3.5/5
Box Office
Christmas
Comedy
Family
Fantasy
Hollywood
Horror
Monster
Mythology
Pop-Corn Movie
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Krampus
Dulu di negara-negara dimana
dominan kaum Kristiani sudah menjadi tradisi untuk merilis film-film bertemakan
Natal ketika mendekati momen Natal tiap bulan Desember. Hollywood sebagai pusat
industri film pun dulu rajin merilis film Natal tiap tahunnya yang bisa
dinikmati oleh seluruh anggota keluarga. Namun trend bergeser, semakin tahun
semakin sedikit film Natal yang ditayangkan secara luas dan digarap dengan
layak. Kebanyakan justru dirilis dalam format Video on Demand, straight to
video, dan justru lebih cocok untuk penonton dewasa saja ketimbang untuk
seluruh anggota keluarga. Kehangatan serta keceriaan kebersamaan yang menjadi
semangat Natal utama pun sudah mulai jarang terasa tiap bulan Desember. Tahun
ini Michael Dougherty yang pernah sukses membawa film horor indie Tricks ‘r Treat menjadi semacam cult,
serta pernah juga dipercaya menulis naskah X-Men
2 dan Superman Returns, mencoba
untuk menghadirkan sebuah horor dengan setting Natal. Meski bergenre horor,
uniknya film yang diberi judul Krampus
ini tergolong aman untuk ditonton seluruh keluarga. Ide ceritanya berasal dari
monster mitologi Krampus yang dikenal oleh masyarakat Austria sebagai kebalikan
dari Saint Nicholas atau yang kita kenal sebagai Santa Claus. Krampus sendiri beberapa kali diangkat dalam film, termasuk versi tahun 2015, Krampus: The Reckoning, tapi statusnya lebih sebagai film indie low budget. Baru kali ini proyek Krampus yang dibuat dengan treatment blockbuster, lengkap dengan aktor-aktris yang punya nama cukup besar pula.
Max jengah dengan keluarganya.
Sang ayah dan ibu, Tom dan Sarah, sering berkelahi, sementara kakak
perempuannya, Beth, lebih sering sibuk dengan smartphone-nya. Satu-satunya
tempat curhat Max adalah sang nenek, Omi, yang hanya berbahasa Jerman. Keadaan
diperparah ketika adik Sarah, Linda, dan suaminya, Howard berniat menghabiskan
malam Natal di rumah Sarah. Jika keempat anak mereka, Howie Jr., Stevie,
Jordan, dan Chrissy, sudah membuat rumah jadi berantakan, masih ada kejutan
lain. Linda mengajak tante mereka, Dorothy yang tinggal sendirian, untuk bergabung
dengan mereka. Bencana pun tak terelakkan, mulai saling sindir dan saling
serang terjadi. Max makin merasa tersiksa dan merobek surat permintaan kepada
Santa tentang keluarganya. Robekan surat Max terbawa angin dan siapa sangka
membangkitkan monster mitologi Natal bernama Krampus. Satu per satu horor pun
terjadi di lingkungan suburban itu, tak terkecuali keluarga Max yang terjebak
di dalam rumah.
Sinopsis di atas jelas
mengingatkan kita akan premise dasar berbagai kisah Natal, termasuk yang paling
klasik, A Christmas Carol yang sudah
diangkat dalam berbagai versi, dan tentu saja film Natal populer yang sampai
sekarang masih digemari, Home Alone.
Kuncinya: kekacauan keluarga, mimpi buruk akibat permintaan emosional yang tak
sengaja terkabulkan, dan makna kebersamaan serta keceriaan Natal. Tentu saja
saya tak perlu memberikan spoiler untuk memahami jalan cerita serta endingnya
yang tergolong template bin generik, meski sekarang sudah jarang kita temui.
Ya, Dougherty memang sengaja mengusung formula-formula klasik Natal untuk
mengajak penonton saat ini bersenang-senang, bernostalgia dengan masa-masa
kejayaan film Natal sejenis, atau sekedar menikmati horor monster yang konon sebagian
besar diciptakan secara praktikal (dengan property, bukan hasil rekayasa CGI!).
I don’t really care about familiar plot karena saya menyukai tema-tema Natal.
Yang paling penting adalah makna yang disampaikan lewat momen-momen yang
menyentuh sekaligus membahagiakan. Diiringi lagu-lagu Natal klasik, voila, it’s
more than enough to be experienced in the theatres!
Berpengalaman menangani horor,
tentu Dougherty tak banyak mengalami kendala. Namun yang patut diingat, Krampus adalah horror keluarga dengan
villain berupa monster mitologi yang mungkin akan terasa beda ketika
dipertontonkan di depan penonton dengan kebudayaan yang berbeda (baca: sama
sekali awam dengan source materi aslinya). Untung saja Dougherty menjelaskan
secukupnya dengan sosok Krampus dan kru mengerikannya, mulai badut
jack-in-the-box pemakan manusia hingga gingerbread man hidup. Tingkat horor
yang diusung pun bukan tipe horor mengerikan dengan adegan-adegan berdarah,
tapi lebih ke thriller fun. Contoh paling mudah untuk menggambarkan horornya
adalah Goosebumps beberapa bulan
lalu. Penonton diajak seru-seruan dikejar-kejar dan head-to-head dengan
berbagai sosok monster yang ditampilkan. Jika tidak menyukai tipikal horor
seperti ini, Anda masih bisa dibuat tertawa oleh tingkah keseluruhan karakter
keluarga Max, terutama sekali Aunt Dorothy yang menjadi favorit saya. Baik
lewat dialog maupun tingkah laku, cukup mengimbangi horornya yang fun.
Above all, satu hal yang membuat Krampus layak menjadi pilihan tontonan
Natal kali ini adalah keberhasilannya menghadirkan momen-momen paling penting
dan konklusi bermakna seperti layaknya khas film Natal lainnya. In the end, it
brought warmth and Christmas joy, lengkap dengan iringan lagu-lagu Natal klasik
dan modern yang di-twist sedemikan rupa. Generic, but I never get bored with
these classical Christmas stuffs.
Sebagai salah satu daya tarik
utama film, Dougherty (dibantu oleh Todd Casey dan Zach Shields) tahu betul
bagaimana menuliskan karakter-karakternya secara spesifik hingga jadi menarik
dan untungnya, diperankan oleh aktor-aktris yang berhasil menghidupkannya pula.
Oke, chemistry Adam Scott-Toni Collette mungkin tak terlalu terasa meyakinkan,
namun untungnya Collette sendiri cukup meyakinkan memerankan ibu rumah tangga
yang stress. Sayang, Stefania LaVie Owen sebagai Beth tak diberi cukup porsi
untuk memikat penonton. Malah mungkin karakternya sekedar tempelan untuk ‘membentuk’
keluarga dasar semata. David Koechner sebagai Howard dan Conchata Ferrell
sebagai Aunt Dorothy berhasil menjadi sumber tawa utama sepanjang film. Emjay
Anthony sebagai Max pun patut diperhitungkan sebagai salah satu bintang cilik
bermasa depan menjanjikan, setelah kita saksikan penampilannya di Chef dan Insurgent. Terakhir, tak boleh ketinggalan sosok Omi yang
diperankan dengan sangat baik oleh Krista Stadler. Bersahaja, hangat, namun
berkharisma kuat sebagai karakter kesayangan, meski porsinya tak terlalu
banyak.
Bermain-main dengan horor
praktikal di tengah maraknya penggunaan CGI untuk menghidupkan sosok-sosok
mustahil, adalah sebuah pertaruhan di mata penonton. Bisa jadi horor seperti
ini dirindukan karena kehadirannya yang sudah mulai jarang dan tentu saja
membawa efek tampilan yang lebih realistis. Sebaliknya, penonton yang terbiasa
dengan CGI menganggap tampilan monsternya tak mengerikan atau malah ridiculous.
Tentu saja ini tergantung selera tiap-tiap penonton. Namun yang patut dicatat
keputusan penggunaan prop instead of CGI patut dihargai, tak semata-mata karena
faktor nostalgia, tapi harus diakui, membuat tampilannya lebih hidup dan nyata.
Remember how the Gremlins looked scary as hell without showing gory images and
CGI? That’s the similar feeling when watching Krampus. Tata suara yang detail dan dahsyat mendukung efek
jumpscare fun sekaligus membuat visualisasinya semakin nyata. Tentu saja efek
surround yang dimanfaatkan dengan sangat maksimal di sini cukup ambil andil
dalam kesuksesan membangun efek horornya. Tak ketinggalan score dari Douglas
Pipes yang me-remix lagu-lagu Natal klasik menjadi lebih dark dan creepy.
Sungguh perpaduan yang menarik. Terakhir, desain produksi Jules Cook, termasuk kostum
dari Bob Buck mampu menghadirkan perpaduan nuansa Natal klasik dan modern
secara seimbang. Hasilnya, tampilan film, mulai set hingga kostum cukup
memanjakan mata. Modern namun tak kehilangan ‘semangat’ Natal-nya.
Tipe horor Krampus diakui memang belum tentu cocok dengan setiap penonton.
Namun setidaknya ia berhasil menghadirkan kembali ‘semangat’ Natal lewat
caranya yang nyeleneh namun menyenangkan. Ada beberapa adegan yang kurang
appropriate untuk anak-anak di bawah umur, tapi dengan dampingan orang tua
(namanya juga film keluarga kan ya?), Krampus
masih cukup aman disaksikan rame-rame. Tetap hangat dan menghibur, meski belum
juga layak dijadikan instant classic. Just enjoy the ride and feel Christmas spirit
and joy, once again, in cinemas!
Lihat data film ini di IMDb.