3/5
Hollywood
Horror
Pop-Corn Movie
Psychological
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Boy
Boneka sudah menjadi subjek film
horor sejak lama. Terakhir, 2013 lalu kita mengenal sosok Annabelle dari The Conjuring yang akhirnya punya film
berdiri sendiri yang meski kualitasnya biasa saja tapi konon berhasil mencatat
di atas 1 juta penonton di Indonesia saja. Ini adalah prestasi yang menarik,
mengingat biasanya tak sampai lima judul film impor per tahun di Indonesia yang
berhasil menyentuh angka keramat 1 juta penonton. Awal tahun 2016 ini ada satu
lagi sosok boneka di ranah horor yang diperkenalkan. Namanya Brahms, boneka
porselen yang diperlakukan bak anak laki-laki hidup biasa. Disutradarai William
Brent Hall yang pernah berpengalaman menggarap horor yang tergolong oke,
seperti Stay Alive, The Devil Inside, dan terakhir, Wer, film bertajuk The Boy ini sudah menarik perhatian sejak trailer pertama dirilis.
Lauren Cohan dari serial fenomenal The
Walking Dead pun didapuk sebagai karakter utama.
Menghindari sang kekasih yang
abusive, Greta menerima tawaran pekerjaan sebagai pengasuh anak keluarga Heelshire
yang tinggal di sebuah rumah besar di lingkungan terpencil di Inggris. Betapa
kagetnya ia ketika mendapati anak yang diasuhnya adalah sebuah boneka porselen
bernama Brahms yang diperlakukan bak anak sendiri oleh pasangan Heelshire. Ada
sejumlah peraturan yang harus ditaati Greta dalam mengasuh Brahms jika tidak
ingin sesuatu yang buruk terjadi. Greta yang merasa ini adalah sebuah
kekonyolan sering melanggar peraturan-peraturan itu. Menurut asisten pembelanja
keluarga, Malcolm, Brahms dulunya adalah putra keluarga Heelshire yang
meninggal dalam sebuah kebakaran saat berusia 8 tahun. Semenjak itu pasangan
Heelshire meperlakukan boneka itu sebagai Brahms selama 20 tahun. Ketika
pasangan Heelshire keluar kota, Greta mulai menerima konsekuensi dari peraturan-peraturan
yang ia langgar selama ini.
Layaknya kebanyakan film horor, The Boy membuka cerita dengan selubung
misteri yang bikin penasaran. Penonton diarahkan untuk mengira
asal-usul boneka Brahms serupa dengan tema-tema film horor sejenis. Dengan alur
yang tergolong lambat dalam menghadirkan gelaran jump scare dan pengembangan
cerita dalam membuka selubung misterinya, The
Boy tampak seperti just another average horror movie. Jika hendak di-rate
kadar thrill-nya pun masih tergolong di bawah rata-rata. Kemudian cerita mulai
bergerak ketika Greta mulai ‘berdamai’ dengan boneka Brahms. Arah cerita yang
sudah diterka-terka penonton sejak awal sedikit terbengkokkan menjadi semacam
thriller psikologis ketimbang horor. Fokus cerita sedikit melenceng ke karakter
personal Greta ketika memasuki babak keduanya. Memang masih relevan dengan
babak berikutnya, tapi turnover ini tidak terasa berjalan mulus. Ketika masuk
ke babak tiga, arah cerita benar-benar di-twist sedemikian rupa sehingga bisa
menimbulkan reaksi yang berbeda dari tiap penonton. Ada yang menyukainya karena
terasa fresh, tapi tak sedikit pula yang kecewa karena terkesan mengada-ada.
Dengan naskah yang tergolong jauh dari rapi untuk twist yang demikian dan seringkali bertele-tele pula, tiap
turnover-nya memang terasa kasar. Dengan tangkapan spontan, kesemuanya terasa
ganjil untuk dicerna. Setelah dianalisis lebih lanjut pasca menonton, mungkin
akan terasa ‘lebih bisa diterima’ meski tetap saja menyisakan
pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. Membuka peluang untuk sekuel dan
dijadikan franchise? Mungkin saja.
Lauren Cohan agaknya memang cocok
untuk peran di film horor. Sebagai lead ia menampilkan semua pesona yang
diperlukan untuk menarik simpati penonton. Tak terlalu istimewa memang, tapi
beban lead character mampu dilakoninya dengan baik. Rupert Evans yang pernah
kita lihat di Hellboy pun membangun
chemistry yang cukup meyakinkan dengan Cohan. Jim Norton dan Diana Hardcastle
sebagai pasangan Heelshire juga berhasil menampilkan nuansa misterius sekaligus
depresif pada karakter yang diperankan.
Desain produksi dan pemilihan
musik klasik untuk mengiringi film terasa paling mendukung nuansa seram The Boy. Tata suara turut pula membangun
nuansa dengan bass yang terdengar mantap, detail sound effect yang jernih
sekaligus renyah dengan pembagian kanal surround yang dimanfaatkan secara
efektif. Above all, sinematografi Daniel Pearl yang terasa sekali menonjol
lewat angle-angle dan pergerakan cantik. Bahkan bukan tidak mungkin kepentingan
keindahan sinematografi ini yang membuat alur The Boy menjadi terkesan lambat.
Secara garis besar, The Boy mungkin just another horror
movie with a doll as subject. Effort untuk membuat sesuatu yang berbeda,
terutama lewat secret revealing yang cukup signifikan, patut dihargai. Meski
pada hasil akhirnya masih belum berhasil menyatu dengan mulus. So nikmati saja The Boy sebagai film horor ringan biasa
tanpa ekspektasi apa-apa. It’s still entertaining, although you may will not remember
every details in the movie.
Lihat data film ini di IMDb.