2/5
Action
Drama
Indie
Investigation
Martial Art
Pop-Corn Movie
Socio-cultural
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Brush with Danger
Di tengah carut-marut yang tiada
hentinya di Indonesia, kabar baik dari dunia internasional tentang bangsa ini
tentu menjadi angin segar tersendiri. “Prestasi” sekecil apapun jadi bahan yang
bagus untuk di-blow up dan dijadikan materi “inspirasi” dalam negeri. Mulai
trend-lah istilah “anak bangsa” yang jadi sering digunakan sebagai materi
jualan. Masyarakat Indonesia yang kebanyakan memang masih inferior bisa saja
ikut-ikutan ‘bangga’, tapi terbukti tetap saja belum berhasil jadi label jualan
yang efektif, apalagi jika tidak disertai dengan produk akhir yang cukup
memuaskan. Film animasi ‘karya anak bangsa’ yang konon mengklaim diri dilirik
Disney, Battle of Surabaya, salah
satu contohnya. Namun rupanya publisis-publisis film kita masih belum kapok
menggunakan formula ini yang digunakan lagi untuk ‘menjual’ ‘film Hollywood
pertama karya anak bangsa’, Brush with
Danger (BwD). Nama Livi Zheng yang belum pernah dikenal sebelumnya oleh
publik Indonesia lantas menjadi selebriti yang di-interview di berbagai talkshow
‘inspiratif’. Belum lagi misleading informasi yang masih sering dilakukan media
kita menuliskan bahwa BwD masuk nominasi Oscar. Padahal faktanya, BwD hanya
masuk dalam daftar Oscar Eligible Movies. Artinya, setelah didaftarkan, ia
memenuhi syarat yang sudah ditetapkan juri, seperti minimal tayang di bioskop
komersial selama 7 hari berturut-turut dan berdurasi lebih dari 40 menit. BwD
masih harus berkompetisi dengan 322 judul film lain di tiap kategori yang
didaftarkan. Melihat hasil akhir yang sudah kita tahu bersama, jelas
pemberitaan BwD masuk nominasi Oscar adalah salah. Entah disengaja atau tidak,
mengingat rendahnya kontrol editorial media kita dan minimnya wawasan
masyarakat Indonesia tentang film. November ini akhirnya publik Indonesia bisa
menilai sendiri seperti apa hasil akhir ‘film Hollywood karya anak bangsa’ ini.
Iming-iming American Dream
membuat kakak-beradik, Alice dan Ken menjadi imigran gelap lewat kontainer ke
Seattle. Setelah mencoba menjadi penjual lukisan Asia di lapak semacam weekend
market namun gagal menarik perhatian, Ken mencoba beratraksi seni bela diri dan
rupanya berhasil. Sedikit demi sedikit uang pun terkumpul dari aksi street
performer ini. Keberuntungan mulai menghampiri setelah mereka menolong seorang
nenek-nenek bernama Elizabeth dari perampokan. Untuk membalas budi, Elizabeth
memberikan makanan dan tumpangan sambil mempekerjakan mereka di kedai makan
miliknya. Muncul pula Justus Sullivan, pemilik galeri lukisan yang tertarik
dengan karya Alice dan berniat membantu menjualnya. Justus juga membantu Ken
menyalurkan hobinya berbela diri. Baru ketika Justus minta dibuatkan copy
lukisan Van Gogh, Alice mulai curiga. Ternyata semua itu ternyata harus dibayar
dengan sebuah ancaman bahaya. Apalagi Justus diduga terlibat kematian seorang
wanita Asia misterius yang mayatnya ditemukan di tepi sungai.
Plot seperti ini jelas sudah
sangat sangat generik. Apalagi dengan berbagai stereotype Asia yang sudah lama
melekat di Amerika Serikat, seperti pasti jago bela diri. Termasuk pula jalan
cerita cliché menolong orang yang dirampok, balas budi, sampai
‘jebakan-jebakan’ orang kulit putih untuk mereka. Well, kalau mau dibilang
rasis, it is, meski konteksnya sebenarnya anti-racist. Kenyataannya, BwD justru
mengamini rasisme dan stereotype orang Asia di Amerika Serikat. Sebenarnya ini
tak jadi masalah jika setidaknya bisa dikemas lebih menarik. Sayangnya, BwD
tidak demikian. Lihat saja adegan Ken dan Alice beratraksi di jalan yang
menarik perhatian banyak orang. Sorry to say, jika saya melihat hal yang
demikian di jalan, saya bahkan tidak tertarik untuk berhenti dan menyaksikan,
apalagi sampai memberi applause.
Atraksi yang ditampilkan sangat biasa, bahkan dari sudut pandang
penonton terawam sekalipun. So, I guess it’s very delusional jika
pengguna-pengguna jalan di Seattle sampai menyoraki penampilan mereka. Tak
hanya itu, pertarungan-pertarungan Ken di atas ring pun gagal untuk menarik
perhatian saya. Sorry to say, in this attempt, BwD still has to fail.
Sub-plot investigasi pembunuhan
sebenarnya bisa menjadikan keseluruhan film lebih menarik jika diangkat menjadi
plot utama. Nuansa investigasi bisa jadi ‘kemasan’ yang lebih menjual ketimbang
drama mengharu-biru kakak-adik imigran gelap, apalagi pada kenyataannya tak
berhasil pula mencapai tujuannya gara-gara terlampau cliché, shallow, dan story
telling yang masih jauh dari menarik. Ke-cliché-an berlanjut sampai ending yang
membuat American dream jadi semakin cheap. Sorry to say, if you made BwD to
inspire people, inspire to what? Untuk jadi imigran gelap dan meraih American
Dream dengan begitu instant-nya? Well, I guess formula seperti ini hanya akan
berhasil untuk menarik hati penonton di daerah-daerah pelosok yang masih lugu.
Keputusan memasang diri sendiri
dan saudaranya sebagai lead juga menjadi tanda tanya besar buat saya. Sorry to
say, Ken Zheng jauh dari kata kharismatik untuk menjadi lead character. And
look at his eyes… it’s just blank and empty. Livi mungkin sedikit lebih bisa
akting, namun masih jauh pula dari kata cukup layak, apalagi untuk ‘kelas’
Hollywood. Untung saja di deretan supporting cast masih lebih baik, setidaknya
masih bisa membuat BwD terasa film beneran, bukan film tugas akhir anak
kuliahan. Terutama Norma Newkirk sebagai Justus dan Stephanie Hilbert sebagai
Elizabeth. Sementara Nikita Breznikov masih terasa kurang kharismatik sebagai
detektif Nick Thompson.
Beruntung Livi berhasil menarik
kru-kru yang menjadikan karya debutnya punya teknis yang profesional dan
setidaknya, layak. Terutama sinematografi Ryan Purcell yang piawai memanfaatkan
pencahayaan sehingga menghasilkan gambar yang tajam dan tone menarik. Scoring
Garry Schyman masih tergolong generik dan hanya sampai terasa cukup dalam
mengiringi adegan-adegannya. Tata suara digarap dengan biasa saja, tak ada yang
stand out, termasuk juga pemanfaatan fasilitas surround yang tak begitu terasa.
Tanpa tahu ‘unsur’ Indonesia di
dalamnya, mungkin BwD tidak akan dilirik distributor lokal untuk diimpor dan
tayang di sini. Well, BwD memang bukan karya yang cukup pantas untuk membuat slogan
“film Hollywood pertama karya anak bangsa” jadi membanggakan, namun kegigihan
dan kenekadan Livi untuk mewujudkan mimpinya masih patut diapresiasi.
Kekurangan masih sangat banyak di sana-sini, terutama sebagai penulis naskah,
sutradara, dan… pemilihan cast. Please, please, please… Pilih cast secara
profesional dong. It’s Hollywood lho, bukan tugas akhir kuliah. Semoga saja
segala materi promosi BwD yang delusional dan terkesan hanya sekedar cari
popularitas bukan datang dari Livi Zheng sendiri. Jika tidak, maka ia hanya
akan menambah daftar panjang ‘anak bangsa yang delusional di kancah
internasional’. Semoga saja tidak.
Lihat data film ini di IMDb.