3.5/5
Awards winner
Based on a Play
Drama
England
Europe
Hollywood
literature
Psychological
Shakespeare
The Jose Flash Review
tragedy
visual poetry
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Macbeth (2015)
Bagi publik Indonesia, nama
William Shakespeare mungkin hanya familiar sebagai penulis dari kisah cinta
Romeo and Juliet. Padahal Shakespeare dikenal sebagai salah satu sastrawan
paling produktif. Tak hanya novel, tapi juga drama panggung. Salah satu yang paling
populer dan sering diadaptasi ke dalam banyak medium adalah Macbeth. Di ranah film, yang paling
populer mungkin karya sutradara Roman Polanski tahun 1971 dan Akira Kurosawa, Throne of Blood tahun 1957 yang menjadi
favorit aktor Michael Fassbender. Nama aktor yang sedang menjadi salah satu
favorit ajang penghargaan internasional ini lah pemeran karakter Raja
Skotlandia lalim versi terbaru. Bangku penyutradaraan dipercayakan kepada
sineas Australia yang pernah dipuji lewat film The Snowtown Murders (2011), Justin Kurzel. Ke depannya, Kurzel
bakal kembali bekerja sama dengan Fassbender dan Marion Cotillard untuk film
adaptasi game Assassin’s Creed.
Hasilnya ternyata memuaskan. Macbeth
berhasil mendapatkan standing ovation selama 10 menit saat screening di Cannes
Film Festival ke-68 lalu.
Dianggap berjasa dalam perang
oleh Raja Skoltandia, Macbeth mendapatkan gelar bangsawan yang prestisius, The
Thane of Glamis. Prestasi ini membuatnya semakin terbuai ketika ia menerima
ramalan dari empat penyihir yang mengatakan bahwa dirinya akan menjadi Raja
Skotlandia di masa depan. Sang istri, Lady Macbeth, turut tergoda dan mengatur
siasat untuk menghabisi Raja Skotlandia yang sekarang. Namun setelah semua
berjalan sesuai rencana, muncul ramalan lain yang membuat hidup Macbeth tak
bisa tenang. Hukum tiap aksi pasti menimbulkan konsekuensi pun berjalan.
Jujur, saya tak begitu familiar
dengan jalan cerita Macbeth, selain
hanya nama yang begitu melegenda. Jadi ketika menyaksikan versi Kurzel ini,
saya benar-benar tanpa bekal atau ekspektasi apa-apa. Macbeth versi Kurzel ternyata mengusung gaya penceritaan yang
kental drama panggung Inggris klasik. Mulai dari dialog-dialog a la bahasa
Inggris lawas sampai layout visual yang bak staging drama panggung. Tapi jangan
salah, desain produksi dan sinematografinya membuat latar tiap adegannya begitu
cantik luar biasa dan tetap menghasilkan feel realistis, bukan panggung.
Dialog-dialog yang masih kental terasa ‘panggung’ berhasil ditransformasikan
oleh para aktornya menjadi dialog sehari-hari yang wajar. Kompleksitas
karakter-karakter utama memberikan layer yang menarik dalam cerita, terutama
karakter Macbeth dan Lady Macbeth. Sayangnya, alur yang tergolong lambat, tidak
sedinamis sinema masa kini kebanyakan, membuat Macbeth masih terasa segmented. Mungkin penonton umum atau awam
masih bisa memahami ceritanya, tapi belum tentu bisa menikmati secara utuh.
Apalagi ditambah subtitling dari distributor lokal yang masih tergolong
‘mentah’.
Sebagai Macbeth, Michael
Fassbender terasa seperti cast paling sempurna. Kompleksitas karater pahlawan
perang yang gagah berani tapi sekaligus punya ketakutan dan kekhawatiran yang
besar mampu ditampilkan Fassbender dengan keseimbangan yang bold dan wajar.
Marion Cotillard pun mengisi peran Lady Macbeth sama kuatnya dengan Fassbender.
Porsi Lady Macbeth yang sama besarnya dengan Macbeth dimanfaatkan dengan
maksimal oleh Cotillard untuk bersinar sepanjang durasi. In many parts,
Cotillard justru melebihi Fassbender. Akesen Perancis khas-nya masih dipertahankan
dengan alasan yang masih logis dan justru memberi kedalaman lebih pada
karakternya. Di lini supporting cast, Paddy Considine sebagai Banquo, Sean
Harris sebagai Macduff, David Hayman sebagai Lennox, David Thewlis sebagai
Duncan, dan Jack Reynor sebagai Malcolm
memberikan performa yang cukup maksimal sehingga mampu berkesan di benak
saya sesuai dengan porsi masing-masing.
Kekuatan terpenting dari Macbeth versi Kurzel jelas pada
visualisasi yang menghidupkan versi drama panggung klasiknya. Sinematografi
Adam Arkapaw dan desainer produksi Fiona Crombie tentu patut mendapatkan kredit
terbesar. Editing Chris Dickens pun merangkai gambar-gambar cantik Macbeth menjadi satu kesatuan cerita
yang runtut sehingga gaya penceritaannya yang segmented masih bisa dengan mudah
dipahami penonton awam sekalipun. Terakhir, scoring dari Jed Kurzel (adik
Justin Kurzel) yang minimalis tapi tetap terasa powerful mengiringi keseluruhan
mood Macbeth yang gelap.
Macbeth versi Kurzel mungkin bisa dianggap sebagai adaptasi yang
setia pada style klasiknya dengan dukungan desain produksi dan sinematografi
mumpuni. Hasilnya menjadi sebuah visual puitis yang megah secara sinematis. Gaya
bertuturnya masih segmented, tapi dengan mudah dipahami oleh penonton awam
sekalipun. Jadi jika Anda tertarik untuk mulai mempelajari karya-karya
Shakespeare, Macbeth versi Kurzel ini
bisa jadi permulaan yang cocok.
Lihat data film ini di IMDb.