3/5
Action
Adventure
Based on Book
Comedy
Drama
England
Gore
Hollywood
Horror
Parody
Pop-Corn Movie
Romance
Socio-cultural
The Jose Flash Review
Zombie
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Pride and Prejudice and Zombies
Di antara karya-karya sastra
Inggris, novel Pride & Prejudice
karya Jane Austen menjadi salah satu yang paling populer. Bagi Jane sendiri,
novel tentang lima gadis Bennet juga merupakan novel yang paling populer.
Berkali-kali diangkat ke berbagai medium, terutama TV dan layar lebar, tahun
2016 ini difilmkan versi ‘parodi’-nya, Pride
and Prjudice and Zombies (PPZ). Jangan salah, versi ini juga diangkat dari
versi novel parodi yang ditulis oleh Seth Grahame-Smith tahun 2009. Siapa
sangka novel parodi ini berkembang menjadi franchise tersendiri, mulai graphic
novel, interactive e-book, video game, bahkan clothing line. Novel ini juga
yang ‘menginspirasi’ genre mash-up lainnya, seperti Sense and Sensibility and Sea Monsters dan Abraham Lincoln: Vampire Hunter (yang terakhir sudah diangkat ke
layar lebar lebih dulu tahun 2012 lalu). Rencana adaptasi film PPZ sebenarnya
sudah ada sejak 2009. Bahkan sutradara sekelas David O. Russell sempat didapuk
menjadi komando. Sayangnya bongkar pasang cast dan crew membuatnya terhambat
hingga baru benar-benar mulai produksi tahun 2014 dan siap tayang Februari 2016
ini.
Kelima saudari Bennet saling
berlomba-lomba untuk menarik perhatian pria dan menikahinya. Ini didukung pula
oleh sang ibu, Mrs. Bennet yang seolah-olah seperti ‘menjual’ putri-putrinya.
Di tengah serangan para zombie di Inggris, Mr. Bennet membekali kelima putrinya
dengan ilmu bela diri di Cina. Menurut Mrs. Bennet ini justru membuat kelima
putrinya semakin susah menarik perhatian pria kaya dan bangsawan. Adalah Elizabeth
Bennet yang paling tidak suka dengan ide buru-buru kawin, tapi sebenarnya jatuh
cinta kepada Mr. Darcy, bangsawan yang datang ke desa mereka untuk
menginvestigasi serangan zombie. Sayangnya, Mr. Darcy bersikap angkuh dan
sering mengejek Elizabeth di belakangnya. Di saat yang bersamaan keluarga
bangsawan kaya raya Bingley, pindah ke desa mereka. Salah satu yang menarik
perhatian adalah pemuda tampan, Mr. Bingley yang diharapkan memilih satu dari
kelima saudari Bennet.
Ada pula Parson Collins yang terang-terangan
menyampaikan keinginannya menikahi salah satu saudari Bennet. Terakhir,
prajurit Mr. Wickham yang terlihat tampan dan sopan, yang sempat berhasil
menarik perhatian Elizabeth. Ternyata Mr. Wickham punya masa lalu dengan
keluarga Mr. Darcy yang membuat mereka kini tak akur. Wickham mengusulkan
perundingan dengan kaum zombie demi masa depan yang lebih baik. Ide gila ini
tentu ditolak mentah-mentah oleh Mr. Darcy dan sang bibi yang terkenal sebagai
pemimpin pembasmi zombie, Lady Catherine de Bourgh. Hubungan antara pria-pria
ini dengan saudari Bennet semakin memuncak seiring dengan peperangan melawan
para zombie.
I have to admit, memadukan kisah
klasik Pride & Prejudice yang
kental nuansa feminisme dan perubahan budaya kuno menjadi modern, dengan zombie
terdengar asal. Betul, di versi layar lebar pun, kedua elemen yang
berseberangan ini tak mampu menyatu dengan baik. Terutama elemen zombie yang
terkesan hanya tempelan semata, tanpa kaitan yang logis dengan plot utamanya.
But hey, try to see PPZ as a light pure entertainment show. Ternyata ia menjadi
sajian yang cukup menghibur, terutama saat menggelar adegan-adegan laga gory
yang tak ditahan-tahan meski mengantongi rating PG-13.
Sebagai lead character,
Elizabeth, Lily James mampu menarik simpati penonton lewat sudut pandang
pemikirannya yang lebih modern ketimbang saudari-saudarinya. Ketika melakukan
adegan aksi pun Lily semakin terlihat menarik untuk disimak. Meski harus diakui,
chemistry-nya dengan Sam Riley tak terasa begitu terasa kuat. Aktor-aktris
pendukung, mulai Sam Riley sebagai Mr. Darcy, Douglas Booth sebagai Mr.
Bingley, Matt Smith sebagai Parson Collins, Jack Huston sebagai George Wickham,
dan Lena Headey sebagai Lady Catherine de Bourgh, memeberikan performa yang
sama menariknya bagi penonton sesuai porsi masing-masing. Sayang, saudari
Bennet lainnya; Bella Heathcote sebagai Jane, Ellie Bamber sebagai Lydia,
Millie Brady sebagai Mary, dan Suki Waterhouse sebagai Kitty, tak punya porsi
yang cukup untuk mencuri perhatian penonton, selain sekedar pelengkap yang bisa
diperankan siapa saja.
Tak ada yang benar-benar istimewa
dari teknis PPZ selain desain produksi yang tergolong niat untuk genre parodi,
terutama desain kostum dan set. Sinematografi Remi Adefarasin didukung editing Padraic
McKinley cukup mendukung adegan-adegan aksi yang tetap terasa seru. Tata suara
yang ditampilkan cukup terdengar mantap lewat deep bass, terutama saat
jumpscare, serta pembagian kanal surround yang juga terdengar jelas.
Penampilan para gadis Bennet
sebagai pembasmi zombie yang kick-ass harus diakui menawarkan daya tarik
tersendiri. Seksi dan keren. Elemen plot utama yang sebenarnya lebih dominan
juga disajikan dengan bumbu humor di mana-mana (tapi tidak sampai jatuh menjadi
berlebihan), yang menyebabkan laju cerita juga terasa makin segar. Tak benar-benar
istimewa apalagi mashup yang tidak menyatu dengan sinergi yang pas, tapi hasil
akhir PPZ masih cukup menghibur.
Lihat data film ini di IMDb.