuat penonton cukup peduli atas apa yang terjadi pada karakter-karakter.
Namun di atas semua kelemahan-kelemahannya, kesalahan terbesar
Stratton adalah fokus film yang lebih
tertarik untuk menciptakan plot kasus dengan kelokan-kelokan generiknya (yang
juga terkesan kelewat dibuat-buat), sehingga lupa untuk melakukan character investment
yang layak untuk karakter John Stratton dan detail tentang satuan SBS. Sebagai
film yang menggunakan nama karakter sentral sebagai judul (yang jelas bertujuan
untuk menjadikannya sebagai sebuah franchise yang terus berkembang seperti
karakter-karakter espionage lainnya) dan meletakkan SBS sebagai prolog, ini
jelas kesalahan besar yang membuat penonton sama sekali tak peduli dengan
keberlangsungan franchise ke depannya.
Dominic Cooper mungkin memang belum punya kharisma sekuat lead
action hero besar lainnya seperti, let’s say, Tom Cruise, Bruce Willis, Dwayne
Johnson, ataupun Jason Statham. Namun penampilannya di Need for Speed membuktikan bahwa ia masih cukup layak untuk mengisi
peran lead action hero. Sayangnya, peran John Stratton yang hanya satu dimensi,
tanpa pengembangan maupun detail karakter yang layak, ditambah adegan-adegan
aksi yang ‘melempem’, membuat penampilannya kali ini terasa masih di bawah
karakter Dino Brewster di Need for Speed.
Kehadiran Connie Nielsen sebagai Sumner, Tyler Hoechlin sebagai Marty, Thomas
Kretschmann sebagai Grigory Barovsky, Derek Jacobi sebagai Ross, dan Austin
Stowell sebagai Hank pun terkesan mubazir dengan porsi peran yang tak kalah
one-dimensional-nya. Tom Felton terlihat lebih dewasa dan matang (bahkan jauh melebihi
usia aslinya) sebagai Cummings. Dibandingkan peran-peran lain meski pada porsi
yang kurang lebih setara, ia masih terlihat lebih menonjol. Along with Gemma
Chan sebagai Aggy, femme fatale yang terlihat cerdas sekaligus punya
sensualitas cukup tinggi.
Sebagai sebuah film aksi, teknis Stratton tergolong standard, sebagaimana plot yang ditawarkan.
Bahkan saking standard-nya, tak ada yang benar-benar punya andil dalam
memberikan ‘nyawa’ pada film selain sekedar layak secara visual (baca: main
aman), terutama sinematografi Felix Wiedemann, editing Andrew MacRitchie, dan
musical score dari Nathaniel Méchaly yang terdengar amat sangat generic blockbuster
(wanna be) action. Sound design pun tak menghadirkan detail maupun kualitas
yang istimewa, selain sekedar rata-rata film aksi.
Dengan potensi dan dukungan yang menjanjikan, hasil akhir Stratton sangat disayangkan. Perlu
remake dengan perombakan besar-besaran, terutama dari segi penulisan naskah
dengan fokus yang lebih tepat dan pengolahan perkembangan plot kasus yang lebih
tajam, dan treatment yang jauh lebih mumpuni untuk sekedar me-revive-nya
sebagai sebuah franchise. Sampai saat itu terwujud, setidaknya jika Anda
mencari tontonan ringan yang sekedar ada adegan-adegan aksi (meski tanpa ‘rasa’)
dan tak ada pilihan film lain yang menarik perhatian Anda, Stratton masih bisa dijadikan pilihan mengisi waktu luang.
Lihat data film ini di IMDb.