4/5
4DX
Adventure
Based on Book
Biography
Blockbuster
Box Office
Drama
Hollywood
Pop-Corn Movie
Psychological
Socio-cultural
Survival
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
In the Heart of the Sea
Mungkin tak banyak publik
Indonesia yang akrab dengan salah satu karya sastra klasik Amerika Serikat, Moby Dick, tapi di negara asalnya novel
petualangan karya Herman Melville yang pertama kali dipublikasikan tahun 1851
ini sudah menjadi salah satu karya sastra yang wajib untuk dikaji dan
dipelajari. Mungkin tak banyak pula yang tau kalau Moby Dick diinspirasi dari berbagai kejadian nyata, termasuk
tenggelamnya kapal Essex asal Nantucket, Massachusetts tahun 1820. Kisah nyata
ini tertuang pula lewat sebuah buku karya Nathaniel Philbrick tahun 2000, In the Heart of the Sea: The Tragedy of the
Whaleship Essex. Buku ini sukses memenangkan National Book Award for
Nonfiction di tahun yang sama. Tahun 2015 ini, salah satu sutradara visioner
Hollywood, Ron Howard mencoba menggabungkan cerita In the Heart of the Sea dengan Moby
Dick ke dalam sebuah film berjudul In
the Heart of the Sea (ITHOTS). Howard menggandeng Charles Leavitt (Blood Diamond, Seventh Son) untuk mengadaptasi ke dalam bentuk skenario.
Cerita bergulir ketika Herman
Melville yang saat itu baru saja mempublikasikan novel yang sukses, tertarik
untuk mendatangi mantan kru kapal pemburu paus Essex, Tom Nickerson. Sebenarnya
Tom enggan menceritakan kejadian yang membawa trauma baginya hingga saat itu.
Namun karena kebutuhan materi dan dorongan dari sang istri, Tom bersedia
menceritakan detail kejadian selama berada di kapal Essex, mulai perseteruan
antara Owen Chase yang berpengalaman sebagai pemburu paus sembur (Sperm Whale itu terjemahan yang lebih tepat paus sembur, bukan paus
sperma!) dengan kapten George Pollard yang ditunjuk sebagai kapten kapal hanya
karena salah satu anggota keluarga pemilik perusahaan, sampai survival setelah
kapal Essex hancur lebur oleh seekor paus sembur raksasa dan mereka harus
terdampar di lautan selama 90 hari.
Basically, fokus utama cerita
ITHOTS adalah petualangan survival para awak Essex selama 90 hari. Tentu saja
‘jualan’ utamanya adalah adegan-adegan serangan paus sembur yang mendebarkan.
Kedua, upaya survival yang mencoba untuk membuat penonton iba, dengan
penderitaan seperti badan yang jadi kurus kering, bahkan untuk Chris Hemsworth
yang selama ini berpostur kekar sekalipun. Dua komoditas utama ini jelas untuk
memposisikan ITHOTS sebagai film blockbuster yang menghibur dan menawarkan
adegan-adegan epic. Namun Howard dan Leavitt tak sekedar memposisikannya
sebagai film blockbuster semata, tapi memasukkan unsur-unsur yang juga bisa
memposisikannya sebagai film yang berbobot. Upaya ini terlihat sekali lewat
cukup banyak unsur-unsur dilematis moral yang dimasukkan ke dalamnya, mulai
persaingan kepemimpinan antara Owen Chase dan George Pollard, antara ego
pribadi dan pengalaman, moral dan survival, sampai kejujuran dan kepentingan
ekonomis. Bahkan perburuan paus yang menjadi unsur utama cerita pun dibidik
sebagai suatu kesalahan, disesuaikan dengan kecenderungan saat ini dimana
keberadaannya yang langka menjadi terlarang untuk diburu, dengan mengambil
angle kejadian naas yang menimpa awak kapal Essex sebagai karma dari perburuan
paus. Tentu upaya ini patut diapresiasi lebih, termasuk juga lewat
dialog-dialog quotable yang cukup banyak bertebaran. Apalagi ternyata Howard
lagi-lagi berhasil menampilkan momen-momen paling menyentuh di sini. Ditambah
adegan-adegan disaster yang menegangkan, ITHOTS sekali lagi membuktikan betapa
masterful-nya Ron Howard, di balik alur cerita dan para karakter yang
sebenarnya harus diakui di sini, tidak begitu banyak berkembang dan tergolong
biasa-biasa saja di genrenya. Nevertheless, semuanya masih menjadi kesatuan
yang enjoyable.
Meski tak ada yang sampai pada
tahap brilian, aktor-aktornya bermain dengan maksimal dan pada kapasitas pas di
masing-masing peran. Chris Hemsworth masih berhasil menjadi hunk lead yang
kharismatik. Transformasi tubuhnya menjadi kurus kering yang sempat jadi salah
satu ‘komoditas’ juga patut diapresiasi. Benjamin Walker memainkan karakter
Kapten George Pollard dengan pas; angkuh, berusaha menjaga wibawa meski sadar
tak sekuat itu, namun punya juga momen-momen revealing yang mampu mengundang
simpati penonton. Brendan Gleeson-Michelle Fairley sebagai Mr. dan Mrs. Tom
Nickerson punya satu momen yang termanis sepanjang film. Ben Whisaw sebagai
Herman Melville bagi saya mampu mencuri perhatian meski porsinya tak begitu
banyak dan kapasitas karakternya juga tak memberikan cukup ruang untuk
mengeksplorasi akting lebih dalam. It’s simply because of his charisma.
Visual effect jelas memegang
peranan penting dalam menghidupkan adegan demi adegan, terutama sang paus sembur
raksasa yang begitu hidup dan mengancam. Tata suara pun mengimbangi dengan deep
bass yang terasa bertenaga dan pemanfaatan fasilitas surround yang maksimal,
terutama saat badai dan serangan paus sembur. Extra credit untuk 4DX yang cukup
memaksimalkan fasilitasnya. Mulai kursi yang bergerak-gerak lembut seolah
seperti berada di dalam kapal di atas lautan yang tenang serta berguncang
kencang saat badai dan paus sembur menyerang. Namun tidak sampai membuat mual. Semburan
air diletakkan pada momen-momen tertentu yang pas, tidak diumbar sepanjang
film, sehingga terasa maksimal. Terakhir, aroma gosong saat adegan ledakan dan
aroma laut di momen-momen yang bertujuan menenangkan, jadi efek 4DX favorit
saya.
Utamanya, ITHOTS memang disiapkan
sebagai film blockbuster yang menghibur dan megah. Sehingga kemasan luarnya
cukup mengundang. Ditambah moral dilemma yang cukup banyak, manusiawi, dan
relevan dengan setting, membuatnya jadi lebih berbobot, dan saya sangat
menghargai itu. Award material? Hmmmm saya rasa belum cukup kuat sampai pada
tahap itu. But at least ITHOTS jadi perpaduan cerita tenggelamnya Kapal Essex
dan Moby Dick yang menarik dan cukup menghibur.
Lihat data film ini di IMDb.