3.5/5
disease
Drama
Family
Father-and-Daughter
Indonesia
Pop-Corn Movie
stage performance
Survival
tearjerker
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
I Am Hope
Salah satu sub-genre yang populer
dibuat di ranah film Indonesia adalah disease drama atau drama tentang
penyakit. Sayangnya, kebanyakan hanya menonjolkan eksploitasi penderitaan untuk
menguras air mata penonton, sementara logika cerita termasuk detail fakta
medis, dikesampingkan. Satu-dua masih bisa berhasil, tapi lama-lama rupanya
penonton jenuh juga dan membuat beberapa judul harus gagal di pasaran. Lantas
apa perbedaan yang coba ditawarkan I Am
Hope (IAH), film tentang penderita kanker yang digagas oleh Wulan Guritno,
Janna Soekasah Joesoef, dan Amanda Soekasah ini?
Sebelum membahas filmnya, IAH
diawali sebagai gerakan kepedulian terhadap para penderita kanker. Misinya
memberikan dukungan, baik materiil dan moriil kepada penderita kanker untuk
sembuh dan menjadi cancer survivor. Awalnya dengan penjualan ‘gelang harapan’
yang dibuat dari sisa-sisa kain fashion desainer, Ghea Panggabean, sejak
Oktober 2014. Gerakan kemudian berkembang menjadi sebuah film yang diharapkan
bisa menyebarkan gerakan lebih luas lagi. Naskahnya ditulis dan disutradarai
oleh suami Wulan, Adilla Dimitri, dibantu oleh Renaldo Samsara. Di cast,
bintang muda yang sedang naik daun, Tatjana Saphira, Fachri Albar, Tio
Pakusadewo (yang mana istrinya, Yvonne Ligaya Simorangkir, sedang berjuang
melawan kanker, sehingga menjadi salah satu inspirasi naskah IAH), Ariyo Wahab,
Febby Febiola, dan Putri Pariwisata 2010, Alessandra Usman.
Sama seperti mendiang ibunya, Mia
memiliki passion yang begitu besar pada seni pertunjukan. Sayang di tengah usahanya
untuk mulai menulis naskah sebuah pertunjukan, Mia didiagnosis kanker
paru-paru. Ayahnya, Raja, yang dulu seorang komposer musik, ingin Mia fokus
pada treatment dan kesembuhan. Ia tak mau kehilangan Mia seperti sang istri
yang juga meninggal karena kanker. Sementara Mia justru melihat ini sebagai
tantangan untuk mewujudkan pementasan drama pertamanya, sebelum pertaruhan
hidup, selamat atau tidak dari kanker. Dengan bantuan David, seorang aktor
panggung yang jatuh cinta kepadanya, dan teman khayalannya yang selalu
memberikan harapan, Maya, Mia menawarkan naskah berjudul “Aku dan Harapanku”
kepada Rama Sastra, produser pertunjukan yang karirnya sudah sampai Milan. Di
tengah kondisinya yang terus menurun, Mia masih terus berusaha memperjuangkan
mimpinya memproduksi pementasan drama pertunjukan itu.
Secara garis besar, IAH terasa
sedikit berbeda dengan kebanyakan disease drama Indonesia. Terutama aspek
harapan yang menjadi garis besar cerita, bukan eksploitasi kesedihan semata.
IAH mungkin bukan yang pertama menawarkan cerita perjuangan melawan penyakit
mematikan seiring dengan perjuangan mewujudkan passion. Elemen cerita tentang
drama pertunjukan juga seperti berjalan terlalu mulus, tanpa hambatan berarti.
Tentu ini dilakukan untuk menjaga fokus cerita tentang perjuangan melawan
kanker. Atas nama tujuan tersebut, IAH masih tergolong berhasil. Lewat
adegan-adegan yang juga tak berusaha untuk menjadi tearjerker yang eksplisit,
IAH secara lembut dan perlahan memancing emosi penonton. Tak terasa beberapa
adegan tetap berhasil membuat saya tertegun dan berkaca-kaca.
Keberhasilan IAH memancing emosi
penonton tak lepas dari performa cast-nya. Terutama sekali Tio Pakusadewo yang
tak hanya membangun chemistry yang kuat dan luwes dengan Tatjiana, tapi juga
ekspresi wajar namun terasa mendalam di banyak adegan. Lihat saja ketika ia
menyanyikan lagu Kidung Abadi, atau
ketika ia berusaha menenangkan Tatjana. Bahkan ketika ia memimpin orkestra,
aksinya begitu meyakinkan dan kharismatik. Jujur, performa Tio, lengkap dengan
kacamata a la John Lennon-nya, berkali-kali membuat momen di IAH begitu
heartbreaking. Tatjana pun terasa sedikit naik kelas lewat karakter Mia. Meski
ada adegan menangis yang dilakoninya masih terasa sedikit dibuat-buat, secara
keseluruhan Tatjana menghidupkan karakter Mia dengan perkembangan yang terasa
wajar, realistik, dan pada akhirnya menjadi karakter yang lovable. Kehadiran Fachri
Albar, Ariyo Wahab, Alessandra Usman, dan Febby Febiola juga menjadi peran
pendukung yang cukup memorable meski tak sekuat Tio dan Tatjana. Terakhir,
taburan cameo superstar di adegan puncak, mulai Sandra Dewi, Sophia Latjuba,
Hamish Daud, Kelly Tandiono, dan banyak lagi, tentu menjadi eyecandy yang tak
boleh dilewatkan.
Tak perlu mempertanyakan kualitas
Yudi Datau sebagai penata kamera yang lagi-lagi berhasil mem-framing adegan
demi adegan menjadi begitu cantik dan pergerakan kamera yang sinematik. Tata
artistik dan tata kostum juga patut mendapatkan kredit, terutama dalam
menghidupkan drama panggung “Aku dan Harapanku”. Meski poster-poster film
musikal yang tampak low-res di set kamar Mia tentu terasa menggelikan. Aline
Jusria mengedit IAH sehingga menjadi kesatuan yang enak dinikmati, membuat
cerita yang sebenarnya tak bergerak terlalu banyak bisa tetap mengalir lancar.
Adegan-adegan flashback yang cukup banyak (bahkan menjadi penggerak cerita) pun
tak terasa berlebihan. Terakhir, tata musik dari Aghi Narottama dan Bembi
Gusti, serta pemilihan lagu-lagu, menjadi pengiring adegan yang terasa begitu
tepat dan secara halus menggerakkan emosi penonton. Mulai Nyanyian Harapan dari RAN, Kasih
Jangan Kau Pergi dari Yura, dan tentu saja Kidung Abadi dari Almarhum Chrisye yang berhasil menyentuh saya
tiap kali mendengarkannya.
So yes, dengan lebih menekankan
pada elemen harapan dan survival, IAH terasa sedikit berbeda dengan kebanyakan
disease drama yang eksploitatif. Di balik naskah yang sebenarnya biasa saja,
ternyata Adilla Dimitri sukses memvisualisasikannya, bahkan juga memancing
emosi penonton secara lembut dan perlahan. Ditambah campaign pendonasian
sebagian keuntungan film kepada pasien kanker, IAH tentu layak mendapatkan
dukungan lebih.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.