The Jose Flash Review
The Wall

Film panjang berkonsep satu karakter yang terjebak di satu tempat sepanjang film bukan lagi sesuatu baru meski kehadirannya bisa dikatakan masih sangat jarang. Yang paling memorable mungkin Phone Booth (2002), Saw (2004), Buried (2010), Devil (2010), dan baru-baru ini, Mine. Thriller dan horror menjadi genre yang pas untuk mengaplikasikan konsep ini, tapi tentu tidak menutup kemungkinan bisa dikombinasikan dengan genre lainnya. Mine membuktikan keberhasilan konsep ini untuk genre war. Maka The Wall arahan Doug Liman (Mr. & Mrs. Smith, The Bourne Identity) ini menawarkan konsep dan setting yang serupa dengan dukungan Aaron Taylor-Johnson (franchise Kick-Ass) dan atlet WWE yang sudah beberapa kali terjun di film laga, John Cena (The Marines). Dengan nama-nama yang dikenal berkualitas ditambah naskah yang termasuk dalam daftar Black List 2014 (daftar naskah-naskah yang paling disukai tapi belum diproduksi) karya Dwain Worrell (serial Marvel Iron Fist), proyek yang sejatinya tergolong indie ini (budgetnya ‘hanya’ US$ 3 juta!) terdengar begitu menarik dan menjanjikan.

Di saat peperangan sudah berakhir di Irak dan mulai membangun, dua orang staff tentara Amerika Serikat, Sersan Shane Matthews dan Sersan Allen Isaac ditugaskan untuk menyelidiki lokasi pembangunan jaringan pipa yang sebelumnya sempat terjadi pembunuhan terhadap para staff proyek. Selama 22 jam mereka memastikan bahwa lokasi tersebut aman. Ketika berkesimpulan sudah aman, mereka keluar dari tempat pengintaian untuk membereskan radio dari para petugas yang tewas. Tembakan misterius mulai menyasar mereka berdua hingga terluka cukup parah. Untungnya Sersan Isaac sempat berlindung di balik reruntuhan tembok dan mencoba mencari bala bantuan lewat radio. Jawaban yang awalnya dikira berasal dari markas besar ternyata musuh bernama Juba yang menyamar dan berusaha mengorek informasi dari Isaac. Sadar akan ‘jebakan’ yang mengancamnya, Isaac berupaya untuk mendapatkan bantuan yang sebenarnya sambil terus mencoba bertahan hidup dengan turut ambil bagian dari ‘permainan’ Juba atau nyawanya melayang dengan segera.
Konsep satu karakter yang terjebak di satu tempat punya resiko yang begitu besar dengan keterbatasan karakter dan ruang; kebosanan. Maka dari itu kuncinya terletak pada kepiawaian sutradara membangun nuansa tegang yang konsisten dan punya inclining yang mulus. Awalnya saya sempat percaya dengan reputasi Liman selama ini yang selalu dinamis dalam mengarahkan film-film aksi blockbuster. Namun ternyata dugaan saya sedikit meleset. Liman justru membawa setup The Wall  dengan perlahan dan ‘tenang’ (bahkan nyaris tanpa musical score yang mengiringi), sehingga tak hanya nuansa ketegangan yang gagal dihadirkan, tapi juga berpotensi menjadi sajian yang membosankan bagi beberapa kalangan penonton.
Daya tarik baru terasa ketika Isaac menyadari bahwa suara yang ada di balik sisi seberang radionya adalah seorang musuh yang menyamar. Itu pun suara sosok bernama Juba tak terdengar mencekam ataupun mengancam seperti, let’s say The Ghostface Killer di Scream ataupun Jigsaw di franchise Saw (beda genre sih, tapi seharusnya punya fungsi yang kurang lebih sama). Arah dialognya mungkin tertata baik seiring dengan konsep revealing-nya pada satu titik, tapi tetap saja kurang punya daya cekam maupun mengundang rasa penasaran penonton yang terlebih lagi. Namun bukan berarti The Wall melulu terjebak pada suasana tenang dan pelan. Ia masih menyebarkan titik-titik dimana suara tembakan yang tiba-tiba bisa mengubah suasana mendadak menjadi mencekam dan terkadang mengundang simpati penonton untuk peduli terhadap nasib karakter Isaac dan Shane. Barulah ketika mencapai revealing dan klimaksnya, pace menjadi lebih ‘bergairah’. Tak sampai membuat penonton berujar ‘waddafuq’ secara sponton, tapi setidaknya menyadari betapa menarik (baca: cerdas)-nya konsep siklus yang coba dihadirkan di sini.
Aaron Taylor-Johnson tak tampil mengecewakan sebagai Sersan Allen Isaac, kendati juga tidak terlalu spesial. Ada momen-momen yang sebenarnya berpotensi mengundang simpati penonton secara lebih maksimal tapi ternyata harus terlewatkan dengan lempeng-lempeng saja. Sama sekali tak buruk, tapi seharusnya bisa jauh lebih ‘menggerakkan’ penonton. Sementara John Cena sebagai Sersan Shane Matthews ternyata porsinya tergolong sedikit, itupun tanpa kedalaman lebih sehingga penampilannya dengan mudah diabaikan dan dilupakan begitu saja. Sayang sekali. Sementara meski lewat suara, Laith Nakli masih berhasil menipu dengan aksen Amerika Serikat yang cukup convincing dan punya keseimbangan antara terpelajar dan tak berperikemanusiaan, meski harus diakui tak punya kedalaman emosi lebih (padahal punya momen yang seaharusnya juga bisa jadi cukup menyentuh) dan terdengar masih kurang ‘mengancam’.
Dengan keterbatasan ruang dan karakter, sinematografi Roman Vasyanov tak banyak memberikan kontribusi variasi yang bisa membuat thriller-nya lebih terasa kuat. Shot-shotnya hanya sekedar menunjukkan detail adegan yang jelas saja, tak ada ‘rasa’ lebih. Begitu pula dengan editing Julia Bloch yang juga sekedar merangkai kronologis dan menjaga pace yang lambat dan tenang tetap terasa cukup mengalir. Tak ada yang terkesan stretchy. Tak ada variasi yang memberikan ‘rasa’ lebih seperti yang dilakukan oleh Mine, misalnya. Sound design masih memberikan dimensi lebih lewat suara-suara tembakan misterius di kanal-kanal rear. Tak banyak tapi cukup efektif pada momen-momennya.

Sebagai sebuah film berkonsep satu karakter terjebak di satu tempat, The Wall tergolong yang biasa-biasa saja. Ada potensi menjadi jauh lebih sharp seperti yang dilakukan Mine. Sayangnya pengarahan Liman secara mengejutkan kelewat perlahan dan tenang. Dialog yang seharusnya juga menjadi penggerak plot thriller-nya pun bisa jauh lebih maksimal lagi dalam ‘mengancam’. Untungnya masih ada penjelasan konsep di akhir yang cukup memuaskan, menarik, dan harus saya akui, cerdas. Asalkan Anda mau bersabar mengikuti runtutan plotnya, The Wall masih bisa menjadi tontonan yang menarik untuk disimak.
Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.