4/5
Awards winner
Drama
Indie
Indonesia
Politic
Romance
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
A Copy of My Mind
Tiap kali menelurkan karya, Joko
Anwar selalu menarik perhatian. Sejak debutnya sebagi penulis naskah di Arisan! dan sutradara di Janji Joni, Joko memang selalu
menyuguhkan tontonan yang tak hanya asyik diikuti, tapi seolah-olah dibawa ke
alternate universe (of Jakarta, most of the time). Atmosfer ini semakin terasa
di Kala (Dead Time), Pintu Terlarang, dan Modus Anomali. Trivia menyelipkan
berbagai hint project berikutnya juga menjadi gimmick menarik dari tiap
karyanya. Namun di project terbarunya, A
Copy of My Mind (ACOMM), Joko rupanya ingin mencoba sesuatu yang berbeda.
Dengan dukungan budgeting dari CJ Entertainment (Korea Selatan), ACOMM sudah
masuk banyak ajang penghargaan internasional dan nasional, termasuk memenangkan
3 dari 7 kategori nominasi di Festival Film Indonesia 2015 lalu.
Sari yang bekerja sebagai terapis
di Salon Yelo, salon kelas B di tengah rimba Jakarta, mulai bosan dengan
kehidupannya yang terasa tak ke mana-mana. Pulang dari kerja, ia lebih suka
berkeliling pusat DVD bajakan di Glodok, berburu DVD film tentang makhluk aneh
yang ditontonnya di kamar kos sepetak. Film memang jadi pelarian utama Sari di
Jakarta. Ia pun memberanikan diri melamar pekerjaan di spa yang lebih mewah
dengan harapan mengubah hidupnya yang monoton. Hidupnya pun makin berwarna
ketika bertemu seorang penerjemah subtitle DVD bajakan, Alek, yang nasibnya tak
beda jauh: terjebak menjadi sosok bukan siapa-siapa yang hanya sekedar ingin
menyambung hidup. Bahkan Alek tak punya satu pun kartu identitas diri. Meski
diawali dengan protes Sari atas subtitle asal-asalan dari DVD bajakan yang
dibelinya, perlahan Sari dan Alek saling menemukan dan merasa nyaman. Tantangan
datang ketika Sari menerima pekerjaan outgoing dari penghuni rutas kelas I,
Nyonya Mirna, yang membuat keduanya terjebak dalam pusaran teror bermuatan
politis.
Sejak menit pertama, saya cukup
terkejut dengan gaya visualisasi Joko kali ini. Jika biasanya ia suka
menghadirkan visualisasi alternate-universe yang serba cantik (bahkan di Pintu Terlarang, Joko ingin suasana
Manhattan untuk setting Jakarta-nya) dan classic cinematic ala old Hollywood,
maka ACOMM terasa sangat indie. Mulai dari tata kamera yang shaky (tapi tidak
sampai mengganggu atau bikin pusing), editing yang terkesan kasar, hingga sound
effect yang riuh bak perkampungan Jakarta yang sesungguhnya. Semua ini membuat
ACOMM terasa begitu realistik, just like daily Jakarta di mata warga-warga
perkampungannya.
Untuk urusan plotline, Joko masih
piawai membangun alur cerita klasik yang tak hanya enak diikuti, tapi tiap
menitnya membuat saya penasaran akan apa yang bakal terjadi berikutnya. It’s so
riveting and hypnotizing. Faktor utamanya mungkin saja karena Joko menghadirkan
kehidupan dunia yang spesifik dan menarik sebagai background cerita, yaitu
persalonan dan alur kerja produksi DVD bajakan. Pemilihan ini bukan
sembarangan, karena memang saling relevan serta mendukung dengan
konflik-konflik utama yang dibangun, baik dari segi romance maupun political
thriller-nya. Di babak berikutnya, romance yang terjalin antara Sari dan Alek
terasa begitu sensual, tak banyak bicara tapi tiap adegannya membangun
chemistry yang wajar, sehingga dengan mudah semakin mengikat perhatian
penontonnya. Keberanian keduanya melakoni adegan intim turut menarik perhatian
penonton. Film menjadi makin menarik ketika memasuki babak ketiga yang kental
nuansa political thriller-nya. Tak perlu aspek politis yang ribet dan
berbelit-belit karena memang dibidik dari kacamata Sari dan Alek yang tergolong
‘orang kecil’, ACOMM membuat penonton deg-deg’an dan merasakan ketegangan
maksimal lewat kemisteriusan yang minim score maupun dialog. Di akhir, ACOMM
memang tak berusaha menyikap tabir misteri tentang apa yang sebenarnya terjadi
di balik teror yang dialami Sari dan Alek. Tidak juga menjelaskan nasib mereka
kedua, tapi penonton diajak ikut merasakan menjadi keduanya. Setelah
rollercoaster emosi yang mengikat, penonton pun seolah ditunjukkan bahwa in the
end, yang terbaik mungkin hanyalah menjalani keseharian kita yang kesannya monoton
dan membosankan daripada terancam bahaya.
Kekuatan visualisasi Joko di
ACOMM didukung dengan kuat pula oleh penampilan para aktornya, terutama the
leads, Tara Basro dan Chicco Jerikho. Keduanya dengan sangat nyata dan natural
menghidupkan karakter masing-masing. Lihat saja ekspresi wajah Tara ketika
mengalami hal-hal kecil, seperti takjub melihat LED TV 65 inch, berubah menjadi
canggung ketika ditawari berbagai promo oleh sang SPB, atau ketika ia
merindukan kehadiran Alek. Sementara Alek dengan mudah menarik simpati penonton
lewat hal-hal kecil, seperti ketika menyiapkan makanan untuk induk semangnya,
atau ketika ia membela Sari lewat handphone. Pemeran-pemeran pendukung pun
turut memperkuat secara maksimal dengan porsi masing-masing, terutama Paul
Agusta sebagai Bandi, pemilik spa mewah yang di satu sisi menggelikan tapi bisa
berubah menjadi mengerikan, dan Maera Panigoro sebagai Nyonya Mirna yang
diam-diam punya aura yang tak kalah ‘mengerikan’-nya.
Meski punya konsep visual yang
realistik, natural, dan indie, bukan berarti teknis ACOMM asal-asalan.
Sinematografi Ical Tanjung jelas menghadirkan konsep visual tersebut dengan
kualitas yang tak asal-asalan. Shaky effect yang tak menggangu, fokus gambar
yang rapi terjaga sepanjang film sesuai kebutuhan adegan, serta komposisi yang
sinematis. Pujian juga patut dialamatkan kepada tata suara dari Khikmawan
Santosa yang memasukkan detail-detail realistik di tiap adegan. Mulai lagu-lagu
dangdut sayup-sayup yang membuat saya mengira ‘bocoran’ dari luar auditorium,
inaudible chatter, riuh jalanan dan suasana rombongan massa, hingga adzan
sholat yang bersahut-sahutan, mengiringi nuansa ‘mistik’ ACOMM. Terakhir,
pilihan musik dari Aghi Narotama dan Bembi Gusti yang bersinergi maksimal
dengan visualisasinya, seperti biasa makin menghipnotis penonton serta
memberikan sedikit sentuhan klasik dan berkelas, termasuk One Moon-Lit Night yang dibawakan oleh The Spouse dan A Copy of Your Mind yang dibawakan Aimee
Saras.
Surat cinta untuk kota Jakarta lewat film dengan berbagai kacamata memang sudah banyak, tapi ACOMM mencoba
mengajak penonton tak hanya melihat, tapi merasakan secara bold dan powerful,
kehidupan kaum kelas bawah yang tinggal di gang-gang sempit nan kumuh dan riuh.
Sangat mengikat dan menghantui, bahkan lama setelah film berakhir. Salut untuk
Joko yang secara brilian berhasil membangun nuansa yang diinginkannya secara
maksimal, meski lewat teknis yang tergolong minimalis. Semoga saja rencana
sebuah trilogi yang konon bakal bertajuk A
Copy of My Heart dan A Copy of My
Soul bisa terwujud, because I will be very excited to experience something
like this even more.