3.5/5
Action
Adult
Adventure
Based on Book
Comedy
Drama
Franchise
Gore
Hollywood
Marvel
Pop-Corn Movie
Romance
Superheroes
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Deadpool
Setelah kegagalan remake Fantastic Four, Fox tak banyak punya
sisa franchise dari kerjasamanya dengan Marvel. Bisa dibilang hanya franchise
X-Men dan berbagai spin-off-nya yang menjadi tumpuan pencetak uang terbesar.
Setelah karakter Wolverine, ada beberapa karakter yang dipertimbangkan untuk
dibuatkan film sendiri. Beberapa nama yang sempat digosipkan ada Gambit,
Mystique, dan Deadpool. Ketiganya pernah tampil di film X-Men. Khusus untuk karakter Deadpool, selain sempat muncul di X-Men Origins: Wolverine, rencana
pembuatan filmnya sudah sempat tercetus sejak lama. Bahkan hak pembuatannya
sempat dipinang oleh Artisan tahun 2000 dan sempat pula dikabarkan akan
diproduksi oleh New Line Cinema tahun 2005, sebelum akhirnya dibeli oleh Fox.
Di tangan Fox, Deadpool punya penulis naskah sejak 2009
dan sutradara sejak 2011. Namun entah kenapa produksinya berjalan lambat.
Mungkin ada faktor ketidakpercaya-dirian Fox merilis film spin-off superhero
Marvel dengan rating R yang jelas-jelas akan membatasi segmen audience. Meski
ini bukan film bertemakan superhero pertama yang mendapat rating R. Sebut saja
franchise Blade, The Punisher, dan Kick Ass.
Ketidak-pedean juga ditunjukkan lewat budget terbatas yang akhirnya diperketat
lagi dan menunjuk sutradara yang masih debutant, Tim Miller. Miller sendiri
sebelumnya bertindak sebagai kreator opening sequence dari The Girl with the Dragon Tattoo dan Thor: The Dark World, serta creative supervisior untuk Scott Pilgrim vs the World. Untung saja
naskahnya ditulis oleh Rhett Reese dan Paul Wernick yang berpengalaman menulis
naskah action dengan bumbu dark comedy di Zombieland.
Ryan Reynolds yang dianggap sudah pas memerankan Wade Wilson di X-Men Origins: Wolverine, didapuk
kembali bergabung. Dirilis bertepatan dengan perayaan 25 tahun sejak kemunculan
karakternya untuk pertama kali di komik New
Mutants #98, film Deadpool siap
berkompetisi di bulan yang tergolong sepi penonton.
Film dibuka dengan sebuah adegan
slowmotion chaotic yang diiringi narasi the origin of Deadpool. Wade Wilson
adalah seorang mantan pasukan khusus yang bekerja sebagai mercenary yang
di-organize di sebuah bar. Ia bukanlah pembunuh bayaran. Ia lebih memilih
kerjaan untuk ‘memberi pelajaran’ orang yang layak mendapatkannya. Hidupnya
berubah ketika ia jatuh cinta dengan seorang stripper/hooker bernama Vanessa.
Bersamanya, hidup Wade menjadi lebih punya arti dan tujuan. Namun kesemuanya
terancam ketika Wade didiagnosis kanker. Di saat hampir putus asa, datanglah
pria misterius yang menawarkan kesembuhan dengan menjadi sukarelawan eksperimen
penciptaan superhero. Wade tidak tertarik menjadi superhero. Tujuan utamanya
adalah menjadi selalu ada untuk Vanessa. Siapa sangka ternyata eksperimen ini
justru menjadikannya lebih buruk. Tak hanya merubah wajahnya menjadi bak Freddy
Krueger. Kompensasinya, ia punya kekuatan mutant yang istimewa, termasuk
fast-healing. Hanya satu yang tak berubah: selera humor dan mulut yang tak
berhenti berceloteh. Tujuan utamanya kini hanya satu: mencari Francis alias
Ajax yang menjadikannya seperti sekarang, meminta serum penawar supaya bisa
jadi sedia kala, dan kembali bersatu dengan Vanessa.
Serupa dengan X-Men Origins: Wolverine, Deadpool adalah spin-off yang lebih
berfokus untuk menceritakan the origin story dan bersifat lebih personal ketimbang
higher purpose yang bersifat global seperti film induknya: X-Men. Membuka film dengan adegan slowmotion chaotic sebagai acuan
narasi cerita, jelas tujuan utama Deadpool
adalah ingin mengajak penonton bersenang-senang, di balik plotnya yang
sebenarnya just another superhero origin story. Benar sekali, kekuatan utama
yang menjadikan ia menarik adalah mulut Wade Wilson yang tak henti-hentinya
melontarkan joke-joke cerdas, terutama sexual referenced jokes dan pop-culture
referenced jokes. Coba hitung saja ada berapa banyak pop culture yang disebut
yang membuat penonton (yang paham) terbahak-bahak. Ada X-Men sendiri, The Matrix,
Aliens 3, Sinead O’ Connor, Taken 3, Oldboy, The Godfather, Blade Trinity, bahkan Ryan Reynolds
sendiri. Wade Wilson yang berbicara langsung kepada penonton dan candaan
seolah-olah mereka sedang berada pada produksi film bersangkutan juga beberapa
kali dimasukkan untuk semakin menguatkan kesan gokil dan ‘main-main’. ‘Jualan’
kedua Deadpool tak lain tak bukan
adalah adegan-adegan violence yang jauh lebih gory dan blak-blakan ketimbang
film-film X-Men yang memuat adegan
pertarungan Wolverine. That all were really really worth its R-rated.
Sayangnya, that’s all it got to
entertain the audiences. Ada banyak aspek yang terabaikan sebagai kekuatan
penunjang segala fun stuff-nya. Premise utama tentang perjuangan seorang pria
demi orang tersayang yang seharusnya bisa jauh lebih menyentuh dan menjadi
pilar kekuatan, tertutupi oleh style dirty jokes yang juga diaplikasikan untuk
romance aspect-nya. Maka tak salah pula jika ada penonton yang merasa karakter
Deadpool kurang sympathetic. Tak salah juga jika saya menyebut Deadpool all mouth, less heart.
Melanjutkan peran dari X-Men Origins: Wolverine, Ryan Reynolds
semakin memperkuat karakter Wade yang super cerewet tapi dengan celotehan
menggelitik nan cerdas. Penonton mungkin akan mudah jatuh cinta dengan selera
humornya, bukan hatinya, but hey it’s just a start. Give him some times to
develop the character even further. Di lini lawan, Ed Skrein sebagai
Francis/Ajax jelas lebih cocok memerankan karakter villain ketimbang jagoan
seperti di Trainspotting: Refueled.
Naskah memang tidak memberikan dimensi dan kompleksitas lebih kepada
karakternya, tapi Ed tampil cukup meyakinkan pun kharismatik sebagai seorang
villain. Stefan Kapicic (suara) dan Andre Tricoteux (aktor motion capture) yang
berperan sebagai Colossus, Brianna Hildebrand sebagai Negasonic Teenage
Warhead, dan tentu saja, Gina Carano sebagai Angel Dust, menjadi mutant
pendukung yang cukup berkesan di balik dimensi karakter yang memang terbatas.
Sementara yang menjadi screen stealer, ada Morena Baccarin sebagai Vaness yang
mana chemistry-nya bersama Reynolds terkesan asyik, T.J. Miller sebagai Weasel,
Jed Rees sebagai ‘Agent Smith’ yang somehow sangat mirip Hugo Weaving, Karan
Soni sebagai Dopinder, dan tentu saja, Leslie Uggams sebagai Blind Al.
Untuk ukuran film action
superhero, Deadpool memang tidak
menunjukkan special effect yang benar-benar istiewa, tapi menggunakan segala
upaya yang maksimal untuk memberikan wow-effect. Tentu ini tak lepas dari
dukungan sinematografi Ken Seng.
Tak ada adegan yang di-shot dengan kamera IMAX dan tidak banyak meampilkan
grande-look, menonton Deadpool dengan
format IMAX memang tak terlalu terasa istimewa. But hey, seeing a superhero
movie with lots of action sequences will always look more enjoyable. Kelebihan
menonton format IMAX justru lebih terasa dari segi tata suara yang dahsyat.
Dengarkan saja ketika Negasonic mengeluarkan api sebelum menyerang. Deep bass,
crisp, clear, dan maximum use of surround’s channels separation. Deadpool terasa sangat dahsyat. Editing
Julian Clarke yang serba dinamis terasa pas bersinergi dengan alur film.
Terakhir, meski scoring yang diracik Junkie XL tidak terasa begitu istimewa, tapi
pemilihan lagu-lagu hits 80-90’-an seperti Angel
in the Morning dari Juice Newton, Shoop
dari Salt-N-Pepa, X Gon’ Give it to Ya dari
DMX, dan tentu saja, Careless Whisper
dari Wham! jelas menjadi special treat buat anak gaul 80-90’-an.
Well yeah… sebagai paket hiburan,
Deadpool mungkin terasa seperti salah
satu film Marvel paling gokil, mengasyikkan, dan tak senonoh. Jadi jika Anda
tidak terlalu familiar dengan karakter Deadpool dan sekedar mencari hiburan
ringan yang menghibur, it’s definitely for you. Tapi jika Anda mengharapkan
kedalaman lebih, ia mungkin bisa jadi mengecewakan. But hey, bukannya most of
us see a superhero movie just to have fun? If you answer yes, then watch it
now! Oh ya, saya tidak akan menghimbau jangan ajak anak-anak menonton film ini,
karena saya tahu ia tidak akan memberikan efek psikologis yang signifkan ke
anak-anak. I’ve been there as a kid and look at me now, I survive!
Lihat data film ini di IMDb.