3.5/5
Comedy
Drama
History
Indonesia
Pop-Corn Movie
Psychological
Romance
Socio-cultural
The Jose Flash Review
visual poetry
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Aach... Aku Jatuh Cinta
Di mata internasional, nama Garin
Nugroho sudah dikenal sebagai sineas asal Indonesia yang karyanya diakui punya
kualitas dan keunikan. Kalau mau dianalisis, karya-karya filmnya memang punya
ciri khas tersendiri. Misalnya gaya a la opera yang divisualisasikan secara
sinematis, dialog-dialog yang puitis tapi tetap dekat dengan bahasa masyarakat
Indonesia sehari-hari, bahkan tak jarang menggunakan bahasa daerah, dan unsur
musik serta tari yang nyaris tak pernah ketinggalan dari karya-karyanya. Di Aach… Aku Jatuh Cinta (AAJC), Garin yang bekerja sama dengan Multivision Plus Pictures, sekali lagi mencoba mengadaptasi kisah cinta klasik bak Romeo dan Juliet (nama
karakternya saja Rumi – yang juga mengacu pada nama sastrawan Persia- dan
Yulia) dengan gaya visualisasi khasnya. Nama Chicco Jerikho yang sedang high demand
dan Pevita Pearce yang juga begitu populer dipasang sebagai cast utama.
Rumi dan Yulia bertetangga sejak
kecil. Rumi dengan segala kejahilannya sering mengungkapkan rasa cintanya
kepada Yulia. Meski sering dibuat kesal, Yulia sebenarnya juga menaruh hati
kepada Rumi. Namun perubahan kondisi sosial ekonomi era ’70-’80-an turut
mengubah hubungan mereka berdua. Ibu Rumi meninggalkan dirinya dan sang ayah
seiring bisnis limun sang ayah yang semakin surut dikalahkan oleh arus budaya
konsumtif modern. Puncaknya, Rumi dan ayahnya pun berpindah, meninggalkan Yulia
dalam ketidakjelasan. Satu-satunya jalan mereka berkomunikasi adalah lewat
surat yang dimasukkan ke dalam botol limun di tempat tersembunyi. Sementara
keluarga Yulia pun tak lebih baik. Sang ayah yang seorang bule meninggalkan
ibunya. Sang Ibu pun harus berusaha keras untuk menyambung hidup lewat usaha
konveksi yang dimulai dari nol. Seiring dengan pergantian era demi era, kisah
asmara Rumi dan Yulia masih terus-menerus diuji.
Secara storyline, mungkin tak ada
yang benar-benar istimewa selain kisah asmara manis yang berlika-liku seiring
dengan berkembangnya jaman. Namun AAJC mentransformasi storyline asmara klasik
itu dengan pendekatan visualisasi yang menarik. Tak hanya gaya opera yang
menjadi ciri khas Garin, tapi juga kondisi sosial-budaya dan ekonomi yang
menjadi background cerita. Narasi yang disampaikan lewat buku harian Yulia
lebih banyak membuat penonton membaca kisah asmara mereka dari sudut pandang
Yulia. Sehingga penonton tetap akan dibuat penasaran, menerka-nerka bagaimana
perasaan Rumi sebenarnya ketika menghilang dan kerap sesekali muncul secara
misterius. Konsep chaotic love story memang menjadi begitu terasa apalagi lewat
visualisasi yang mungkin memang dibuat terasa ‘kacau’ dan sedikit nakal juga.
Beberapa cut antar adegan turut mendukung konsep ini. Kacau, tapi indah, manis,
dan puitis luar biasa.
Pevita Pearce yang selama ini
lebih dikenal lewat peran-peran tipikal gadis cantik dan manis di film-film
remaja ringan, kemampuan aktingnya terasa naik kelas lewat peran Yulia yang
lebih dewasa dan punya kompleksitas karakter lebih dibandingkan biasanya.
Nyatanya Pevita mampu melakoninya dengan baik, termasuk pula dalam menjalin
chemistry yang meyakinkan dengan Chicco Jerikho. Tarik-ulur hubungan mereka
menjadi rollercoaster kisah asmara yang terasa manis. Chicco sendiri berhasil
tampil nakal, gila-gilaan, sekaligus depresif dan misterius lewat transformasi
yang wajar dan hidup. Annisa Hertami dan Nova Eliza sebagai ibu Yulia dan Rumi
tampil tak kalah menonjol meski porsinya tak sebanyak Chicco-Pevita. Terakhir,
tentu saja penampilan aktor cilik Bima Azriel sebagai Rumi kecil yang tampil
tak kalah baiknya dengan Chicco meski punya kompleksitas karakter yang serupa.
Departemen artistik memegang peranan
paling penting dalam menghadirkan set multi era dengan begitu signatural. Mulai
warna-warni vibrant ala 70-an, potongan-potongan busana yang stylish sesuai
eranya, hingga interior rumah yang memfusi budaya Jawa tradisional dan Barat
modern dengan tak kalah cantiknya. Salah satu shot terbaik tentu saja siluet
Rumi dan Yulia di balik layar latihan drama panggung Romeo & Juliet. Batara
Goempar Siagian sebagai penata kamera mampu memframing tiap keindahan desain
produksinya, ditambah angle-angle sinematis plus pergerakan kamera dinamis yang
membuat alur AAJC berjalan makin menarik.
Musik yang menjadi salah satu
elemen terpenting untuk film-film Garin berhasil diisi oleh scoring Charlie
Meliala dan lewat lagu-lagu lawas Ismail Marzuki yang bisa terus-menerus menghantui
ingatan penonton jauh setelah filmnya berakhir, seperti Dari Mana Datangnya Asmara. Khikmawan Santosa dan Mohamad Ikhsan
Sungkar menjaga keseimbangan yang pas antara score sebagai salah satu elemen
terpenting dalam mengaduk-aduk emosi cerita, kejelasan dialog, dan tata suara
yang hidup.
AAJC memang tidak menawarkan
kisah asmara yang ribet atau muluk-muluk. Toh cinta sejatinya adalah hal yang
sederhana. Dengan gaya penceritaan opera a la Garin, visualisasi yang serba
cantik dan puitis, serta musikalitas yang mendukung, AAJC menjelma menjadi kisah cinta penuh
kekacauan yang tetap menarik untuk disimak dan dinikmati. Bahkan mungkin
berbagai elemennya juga bakal terus menginspirasi berbagai trend populer.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.