3D
4/5
4DX
Action
Adventure
Blockbuster
Box Office
Drama
Family
Fantasy
Franchise
Hollywood
Oscar 2016
SciFi
sequel
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Star Wars: The Force Awakens
Star Wars boleh jadi fenomena global sejak tahun 1977, tapi
kenyataan tidak bisa bohong. Special Edition re-release tahun 1997 di Indonesia
flop. Tidak tayangnya Episode I: The
Phantom Menace boleh pakai alasan tidak ada layar bioskop di Indonesia yang
tidak memenuhi standard THX. tapi flopnya Special
Edition bisa jadi salah satu alasan pihak bioskop lokal enggan mengeluarkan
banyak dana untuk upgrade demi Episode I.
Sebuah pertaruhan yang tidak main-main. Episode
II tayang setelah diundur 3 bulan setelah jadwal US, dan Episode III pun pendapatannya di
Indonesia tergolong biasa saja, apalagi jika dibandingkan worldwide gross yang
selalu di atas US$ 500 juta, bahkan Episode
I melampaui angka US$ 1 miliar! Ini fenomena yang unik sebenarnya,
mengingat ada cukup banyak merchandise dan komunitas yang mengaku fanbase Star Wars.
10 tahun berselang, setelah Lucasfilm dibeli oleh Disney dan J.J. Abrams yang sebelumnya berhasil me-remake
Star Trek, dipercaya untuk
melanjutkan saga legendaris Star Wars.
Beban tugas yang dipikul cukup berat: mempertahankan reputasi sekaligus
menjaring fans baru yang bahkan mungkin sebelumnya sama sekali awam dengan Star Wars. Impact-nya jika berhasil pun
bakal sangat besar. Mau tak mau fans baru pasti akan memburu merchandise dan
film-film lawasnya, dan itu adalah komoditas tanpa batas bagi Disney (lewat
Lucasfilm, tentunya). Maka Episode VII
yang diberi tajuk The Force Awakens
(TFA) ini wajib memuaskan fans lawasnya, sekaligus membuat penonton baru tetap
paham, bahkan tertarik untuk mengikuti seri-seri sebelumnya. Di Indonesia
sendiri, dimana habit penonton sudah sangat bergeser, yaitu dari nonton karena
tertarik, menjadi nonton demi status ‘kekinian’, bisa jadi kesempatan TFA untuk
menjaring dolar, dan tentu saja (hopefully), fans baru. Bukan pekerjaan mudah,
namun jika Abrams bisa melakukannya untuk Star
Trek, kenapa Star Wars tidak?
TFA mengambil setting 30 tahun
setelah Darth Vader dan Empire-nya berhasil dikalahkan. Ternyata the dark side
masih cukup kuat untuk bangkit. Kali ini di bawah kekuasaan Supreme Leader
Snoke, dibantu oleh Kylo Ren yang memakai helm topeng seperti idolanya, Darth
Vader, General Hux, dan kapten wanita, Captain Phasma. Mereka berniat membuat
seisi galaksi tunduk pada First Order. Untuk memperkuat diri, mereka mengincar
keberadaan Luke Skywalker sebagai Ksatria Jedi terakhir di galaksi. Tak ada
yang tahu di mana Luke berada. Petanya dipegang oleh R2D2 yang sedang dalam
safe mode dan droid baru berbentuk bola, BB8. Takdir mempertemukan pilot
Resistance, Poe Dameron, mantan stormtrooper yang membangkang, Finn, dan gadis
pengepul sparepart asal Jakku, Rey. Tiga orang yang sebelumnya tak saling kenal
ini jadi terlibat dengan perjuangan Resistance menggagalkan obsesi First Order.
Satu per satu rahasia jati diri mereka terkuak dan membawa mereka ke takdir
yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.
TFA memang merupakan sekuel dari
seri-seri sebelumnya, namun tak bisa dipungkiri bahwa J.J. Abrams dan tim
penulis naskahnya; Lawrence Kasdan (yang juga turut menulis naskah Empire Strikes Back dan Return of the Jedi) dan Michael Arndt (Little Miss Sunshine, Toy Story 3, Oblivion, dan The Hunger
Games: Catching Fire), masih menggunakan formula dan template yang serupa
dengan dua trilogy sebelumnya, terutama dalam mengolah konflik keluarga,
psikologis, dan politiknya yang menjadi tiga pilar cerita utama Star Wars Saga. Tak ketinggalan
‘rahasia-rahasia’ twist-nya yang sebenaranya cukup mudah ditebak bagi fans
lawas. Tak ada yang salah, terutama dalam upayanya memuaskan sekaligus mengajak
bernostalgia fans lawas. Bagi penonton baru, plot TFA tergolong sangat mudah
dipahami, meski tanpa punya referensi apa-apa dari trilogy-trilogy sebelumnya.
Oh yes, plotnya berkelok-kelok khas Abrams, namun sesuai kekhasan beliau pula,
disampaikan lewat storytelling yang sangat mudah dinikmati. Lengkap dengan
adegan-adegan laga yang super seru, seperti serangan pesawat X-Wing ke
Starkiller (Death Star baru dengan ukuran jauh lebih besar) dan necessary witty
jokes dan menggelitik yang tersampaikan lewat berbagai dialog dalam porsi yang
sangat seimbang, terutama yang dilontarkan oleh karakter Finn. It’s totally a
fun ride!
Sementara karakter-karakter
lawas, seperti Leia (Carrie Fisher), Han Solo (Harrison Ford), Chewbacca (Peter
Mayhew), C3PO dan R2D2, berhasil membawa nostalgia bagi penonton lawas dan
tampil sama kuatnya seperti di seri-seri sebelumnya, TFA membawa cukup banyak
karakter baru yang juga diperankan oleh aktor-akor yang terhitung pendatang
baru pula (meski bukan film pertama mereka juga). Daisy Ridley memerankan
heroine kita, Rey, dengan kharisma dan pesona yang begitu kuat. Bahkan mungkin
sampai Episode IX nanti peran karakternya bisa lebih kuat daripada Princess
Leia di original trilogy. John Boyega yang sebelumnya kita kenal lewat film
komedi Inggris tentang alien yang sempat cukup populer, Attack the Block, berhasil pula menjadi comedic character yang
menyenangkan (baca: tak semenjengkelkan Jar Jar Binks yang lebih banyak
memanfaatkan clumsiness dan stupidity sebagai bahan guyonan) sekaligus mengundang
simpati penonton di momen-momen serius. Oscar Isaacs sebagai Poe Dameron juga
masih bisa mengundang simpati penonton sebagai pahlawan yang layak diidolakan,
meski porsinya tak banyak. Semoga saja ke depannya porsinya dan sepak
terjangnya semakin banyak, sehingga berhasil menjadi salah satu karakter yang
diidolakan.
Adam Driver sebagai villain
utama, Kylo Ren, belum terasa begitu mengancam, gara-gara karakternya yang
memang masih dibuat belum cukup kuat dalam mengendalikan The Force. Driver
tampak sudah berupaya menampilkan performance terbaik, namun I just haven’t
felt it strong enough. Terakhir, tak ketinggalan aktor-aktor Indonesia yang
berhasil menorehkan sejarah di perfilman Hollywood; Iko Uwais, Yayan Ruhian,
dan Cecep Arif Rahman, yang berperan sebagai Tasu Leech dan geng Kanjiklub.
Porsinya tak banyak, but hey come on… it’s Star
Wars man! It’s a privilege to be part of it anyway.
Meski visual effect memegang
peranan penting di franchise Star Wars,
rupanya TFA masih berusaha seminimal mungkin penggunaan CGI. That’s why ia
masih menggunakan set asli. Untuk CGI, TFA lebih banyak mengingatkan gaya
realis ala original trilogy, ketimbang CGI yang bersih namun terlihat palsu
seperti di prequel trilogy. Tak ketinggalan sedikit ‘aura Star Trek’ yang terasa lewat beberapa kostum. Flare yang menjadi
visual signature Abrams untungnya tak hadir di sini. Gimmick 3D menampilkan petualangan dan berbagai adegan dengan lebih exciting, terutama dari segi depth. Untuk tata suara, TFA juga
tak pernah main-main untuk menggarap detail dan kedahsyatan tiap sound
effect-nya, termasuk pemanfaatan surround (bahkan Atmos) untuk menghidupkan
semua adegannya dan tentu saja membawa penonton ke pengalaman super seru,
seperti saat kejar-kejaran X-Wing. Score asli John Williams masih dipakai
dengan beberapa variasi yang sayangnya, tak terlalu berkesan, selain sekedar
menyambung nuansa yang sama dengan score asli. Patut disayangkan score Duel of the Fates dari prequel trilogy
yang begitu saya kagumi saat adegan-adegan pertarungan lightsaber, harus absen
di seri ini. Tapi kesemuanya tetap mampu mengiringi tiap adegan menjadi lebih dramatis
dalam takaran yang pas.
Yes, TFA is a movie event of the
year you wouldn’t want to miss, but never to forget that somehow TFA is just a
prolog or an intro to a more and bigger adventure to come. That’s why, in my
eyes, it didn’t feel spectacular. Jujur, saya sendiri punya perasaan ‘kurang
puas’ lewat presentasi kali ini, selain sekedar senang melihat elemen-elemen
khas Star Wars yang selalu bisa bikin
saya merinding hanya dengan mendengarkan main theme dan desingan lightsaber
yang beradu. But hey, saya masih bisa melihat Abrams dan timnya sudah
mempersiapkan grand design yang cukup matang untuk trilogy terbaru ini. Let’s
just wait and see. Meanwhile, just enjoy the ride Abrams has delivered for all
of us, over and over again!
Lihat data film ini di IMDb.
P.S.: untuk experience maksimal, ini urutan format dari prioritas paling utama :
- IMAX 3D
- 4DX 3D
- Regular 3D
- Dolby Atmos
- Regular 2D
The 88th Annual Academy Awards nominees for:
- Best Achievement in Editing - Maryann Brandon and Mary Jo Markey
- Best Achievement in Music Written for Motion Pictures, Original Score - John Williams
- Best Achievement in Sound Mixing - Andy Nelson, Christopher Scarabosio, and Stuart Wilson
- Best Achievement in Sound Editing - Matthew Wood and David Acord
- Best Achievement in Visual Effects - Roger Guyett, Pat Tubach, Neal Scanlan, and Chris Corbould