3.5/5
Based on a True Event
Drama
Family
Hindi
History
Humanity
leadership
Psychological
Socio-cultural
Survival
The Jose Flash Review
Thriller
War
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Airlift
Cerita kemanusiaan tentang
penyelamatan warga sipil di tengah berkecamuknya perang atau kerusuhan selalu
menjadi subjek film yang menarik. Sampai sekarang yang paling saya ingat adalah
The Schindler’s List karya Steven
Spielberg dan Argo karya Ben Affleck.
Keduanya sukses diganjar penghargaan di mana-mana dan ceritanya juga mampu
menarik simpati penonton. Tak kalah, tanah Hindustan juga punya kisah nyata
serupa dimana sebanyak 170.000 warga India dievakuasi dari Kuwait dengan
menggunakan pesawat terbang setelah melewati berbagai perjuangan yang mengancam
nyawa. Awal tahun 2016 ini, kisah penyelamatan tersebut diangkat ke layar lebar
oleh Raja Krishna Menon (Barah Aana
dan proyek selanjutnya, remake versi Hindi dari Chef-nya Jon Favreu) dengan bintang utama Akshay Kumar dan Nimrat
Kaur. Siapa sangka, film bertajuk Airlift
ini ternyata sukses secara komersial sekaligus dipuji oleh banyak pihak.
Cerita dimulai ketika seorang
pengusaha Hindi bernama Ranjit Katiyal yang sukses di Kuwait. Saking suksesnya,
ia seringkali merasa menjadi orang Kuwait yang lebih modern ketimbang tanah
leluhurnya. Kedigdayaannya diuji ketika tahun 1990, Kuwait diserang oleh Irak.
Awalnya, Ranjit mengira ketegangan politik ini hanya berlangsung sementara,
sehingga ia dengan entengnya menyuruh istrinya, Amrita, dan putri tunggalnya,
Simu, mengungsi sementara ke London. Ketegangan semakin menjadi ketika pasukan
Irak benar-benar menginvasi Kuwait dan membunuhi tiap warga yang lewat.
Satu-satunya jalan adalah mengungsi ke kedutaan India. Rupanya keputusan ini
pun tak memberikan banyak kelegaan karena di sana juga sudah mengungsi 500
orang keluarga dan kerabat staf kedutaan. Mereka semua terjebak di gedung itu
jika mau selamat. Mereka juga tak bisa mengungsi ke negara lain karena tiap
perbatasan dan bandara dijaga dengan sangat ketat.
Tak mau tinggal diam, Ranjit
mengupayakan berbagai cara untuk membawa orang-orang India ini pulang ke
negaranya. Mulai dari bantuan dari departemen luar negeri India sampai jalan
‘bawah tanah’ lewat kapal sampah. Jumlah pengungsi yang awalnya ratusan pun
membengkak menjadi 170.000 orang. Resikonya tak main-main. Nyawa ribuan orang
India menjadi taruhannya.
Di genre seperti ini, penentu
keberhasilannya adalah bagaimana ia bisa menyentuh sisi-sisi emosional
penonton. Misalnya ketegangan maksimal seperti yang pernah ditunjukkan oleh No Escape atau momen-momen kemanusiaan
yang menyentuh seperti di Schindler’s
List. Di menit-menit awal, Airlift
mencoba menampilkan keduanya tapi masih belum berhasil menimbulkan efek emosi bagi
saya. Seiring dengan berjalannya alur, akhirnya Airlift menampilkan beberapa aspek yang menarik dan berhasil
mengusik emosi sekaligus nalar saya. Pertama, perubahan karakter Ranjit sendiri
yang awalnya tidak peduli sama sekali dengan orang lain menjadi sosok yang
mengupayakan penyelamatan semua orang. Perubahan karakter yang kontras dengan
sang istri yang awalnya justru sebaliknya, tapi kini turut mendukung sang
suami. Kedua, seorang bapak tua, salah satu karakter pengungsi, digambarkan
selalu mengeluh dengan yang dialaminya, tanpa mau memahami upaya dan resiko yang
telah dilakukan Ranjit. Ia merasa Ranjit mempermainkan dirinya dan pengungsi
yang lain. Momen dimana Amrita membela suaminya dengan rasional di hadapan si
bapak, menjadi momen paling favorit saya. Tak hanya berhasil membangkitkan
simpati saya kepada karakter-karakternya, tapi juga menyentil sisi-sisi ego
manusia yang kerap muncul di saat-saat genting seperti di film.
Tak perlu meragukan kharisma
Akshay Kumar sebagai lead yang sudah kerap kali dibuktikannya. Di Airlift pun ia memberikan performa
maksimal pada karakternya yang punya perkembangan serta eksplorasi emosi paling
menarik untuk disimak. Ia berhasil menghidupkan kesemua tugas ini dengan sangat
baik dan jelas terasa. Tak terkecuali chemistry dengan Nimrat Kaur yang mungkin
tak membuat mereka jadi pasangan yang selalu manis, tapi setidaknya ada
beberapa momen penting bagi keduanya yang menunjukkan kekuatan hubungan yang
luar biasa.
Untuk visualisasi, Airlift menghadirkan kualitas visual effect yang
cukup, misalnya untuk adegan ledakan. Tak terlalu terlihat fantastis, tapi
sudah lebih dari cukup. Sinematografi dan desain produksi pun patut mendapatkan
kredit tersendiri dalam menghidupkan berbagai nuansa yang ditampilkan.
Sayangnya, entah asli dari masteringnya atau kondisi sound system di auditorium
tempat saya menonton, tata suara Airlift
terdengar di bawah rata-rata. Bisa jadi berbagai adegan emosional di awal-awal
film gagal ‘mengusik’ saya gara-gara tata suara yang terdengar kurang powerful
dan jernih. Sound effect dan scoring terdengar tenggelam dan pecah di banyak
bagian. Besar kemungkinan faktor mastering aslinya, karena saya tidak menemui
kualitas demikian di ruang auditorium yang sama untuk film berbeda.
In the end, Airlift mungkin tidak secara konsisten sempanjang film mampu
menggugah emosi saya. Namun ia punya momen-momen penting yang menampilkan
berbagai aspek menarik dari kejadian, yang pada akhirnya berhasil mengusik
nalar dan emosi saya sekaligus. So yes, Airlift
menghadirkan treatment yang lebih dari sekedar layak untuk peristiwa evakuasi
bersejarah yang sampai memecahkan rekor menerbangkan 170.000 orang pengungsi
dengan 488 penerbangan. Sayang untuk dilewatkan begitu saja.
Lihat data film ini di IMDb.