3.5/5
Box Office
Comedy
Drama
Friendship
Indonesia
Pop-Corn Movie
Romance
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Single
Berawal dari blog yang kemudian
dibukukan, nama Raditya Dika sudah menjadi brand tersendiri. Satu demi satu
bukunya menjadi best seller. Karirnya pun terus menjulang dengan follower
twitter mencapai 12 juta lebih, eksistensinya semakin melebar di berbagai sektor,
tak terkecuali film. Meski Kambing Jantan
The Movie (2009) tergolong flop, ia tak berhenti menemukan bentuk paling
pas untuk menyampaikan materi dan guyonan signatural-nya di film. Tahun 2013,
ia mencoba lagi lewat 3 film: Manusia
Setengah Salmon, Cinta Brontosaurus,
dan yang formatnya paling unik dan menjadi paling favorit saya, Cinta dalam Kardus. Manusia Setengah Salmon berhasil menarik perhatian 440-an ribu
penonton, sementara Cinta Brontosaurus
membukukan angka 890-an ribu penonton. Prestasi ini jelas semakin melambungkan
reputasi Dika. Maka tak heran jika sebagai salah satu PH yang dikenal ‘royal’
dan selalu mengedepankan teknis yang di atas rata-rata, Soraya Intercine Films, tertarik untuk bekerja sama dengan
Dika. Maka jadilah karya terbaru Dika, tak hanya sebagai aktor, tapi juga
penulis naskah bersama Sunil Soraya dan Donny Dirghantoro, serta bangku
sutradara.
Kali ini Dika berperan sebagai
Ebi, seorang pemuda yang tinggal di kos-kosan bersama dua sahabatnya, Wawan dan
Victor. Selain bingung masih cari-cari pekerjaan, Ebi juga dikenal sebagai
single bertahun-tahun. Penyebab utamanya adalah ia sulit berkomunikasi dengan
wanita, meski sekedar untuk mengajak kenalan. Berbagai upaya yang diajarkan
Wawan justru berbalik menjadi bencana. Bebannya semakin berat setelah adiknya,
Alva, mengumumkan akan menikahi pacarnya selama ini. Di saat yang bersamaan,
ada seorang gadis yang baru pindah ke kosnya, Angel. Selain cantik dan baik,
Angel yang mahasiswi kedokteran ini punya hati yang besar dan ditunjukkan lewat
kiprahnya di sebuah medical center. Diawali dengan perkenalan yang canggung dan
konyol, Ebi dan Angel semakin dekat. Namun pendekatan itu terancam ketika
muncul Joe, kakak ketemu gede Angel yang mengancam Ebi karena ia sendiri juga
mengejar Angel selama bertahun-tahun. Joe yang lulusan Groeningen dan terlihat
kaya, jelas jauh dalam segala hal daripada Ebi. Dengan dukungan Wawan dan
Victor, Ebi memutuskan untuk ‘berperang’ dengan Joe.
Membaca sinopsis di atas, jelas
kalau Dika masih bermain-main di ranah yang selama ini menjadi signatural dan
lahan rejekinya: komedi yang mengolok-olok diri sendiri sebagai jomblo. Namun
kali ini Dika mendapatkan support yang jauh lebih mumpuni daripada
sebelum-sebelumnya. Yang paling terasa dan paling saya apresiasi adalah naskah
yang digarap dengan baik. Mulai dari karakter-karakter yang ditulis dengan
menarik, punya perkembangan-perkembangan penting, dan masing-masing punya porsi
yang pas sehingga tak terasa tumpang tindih. Setup-setup menuju klimaksnya pun
ditata dengan rapi, efektif, dan masuk akal. Tak ketinggalan pula sedikit
‘twist’ di menjelang klimaks yang bikin hati menghangat dan cukup tak terduga
namun punya relevansi yang masuk akal dengan setup-setup yang sudah dibangun.
Oh ya, tak lupa faktor hati yang terasa begitu besar dan hangat di beberapa
bagian menambah nilai Single. Esensi
tentang relationship atau being single turut tersampaikan dengan sangat baik
dan mulus.
Naskah yang rapi tak lantas
membuat hasil akhir Single selalu
nyaman diikuti. Let’s not talk about his comedic style yang bisa jadi berbeda-beda
efeknya bagi penonton. Meski harus diakui ‘cocok’ dengan mayoritas penikmatnya
di Indonesia, bagi saya pribadi hanya mampu membuat saya sekedar senyum-senyum
saja. Satu hal yang menjadi sedikit ganjalan untuk kelancaran storytelling
adalah adegan-adegan yang terasa carried away. Saking asyiknya, Dika seperti
membiarkan tiap adegan berakhir ‘tuntas’ dengan kemasan komedi khasnya. Ini
sebenarnya tak jadi masalah jika hanya dihadirkan 1-2 kali sepanjang film dan
dengan punchline yang benar-benar lucu. Di sini, Dika mengeluarkan formula ini
di lebih dari separuh film. Efeknya film terasa lambat dan jauh dari kesan
dinamis yang seharusnya diterapkan pada film komedi yang tidak boleh kelewatan
momen-momennya untuk mempertahankan energi-energi lucunya. Walaupun tak sampai
meyebabkan kelucuan-kelucuannya menjadi pudar dan garing, ini membuat laju
pergerakan film menjadi agak lambat. Alhasil, drama komedi ini pun berdurasi
sedikit terlalu panjang untuk genrenya: 127 menit!
Memasang tiga komika kondang
sebagai garda depan jelas menjadi senjata ampuh untuk Single: Raditya Dika, Pandji Pragiwaksono, dan Babe Cabita.
Masing-masing punya fanbase yang cukup besar, sama-sama saling mengenal
sehingga tak sulit untuk menjalin
chemistry, dan yang paling penting: punya style guyonan yang beda-beda sehingga
membuat film menjadi semakin meriah. Ketiganya masih memainkan
karakter-karakter tipikal selama ini, tapi bukankah justru itu yang menjadi
komoditas paling dicintai fans-nya? Sebagai pendatang baru, Annisa Rawles
menjadi pencuri perhatian paling besar. Tak hanya berfisik cantik dan menarik,
kharismanya juga bisa dikatakan cukup kuat. Sementara Chandra Liow sebagai Joe
dan Tinna Harahap sebagai Mama Ebi yang berusaha gaul, cukup berhasil menjadi
pemancing tawa yang efektif. Di jajaran pemeran pendukung lainnya, kehadiran
Rina Hassim, Dede Yusuf, Dewi Hughes, sampai Pevita Pearce patut mendapatkan
kredit tersendiri lewat penampilan-penampilang yang mengesankan.
Seperti yang sudah kita ketahui
bersama, Soraya Intercine Films selalu berani mensupport budget besar demi
tampilan film yang grande. Single pun
mengalami keberuntangan yang sama. Maka siap-siap terkagum-kagum melihat
set-set cantik, mulai kos-kosan Ebi-Wawan-Victor, outdoor family dinner di
Bali, sampai outdoor wedding party Alva. Adegan-adegan yang dishot dengan
aerial drone turut mendukung kemegahan visualnya dengan kualitas gambar yang
tetap crisp. Hadirnya adegan se-ekstrim kecelakaan mobil dan skydiving semakin
memperkuat keseruan visual Single.
Meski didukung audio Dolby Surround 7.1, tata suara Single tak terlalu terasa grande selain sekedar cukup untuk
menghidupkan adegan-adegannya. Pemilihan lagu-lagu populer seperti Sementara Sendiri dari Geisha yang
seperti menghipnotis karena saking seringnya diputar sepanjang film, dan Single dari D’Masiv, terasa cocok dengan
target audience utamanya dan tema film sendiri.
Betul jika film-film dan guyonan
Raditya Dika punya segmen-nya sendiri, maka tak salah jika memang tak semua
orang bisa mentertawai atau menganggap lucu guyonan-guyonannya. Tak salah juga
jika ada cukup banyak penonton yang bosan dengan materi cerita Dika yang hanya
bermain-main di seputar pejombloan. Namun kali ini harus diakui bahwa dengan
berbagai dukungan mumpuni, Single
menjadi film terbaik Raditya Dika so far. Jika Anda termasuk penggemar Dika
yang cocok dengan gaya humornya, maka Single
adalah sebuah paket lengkap: menghibur, sekaligus mencerahkan, terutama buat
yang single.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.