3.5/5
Asia
Based on Book
Drama
Family
Film Lebaran
Indonesia
Law
Pop-Corn Movie
Romance
sibling
Socio-cultural
tearjerker
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Surat Kecil untuk Tuhan [2017]
Selain horror, rupanya tema yang
selalu mendapatkan tempat di hati penonton Indonesia adalah drama yang menguras
air mata. Tak heran jika tahun 2011 lalu, Surat
Kecil untuk Tuhan (SKuT) yang diangkat dari novel karya Agnes Davonar
mencetak box office dengan perolehan 748.842 penonton. Speaking of
tear-jerking, Agnes Davonar bisa dikatakan sebagai penulis paling piawai di
tema tersebut. Tercatat sudah cukup banyak karya mereka berdua (ya, Agnes
Davonar adalah nama pena untuk duo kakak-beradik, Agnes Li dan Teddy Li) yang
diangkat ke layar lebar. Mulai SKuT, Gaby
dan Lagunya, Ayah, Mengapa Aku
Berbeda?, My Blackberry Girlfriend,
My Idiot Brother, Sebuah Lagu untuk Tuhan, dan Bidadari Terakhir. Kerap mengeksploitasi
penyakit sebagai tear-jerker, tak menyurutkan antusiasme pembaca dan penonton untuk
mengikuti tiap kisah yang ditelurkan. Turut menyemarakkan Hari Raya Lebaran
tahun 2017 ini, Falcon Pictures yang dikenal sebagai pencetak box office
beberapa tahun terakhir, mencoba mengangkat ‘formula’ khas Agnes Davonar dengan
judul yang sama, Surat Kecil untuk Tuhan
(versi tahun 2011 di LSF terdaftar sebagai Surat
Kecil untuk Tuhan (SKuT), sementara versi 2017 sebagai Surat Kecil untuk Tuhan saja), tapi dengan materi cerita yang sama
sekali berbeda.
Diangkat dari cerita pendek yang
dipublikasikan pertama kali tahun 2015 berjudul Anton dan Angel, kemudian dibuat versi novel yang dirilis bersamaan
dengan versi film tahun 2017, SKuT versi 2017 mengangkat tema child abuse dan
organ trafficking yang sebenarnya tergolong kelewat berat sebagai sajian film
keluarga di momen Lebaran. Untuk ‘menetralisir’ anggapan tersebut, dipakailah
lagu-lagu anak klasik yang diaransemen ulang sebagai materi promosi, seperti Ambilkan Bulan, Nina Bobo, Bintang Kecil,
dan Tik-Tik Bunyi Hujan. Nama-nama
yang mendukung pun tak bisa dianggap remeh. Mulai penulis naskah adaptasi Upi
(Lebaran ini, dua karyanya dirilis bersamaan; SKuT dan Sweet 20), sutradara Fajar Bustomi (Kukejar Cinta ke Negeri Cina, Slank
Nggak Ada Matinya, Remember When:
Ketika Kau dan Aku Jatuh Cinta, dan 99%
Muhrim: Get Married 5), dan bintang sekelas Bunga Citra Lestari, Joe
Taslim, dan Lukman Sardi di lini terdepan, didukung Aura Kasih, Rifnu Wikana,
Ben Joshua (reuni dengan BCL setelah Cinta
Pertama), Maudy Koesnaedi, Chew Kin Wah, Susan Bachtiar, dan si cilik dari 3, Di
Balik 98, dan {rudy habibie},
Bima Azriel.
Anton memutuskan untuk membawa
adiknya, Angel, kabur dari rumah karena sudah tak tahan lagi dengan perlakuan
sang paman yang kerap menganiaya. Naas, hidup di jalanan yang keras
malah membawa mereka Anton dan Angel ke tangan Om Rudi, seorang pria yang
menampung anak-anak terlantar untuk dipekerjakan di jalan-jalan raya. Sebuah
peristiwa memisahkan Anton dan Angel yang katanya sama-sama sudah diadopsi.
Angel beruntung karena diadopsi orang tua yang baik dan mapan. Ketika dewasa ia
menapak karir sebagai pengacara di Sydney, Australia. Ia pun dipertemukan
dengan seorang dokter muda yang simpatik, Martin. Namun rasa penasarannya
terhadap keberadaan Anton, sang kakak, semakin menjadi-jadi sehingga ia
memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan mencari Anton. Namun investigasinya
menyeret ke masa lalunya yang kelam dan membuka takbir kenyataan yang jauh
lebih kelam lagi.
Sejak merilis materi-materi
promosi, terutama trailer, SKuT menunjukkan kemiripan dengan Lion, sebuah biopic tentang seorang
laki-laki India mencari kakak kandungnya setelah terpisah sekian lama. Benar
saja, ‘rasa’ film yang baru dirilis tahun 2016 lalu dan masuk bursa Oscar ini
dapat dengan jelas ditemukan bahkan di premise utamanya saja. Bedanya, karakter
utama diganti menjadi perempuan, ditambah isu anak jalanan yang dipekerjakan
oleh oknum tertentu dan kerap menjadi korban kekerasan yang memang menjadi isu
sosial yang realistis terutama di kota-kota besar di Indonesia, elemen court
drama, dan sedikit bumbu roman yang mengingatkan saya akan Heart (iya, Heart yang
dibintangi Acha Septriasa, Irwansyah, dan Nirina Zubir tahun 2006 silam itu).
Arahnya cukup terbaca, tapi sebenarnya tetap bisa jadi menarik.
Fajar membuka film dengan
introduksi yang lebih terasa seperti rangkaian footage di sebuah video musik,
ketimbang alur yang bergerak maju secara runtut. Feel ini makin terasa karena
iringan musik dan lagu-lagu anak yang dibawakan dengan aransemen a la choir.
Untung saja selepas introduksi, plot mengalir dengan lebih lancar. Aura yang
kelewat kelam sedikit lebih mereda dan pace drama-nya berjalan dengan pace yang
cukup seimbang. Tak kelewat lambat maupun berlarut-larut, tapi juga tak
terlampau cepat untuk membuat penonton merasakan emosi yang ingin disampaikan.
Court drama-nya memang tak
se-intriguing film-film yang memang fokus sebagai court-drama. Kesemuanya
digerakkan dengan biasa saja karena sudah sangat jelas terlihat. Tak ada
misteri ataupun teka-teki tertentu yang membuatnya menjadi lebih appealing untuk
diikuti. Untung saja pace pergerakannya masih cukup lancar dan tak
bertele-tele. Punya momentum-momentum emosional yang cukup berhasil ‘menggerakkan’
saya pula. Konfliknya yang tak mudah kemudian dihadirkan dengan cukup rasional
dan mengalami perkembangan yang natural. Tentu ini juga faktor akting, terutama
dari Bunga Citra Lestari sebagai Angel dewasa, Joe Taslim sebagai Martin,
Lukman Sardi sebagai Om Rudi, Rifnu Wikana sebagai Asep, dan Aura Kasih sebagai
Ningsih. Begitu
juga bintang-bintang cilik, Bima Azriel dan Izzati Khanza yang sulit untuk
tidak membuat hati penonton terenyuh. Hanya saja mungkin ada dialog yang tak perlu dibawakan oleh Rifnu
karena alih-alih memberi emosi lebih, justru merusak momen yang susah untuk
tidak memancing tawa penonton.
Tak ada kendala berarti di
teknis. Artistik dari Ade Gimbal justru terlihat begitu menonjol, terutama
untuk interior rumah Om Rudi sampai eksterior-eksterior Sydney. Permainan
cahaya dan color grading yang vibrant bak lampu-lampu neon kota memperkaya
visual meski kerap harus mengorbankan beberapa bagian gambar yang menjadi
kelewat gelap pekat, seperti bibir BCL, misalnya. Dibidik dengan sangat baik
pula oleh sinematografi Yudi Datau, terutama lewat pergerakan kamera yang
seirama dengan pace film. Editing Ryan Purwoko menjaga pace film dengan cukup
baik, kendati di babak pertamanya lebih terasa seperti rangkaian footage semata
di video musik ketimbang introduksi sebuah film yang punya plot bergerak
runtut. Musik dari Andhika Triyadi mempertegas feel kelam dan melankoli, tapi
tak sampai kelewat sendu atau depresif. Berpadu serasi pula dengan aransemen
lagu-lagu anak klasik a la choir.
Overall, saya sama sekali tidak
keberatan dengan ‘inspirasi’ Lion
yang memang cukup jelas terasa. Tidak pula dengan ‘cara’-nya dalam menguras air
mata penonton yang ternyata masih jauh lebih ‘elegan’ dibandingkan disease-porn
(istilah untuk film-film yang kelewat mengeksploitasi penyakit sebagai
tear-jerker) kebanyakan, termasuk SKuT versi 2011 sekalipun. Saya justru
menghargai niatannya mengangkat tema sosial seperti ini untuk meningkatkan
kesadaran dan kepedulian, terutama orang tua, terhadap anak-anak serta
bahaya-bahaya yang mengitarinya. Namun men-‘jual’-nya sebagai film keluarga,
apalagi anak-anak dengan gimmick promosi lagu-lagu anak yang diaransemen ulang,
jelas salah sasaran. Apa yang dihadirkan di sini tak hanya kelewat kelam, tapi
juga tergolong kelewat kejam dan inappropriate untuk anak-anak. Bahkan ada satu
adegan yang harus di-blur karena instruksi revisi dari LSF. Yes, it is a movie
about children, but doesn’t mean that it’s for children.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.