2.5/5
Drama
Indonesia
Pop-Corn Movie
Romance
Teen
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
London Love Story
Selama ini Screenplay Production
dikenal lewat produk-produk sinetron dan terutama sekali, FTV yang ditayangkan
di stasiun TV nasional, SCTV dan Indosiar. Berdiri sejak 2010, produksi FTV
yang masif membuat produk-produk mereka menjadi simbol perwakilan dari kualitas
FTV secara keseluruhan di pertelevisian Indonesia. Meski jika mau dianalisis,
tiap produksi FTV-nya punya formula yang sama persis, dengan modifikasi
sedikit-sedikit di sana-sini. Namun tidak bisa dipungkiri, berhasil menjaring
penonton dengan jumlah yang masif pula. Tak hanya itu, jargon-jargon gaul anak
muda Indonesia kebanyakan juga lahir dari produk-produk mereka. Seperti baper,
gagal move on, dan sejenisnya. Tahun 2015 lalu, Screenplay Production berani
mencoba bermain di layar lebar dengan formula yang tak jauh berbeda, tapi
dengan production value yang ‘disesuaikan’. Lahirlah Magic Hour yang secara mengejutkan berhasil membukukan angka
859.705 penonton. Tentu kesuksesan ini tak lepas dari fans FTV-FTV produksi
mereka yang memang banyak, termasuk dua bintang terbesarnya yang diboyong,
Dimas Anggara dan Michelle Ziudith. Ingin mengulang sukses yang sama, awal
tahun 2016 menjelang Valentine’s
Day, Screenplay Production kembali menyatukan cast utama dan kru inti dalam
produksi kedua yang skalanya lebih besar serta diharapkan mampu mencetak angka
yang lebih besar pula, London Love Story
(LLS). Seperti judulnya, LLS memang melakukan syuting di London sebagai salah
satu bentuk peningkatan production value yang ditawarkan.
Cerita dibuka dengan Caramel dam
Dave yang berjanji di bawah matahari tenggelam untuk selalu saling mencintai.
Gelang karet bertuliskan ‘I Promise’ menjadi simbolnya. Bertahun-tahun kemudian
ternyata keduanya menjalani hidup sendiri-sendiri dan terpisah. Caramel
melanjutkan kuliah sambil kerja part time di London. Siapa sangka sebenarnya
Dave juga tinggal di London untuk berkuliah. Caramel didekati oleh Bima yang
bersahabat dengan Adelle, gadis muda yang mengejar cinta sampai London tapi
ternyata tidak jelas keberadaannya. Ketika hampir menjatuhkan diri di London
Bridge, Adelle diselamatkan oleh Dave yang akhirnya menawarkan tinggal
sementara di apertemennya. Dari sini Adelle baru menyadari bahwa Dave belum
bisa move on dari cinta lamanya beberapa tahun lalu yang tak lain dan tak bukan
adalah Caramel. Siasat mempertemukan mereka berdua kembali ternyata tidak
berjalan mulus. Sebuah kesalah-pahaman di masa lalu membuat Caramel terlanjur
sakit hati dan memilih untuk membenci Dave.
Plot LLS mungkin memang super
ringan dan dihiasi cukup banyak kebetulan a la sinetron. Tak jadi masalah sebenarnya
jika memang ditampilkan dengan alur yang mengalir lancar dan didukung teknis
yang mumpuni pula. I have to admit, LLS memang cheesy luar biasa, tapi saya
masih bisa menikmatinya berkat eye candy factor yang tak hanya datang dari
setting kota London, tapi juga desain produksi, terutama desain kostum. Penggambaran
kehidupan para karakter yang wild, young, and free juga menjadi pembangun mood
yang lebih menyenangkan, meski nantinya lebih banyak ‘galau’. Efeknya, meski
diwarnai kegalauan di sana-sini, LLS masih menjadi paket hiburan yang cukup
enjoyable.
Yang mengganjal saya adalah
dialog yang somehow mengganggu. Pertama, dialog-dialog cheesy tentang asmara
yang super dangkal tapi berusaha dibungkus dengan kalimat-kalimat yang
quotable. Coba Anda hitung ada berapa kali kata ‘terkadang’ sepanjang film,
semengasyikkan menghitung f-word dalam sebuah film Hollywood berating R. Kedua,
LLS memposisikan
karakter-karakternya, terutama Caramel, seperti gadis remaja labil (yang
sedihnya, memang merepresentasikan kebanyakan gadis remaja saat ini) yang tak
hanya bikin saya gemes dan ingin menamparnya, tapi dampak ekstrimnya bisa
sangat berbahaya. Saya benci ketika para remaja galau soal asmara sampai
bawa-bawa kematian. “Aku berharap mati sebelum ketemu kamu yang akhirnya hanya
menyakiti aku?” Oh, please… watch your mouth! Beware of what’s coming out from
your mouth, dear! Bayangkan jika pola pikir seekstrim ini termanifestasi pada
semua gadis remaja generasi ini!
Untung saja pada akhirnya,
setidaknya, LLS punya esensi yang cukup mengena agar para wanita tidak mudah
menaruh curiga dan punya negative thinking mengikuti emosi yang tanpa alasan,
sebelum benar-benar mengkonfirmasi kebenarannya. Penyesalannya bisa sampai bertahun-tahun
lho. Ini esensi yang terdengar klise tapi harus diakui masih banyak terjadi
pada wanita, tak peduli usia dan latar belakang budayanya. Sehari setelah
nonton LLS, saya menemukan esensi serupa di film indie Hollywood, All Roads Lead to Rome yang dibintangi
Sarah Jessica Parker. Bahkan 45 Years
yang aktris utamanya, Charlotte Rampling dinominasikan di ajang Oscar tahun
2016 ini, juga mengangkat isu yang senada. Ini bukti bahwa isu ini universal
bagi kebanyakan wanita. So yes, in this case, setidaknya LLS masih menyampaikan
nilai positif yang patut saya hargai di balik segala ke-cheesy-an-nya. Toh
ke-cheesy-an ini masih tetap berhasil menghipnotis target audience utamanya,
para gadis remaja, yang berkali-kali eargasm dengan dialog-dialog quotable yang
bertebaran di mana-mana.
Tak ada pemeran yang benar-benar
tampil luar biasa di sini, toh LLS juga tidak membutuhkan kemampuan akting yang
terlalu mumpuni untuk membangun ceritanya. Kendati demikian, Michelle Ziudith
dengan aura kecantikan fisiknya jelas menjadi sorotan utama sepanjang film.
Dimas Anggara juga mengimbanginya dengan kharismatik yang lebih dari cukup
untuk menghidupkan lead actor.
Di jajaran cast pendukung, Adila
Fitri sebagai Adelle juga punya kecantikan fisik yang mampu manfatkan dengan
cukup maksimal sehingga tampak bersinar. Dion Wiyoko yang asmaranya (lagi-lagi)
harus mengalah, memerankan karakter Bimo yang di sini terasa lebih berhasil
mengundang simpati penonton ketimbang peran serupa di Sunshine Becomes You beberapa waktu lalu. Ramzi sedikit
berkontribusi untuk menyegarkan nuansa LLS menjadi lebih ceria. Sedangkan Aaron
Ashab, Yunita Siregar, dan Ina Marinka, melengkapi eye candy factor LLS.
Tak ada yang benar-benar istimewa
di teknis, tapi tetap saja kerapian dan kemumpunian teknis yang memang niat,
sedikit banyak mempengaruhi kualitas dan kenyamanan menyaksikan LLS secara
keseluruhan. Sinematografi Rama Hermawan cukup apik membingkai setting-setting
cantik kota London dan interiornya hingga tampak maksimal. Pergerakan kameranya
juga smooth dan efektif dalam bercerita sekaligus memberikan efek sinematis
pada keseluruhan feel. Editing Wawan I Wibowo juga terasa dinamis dalam
bercerita dan menangkap youth spirit-nya, tanpa ada efek-efek berlebihan khas
sinetron atau FTV. Khikmawan Santosa, seperti biasa, bisa menjaga keseimbangan
yang pas antara dialog yang jernih dan score yang efektif. Terakhir, jangan
lupa theme song dibawakan Percayalah hasil
kolaborasi Raisa dan Afgan jelas menjadi salah satu gimmick yang bakal melejit
dari LLS.
In the end, LLS memang sajian corny dan cheesy yang sudah punya target audience tersendiri yang jumlahnya tidak sedikit:
penggemar FTV produksi Screenplay. Daur ulang formula berkali-kali, tetap saja
bisa menarik target audience-nya. Apalagi soal urusan membuat para gadis remaja
multiple eargasm lewat dialog-dialog quotable cheesy-nya. Jika Anda termasuk
yang familiar, LLS mungkin jadi sajian yang menghibur. Namun jika tidak, tak
perlu juga nekad nonton hanya untuk mengeluh pada akhirnya. As for me, meski berkali-kali
membuat saya ingin menampar karakter-karakternya gara-gara line yang diucapkan,
saya masih mengakui LLS enjoyable berkat segala elemen eye-candy-nya. Pun juga
esensi cerita yang ternyata akur dengan pendapat saya pribadi.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.